Istilah maba muncul setiap tahun ajaran akademik penerimaan mahasiswa baru di universitas-universitas terbuka negeri maupun swasta. Sapaan maba begitu akrab di kampus oleh dosen maupun mahasiswa-mahasiswa pada tahun sebelumnya (senior) kepada mahasiswa baru di kampus. Kemudian saya melihat dalam kampus bagaimana seorang maba diperlakukan oleh pendidik (dosen) maupun senior. Seolah maba ini seorang bayi yang baru dilahirkan di muka bumi, seperti anak-anak yang masih polos tidak tahu apa-apa di dunia barunya (kampus). Para maba dikumpulkan dalam satu aulah atau ruangan kemudian diperkenalkan berbagai macam rambu-rambu perkuliahan atau dalam istilah kampus dikenal orientasi kampus. Ketika saya menghadiri kegiatan tersebut (sebagai maba)dalam hati dan pikiran saya penuh tanda tanya, seperti inikah wajah pendidikan? Pertanyaanku belum sempat terlontar, para mahasiswa tahun sebelumnya yang kemudian menamakan dirinya sebagai senior mendesaing alur atau agenda kegiatan yang diperuntukkan untuk maba. Yang paling buming dan panas adalah istilah LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan). sosialisasi LDK begitu gencar dilakukan disetiap fakultas dalam kampus. Dari beberapa kali mengikuti orientasi tersebut (LDK) saya menangkap adanya sinyal-sinyal tindak kekerasan, melihat bagaimana sikap seorang senior kepada yunior (maba) dari cara berdialog, ultimatum dan ancaman-ancaman memicu rasa ketakutan bagi maba. jika seorang maba bertanya apa pentingnya LDK?, pertanyaan dipatahkan dengan dalih LDK adalah satu metode untuk “pembangunan karakter” berani dan teguh dalamprinsip. timbul lagi pertanyaan mampukah LDK menanamkan nilai-nilai tersebut?
Dan ketika seremonia LDK usai dilaksanakan, saya tidak melihat dan mendapati karakter yang dimaksudkan diatas dalam diri teman-teman maba. Yang ada justru kulihat teman-teman di kampus menunjukkan sikap yang arogan terhadap kawannya, terlebih kepada teman yang tidak mengikuti LDK. Mereka mulai membuat kelompok-kelompok dan bersikap diskriminasi kepada kawan sendiri (maba). Banyak teman-teman yang tidak mengikuti kegiatan LDK di kampus, merasa takut, diasingkan dan diabaikan oleh kawan di fakultas sendiri. Dan Juga kulihat mereka hampir kehilangan tatakrama kepada sang guru atau dosen. Seenaknya masuk dan keluar kelas pada jam kuliah. Disini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mahasiswa harus menedewakan para dosen tapi sikap menghormati dan saling menghargai yang harus kita tanamkan namun kenyataannya, sikap dan karakter yang ditunjukkan sebagian teman-teman sungguh tidak mencerminkan pribadi yang terdidik. Karakter atau keberanian yang teman-teman perlihatkan sungguh bukan hakekat keberanian sejati.
Yang kupahami, sejatinya berani ketika kita mampu mempertahankan prinsip dengan nilai-nilai kebenaran. Sejatinya pemimpin ketika kita mampu menyatukan semua elemen individu, ras dan agama tanpa diskriminasi. Mari kita membangun karakter kawan dengan nilai-nilai keadilan, dan mulailah berlaku adil sejak dalam pikiran!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H