Lihat ke Halaman Asli

Anida Islah

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Pengaruh Budaya Pantang Makan terhadap Gizi Ibu Hamil dan Ibu Nifas di Indonesia

Diperbarui: 16 November 2021   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pada hakekatnya, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu adanya peningkatan kualitas manusia. Gizi yang baik merupakan salah satu faktor yang diperlukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Upaya meningkatkan SDM seharusnya dimulai sedini mungkin sejak janin dalam kandungan. Bila keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil baik, maka besar peluang janin yang dikandungnya akan baik dan keselamatan ibu sewaktu melahirkan akan terjamin. Namun, pengaruh budaya seringkali memengaruhi pemenuhan gizi ibu hamil dan ibu nifas sehingga kesehatan anak saat lahir dan saat mengalami pertumbuhan serta perkembangan juga terpengaruhi. Contohnya adalah budaya pantang makan yang sampai saat ini masih diterapkan oleh sebagian kalangan masyarakat di Indonesia (1).

Budaya pantang makan merupakan suatu budaya yang berkembang di masyarakat dan berkaitan dengan larangan untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya terhadap orang yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan superpower yang berbau mistik dan akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan tersebut, tetapi pada kenyataannya hukuman ini tidak selalu terjadi. Pantangan makanan merupakan sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi di bawahnya, hal ini menyebabkan orang tidak tahu lagi kapan suatu pantangan atau tabu makanan dimulai dan apa penyebab dari adanya pantangan tersebut (2).

Budaya pantang makan ini semakin berkembang karena beberapa hal diantaranya adalah pendidikan, pekerjaan ibu, dan pengaruh budaya. Pendidikan merupakan jalur yang ditempuh untuk meperoleh informasi dari berbagai sumber, informasi inilah yang akan mepengaruhi perilaku, sehingga hal tersebut erat hubungannya dengan pengetahuan ibu. Begitu pula dalam hal pekerjaan, seorang ibu yang hanya berada di rumah seperti ibu rumah tangga maka kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar berkurang, hal ini membatasi paparan atau perolehan informasi ibu. Pada penelitian yang dilakukan Hardianty dkk (2021) di wilayah Puskesmas Nosarara Kota Palu, didapatkan hasil yaitu sebagian besar (69,7%) pendidikan ibu nifas di wilayah Puskesmas Nosarara Kota Palu adalah SMA, sehingga sebagian besar responden tidak berpantangan makan. Hampir sebagian (45,5%) pekerjaan responden di Wilayah Puskesmas Nosarara Kota Palu adalah IRT, sehingga hampir sebagian responden di Wilayah Puskesmas Nosarara Kota Palu masih berpantangan makan (2).

Kebiasaan pantang makan pada ibu hamil dan ibu nifas akan berdampak pada pemenuhan nutrisi ibu, khususnya pada ibu nifas, karena berpengaruh pada proses penyembuhan luka yang melambat dan bisa menimbulkan komplikasi lain seperti infeksi masa nifas. Terjadinya infeksi masa nifas yang disebut morbiditas puerpuralis, infeksi tersebut disebabkan faktor ekstragenetal yang faktor predisposisinya antara lain kurang gizi atau malnutrisi, anemia, kelelahan, kurangnya mobilisasi dini dan proses persalinan yang bermasalah. Kurang gizi atau kurang nutrisi yang dialami ibu pasca melahirkan disebabkan karena budaya dan kebiasaan yang membatasi makan atau pantang yang mengakibatkan luka tidak segera sembuh dapat mengganggu aktivitas, misalnya ibu tidak bisa bekerja, tidak bisa merawat bayinya, tidak bisa merawat dirinya sendiri sehingga bisa terjadi infeksi. Infeksi ini dapat menyebabkan sub involusi, perdarahan, dan penyebaran organ lokal maupun sistemik, selain itu akibat infeksi akan membuat ibu stress yang berdampak pada berkurangnya produksi ASI sehingga kebutuhan bayi tidak terpenuhi dengan baik (2).

Buruknya persepsi atau tanggapan ibu hamil terhadap budaya pantang makan suatu makanan tertentu menjadi dampak buruk kepada ibu hamil, padahal makanan tersebut mungkin mengandung gizi yang sebenarnya dibutuhkan oleh ibu hamil. Dari beberapa wawancara yang pernah dilakukan petugas kesehatan kepada ibu yang baru melahirkan masih ditemukan mitos pantang makan selama hamil. Ibu hamil tersebut menyebutkan masih mengikuti anturan pantang makan yang dianjurkan oleh orang tua. Petugas Kesehatan banyak menyebutkan masih banyak ibu hamil yang melakukan pantang terhadap suatu makanan dengan alasan budaya (3).

Masyarakat masih percaya adanya hubungan antara konsumsi makanan tertentu dengan kesehatan ibu hamil serta bayi yang dikandungnya karena adanya ketidaktahuan. Seperti kejadian di beberapa masyarakat yaitu ibu hamil enggan mengonsumsi cumi-cumi dengan alasan anak tersebut akan hitam ketika lahir. Selain cumi, makanan yang ditabukan oleh ibu hamil yaitu tidak boleh mengkonsumsi nanas dengan dalih menurut kepercayaan mereka bahwa nanas akan menimbulkan keguguran pada ibu hamil (3, 4).

Dalam sebuah kandungan gizi bahan makanan seperti gurita yang dikatakan dalam beberapa artikel memiliki beberapa nutrisi penting, termasuk mineral dan vitamin B-12. Gurita secara alami sangat tinggi zat besi bahkan menyediakan semua zat besi yang diperlukan untuk pria dan hampir setengah dari jumlah yang direkomendasikan untuk Wanita. Vitamin ini sangat penting untuk metabolisme, membuat sel-sel darah merah baru dan mendukung fungsi otak sehari-hari. Akan tetapi, masyarakat masih beranggapan apabila mengonsumsi gurita, ibu akan susah melahirkan dan bentuk bayinya menjadi tidak bagus selain itu mereka beranggapan bahwa gurita dapat menyebabkan pendarahan saar melahirkan bahkan sampai mengalami keguguran (3, 4).

Kepercayaan dan keyakinan budaya terhadap perawatan ibu post partum masih banyak dijumpai di lingkungan masyarakat. Mereka meyakini budaya perawatan ibu setelah melahirkan dapat memberi dampak positif dan menguntungkan bagi mereka. Seperti kejadian yang dialami beberapa petugas Kesehatan yang mana ibu hamil setelah melahirkan mengungkapkan "..Waktu saya sale, tidak boleh makan banyak".. pantangan yang dilakukan itu adalah telur, sehingga jahitannya menyebabkan terjadi gatal-gatal dan dianggap bahwa telur adalah penyebab gatal pada bekas jahitan setelah melahirkan. Dari pernyataan tersebut disimpulkan masih banyak masyarakat yang melakukan pantang makan makanan tertentu (5).

Pada dasarnya masyarakat mengkhawatirkan masa kehamilan dan persalinan. Ibu hamil dan yang akan bersalin dilindungi secara adat, religi, dan moral dengan tujuan uuntuk menjaga kesehatan ibu dan bayi. Mereka menganggap masa tersebut adalah masa kritis karena bisa membahayakan janin dan/atau ibunya. Masa tersebut direspon oleh masyarakat dengan strategi-strategi, seperti dalam berbagai upacara kehamilan, anjuran, dan larangan secara tradisional (8).

Masalah yang sering terjadi ketika ibu hamil yaitu membatasi macam dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Salah satunya karena food taboo. Makanan yang paling banyak dihindari ketika hamil adalah daging-dagingan (ayam, babi dan daging merah), ikan, kentang, buah (jeruk, persik, nanas dan jambu biji), kacang-kacangan, telur, butternut dan labu. Kebudayaan yang mengharuskan menghindari makanan tertentu pada masa nifas juga mengakibatkan kekeliruan yang terjadi di masyarakat dengan adanya pantangan makan, contohnya tidak boleh makan daging, telur, dan ikan agar luka jahitannya cepat sembuh, kemudian tidak boleh mengonsumsi buah-buahan selama menyusui karena dapat mengakibatkan diare pada bayi, tidak mengizinkan makan terlalu banyak agar ibu nifas tetap langsing. Sebagian besar makanan tabu merupakan sumber kaya zat gizi mikro (kacang-kacangan, telur, jeroan, buah-buahan, labu dan butternut), protein (ikan, telur, ayam, jeroan dan kacang-kacangan) dan karbohidrat (kentang) yang diperlukan untuk kesehatan ibu dan perkembangan bayinya (6,7).

Perilaku food taboo dapat dipengaruhi beberapa hal diantaranya pengetahuan makanan dan pendidikan karena pengetahuan dan pendidikan berperan penting dalam penurunan kepercayaan terhadap food taboo pada ibu hamil. Pendidikan yang tinggi tentunya mempunyai pengetahuan yang lebih banyak. Selain itu, lingkungan sosial budaya juga memiliki pengaruh terhadap food taboo karena masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain, saling memengaruhi dalam membentuk perilaku, kebiasaan, sikap, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianggap penting. Kepercayaan ini menjadi turun temurun sehingga menyebabkan tabu (6).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline