Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Tradisi Begalan di Cilacap: Sebuah Warisan Budaya yang Sarat Makna

Diperbarui: 12 September 2024   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Budaya tradisional di Indonesia selalu menyimpan kekayaan nilai-nilai luhur, salah satunya adalah tradisi Begalan, sebuah upacara adat yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di Kabupaten Cilacap. Tradisi ini merupakan bagian penting dari prosesi pernikahan adat Jawa, khususnya bagi mempelai yang merupakan anak sulung atau bungsu. Hasil wawancara yang dilakukan oleh Kelompok 47 KKN UNS 2024 memberikan gambaran mendalam mengenai nilai, makna, serta tantangan dalam menjaga keberlangsungan tradisi ini. Mas Sigit Aji Wijayanto, salah seorang pelaku budaya Begalan di Cilacap, menjadi narasumber utama yang memberikan penjelasan detail mengenai berbagai aspek tradisi tersebut.

Asal-Usul dan Sejarah Begalan

Menurut Mas Sigit, Begalan berasal dari kata "begal," yang dalam bahasa Jawa berarti perampokan. Secara historis, Begalan telah ada sejak zaman Adipati Wirasaba dan Adipati Banyumas, di mana ritual ini dikaitkan dengan perjalanan ngunduh mantu (mengantar mempelai dari rumah pengantin wanita ke rumah pengantin pria). Pada masa itu, rombongan pengantin sering dihadang oleh begal atau perampok di tengah jalan. Maka dari itu, peristiwa ini kemudian dijadikan simbol dalam prosesi pernikahan adat sebagai lambang dari tantangan yang harus dihadapi pengantin sebelum memulai kehidupan baru

Dalam perkembangannya, tradisi Begalan menjadi lebih dari sekadar simbol perampokan. Ritual ini juga menjadi media untuk menyampaikan nasihat atau wejangan kepada mempelai pria dan wanita, yang diharapkan dapat membantu mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan lebih bijaksana. Mas Sigit menjelaskan bahwa pada tahun 1960-an, tradisi Begalan merupakan primadona dalam prosesi pernikahan adat di Cilacap, terutama di kalangan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi.

Makna Filosofis dari Alat-Alat Begalan

Salah satu keunikan dari tradisi Begalan adalah penggunaan alat-alat dapur yang sarat dengan simbolisme. Menurut Mas Sigit, setiap alat yang dibawa dalam prosesi Begalan memiliki makna yang mendalam. Misalnya, siwur (alat untuk mengambil air) yang melambangkan pentingnya menabung dan berbagi dalam kehidupan rumah tangga. Kusan (alat untuk menanak nasi) yang menggambarkan kekokohan rumah tangga yang harus dibangun dengan rasa syukur. Lalu centong (alat untuk mengambil nasi) yang melambangkan perlunya introspeksi diri dan komunikasi yang baik antara suami dan istri.

Alat-alat tersebut dibawa oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Suroyojati, yang bertindak sebagai pembawa peralatan dapur. Sedangkan pelaku lain, yang dikenal dengan nama Sambang Dalan, yang berperan sebagai pembegal. Dalam prosesi ini, kedua pelaku akan terlibat dalam dialog yang sering kali disampaikan dengan gaya humor, tetapi tetap menyisipkan nasihat-nasihat penting bagi kehidupan rumah tangga. "Setiap alat yang kami bawa memiliki pesan moral, yang diharapkan bisa membantu pengantin dalam menjalani kehidupan berumah tangga," jelas Mas Sigit.

Pelaksanaan Begalan di Cilacap

Begalan Kreasi, istilah yang digunakan oleh Mas Sigit untuk menggambarkan bentuk modern dari tradisi ini, merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur. Di Kabupaten Cilacap sendiri, prosesi ini biasanya diperankan oleh tiga orang, yakni Suroyojati dan pasangan Sambang Dalan. Masing-masing pelaku memiliki peran yang jelas dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan nasihat kepada pengantin.

Menurut penuturan Mas Sigit, prosesi Begalan umumnya dilakukan setelah akad nikah dan sebelum prosesi panggih temanten (pertemuan pengantin pria dan wanita). Dialog yang disampaikan tidak hanya ditujukan kepada pengantin, tetapi juga kepada penonton, yang umumnya merupakan keluarga dan tamu undangan. "Kami menyampaikan nasihat dengan cara yang ringan dan humoris, agar pesan yang kami sampaikan dapat diterima dengan baik oleh semua orang," ucap beliau.

Mas Sigit juga menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan Begalan, terdapat beberapa aturan yang harus diikuti, seperti penggunaan gending bendrong kulon sebagai iringan musik, serta kostum adat Jawa yang dikenakan oleh para pelaku. Prosesnya sendiri memakan waktu sekitar 20 hingga 30 menit, tergantung dari permintaan pihak penyelenggara.

Tantangan Pelestarian Budaya

Meskipun masih dilestarikan, tradisi Begalan menghadapi tantangan besar di era modern ini, terutama terkait dengan minat generasi muda. Menurut Mas Sigit, hingga saat ini belum ada generasi muda yang benar-benar tertarik untuk mempelajari dan melanjutkan tradisi ini. "Kebanyakan pelaku Begalan adalah orang tua, dan sampai saat ini saya belum menemukan anak muda yang mau belajar dan terjun dalam tradisi ini," ujar beliau.

Masalah lainnya adalah terkait keterbatasan waktu dalam prosesi pernikahan modern, yang sering kali membuat pementasan Begalan harus dipersingkat. Meskipun demikian, Mas Sigit selalu berusaha untuk menjaga esensi dari tradisi ini, dengan tetap menyampaikan nasihat-nasihat penting kepada pengantin, meskipun dalam waktu yang terbatas.

Untuk menghadapi tantangan ini, Mas Sigit telah mengambil langkah-langkah inovatif, seperti menggunakan media sosial untuk memperkenalkan dan mempromosikan Begalan kepada masyarakat luas. Beliau sering memposting video dan foto pertunjukan Begalan di platform seperti WhatsApp dan Instagram, dengan harapan dapat menarik perhatian generasi muda. "Saya sering membuat konten dari setiap pertunjukan, supaya masyarakat, terutama anak-anak muda, bisa melihat dan tertarik dengan tradisi ini," tambah beliau.

Harapan dan Upaya Pelestarian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline