Lihat ke Halaman Asli

NieNie

Sekedar Berbagi

Jangan Terlalu

Diperbarui: 7 Oktober 2022   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Saya teringat dulu waktu kecil sering dinasehati untuk jangan terlalu. Tidak untuk semua hal memang, tapi hampir ke banyak hal. Sampai-sampai waktu saya kecil kalau saya tertawa atau bercanda terlalu senang, saya juga diingatkan jangan terlalu senang, nanti nangis lho. Namanya masih kecil, ya saya tidak tahu artinya apa. Jadi nasehatnya tidak begitu saya pedulikan. Biasanya betul, ujung-ujungnya saya berkelahi dengan saudara saya yang tadinya saya ajak bercanda itu. Nah kalau sudah begitu biasanya saya menangis, ha-ha-ha. Entah nasehat itu suatu kebetulan, atau harusnya memang seperti itu.

Nasehat serupa mungkin pernah kita berikan kepada keluarga, teman, sahabat, orang terdekat kita tanpa kita sadari. Jangan terlalu ini sepertinya jadi berlaku universal, terutama untuk sebuah kebiasaan atau pola yang biasa kita lakukan. Kalau di jaman kekinian, kita mungkin sering mendengar kata "lebay" atau berlebihan. 

Tidak sepenuhnya serupa, tapi ada kesamaan antara terlalu dengan lebay, dimana keduanya ada pada tingkat yang tidak normal atau wajar untuk kita. Misalnya, jangan terlalu kenyang, jangan terlalu sedih, jangan terlalu senang, jangan terlalu berharap, jangan terlalu memaksa, dan lain sebagainya. Biasanya untuk hal-hal yang bersifat fisik atau nyata, jangan terlalu ini lebih mudah disesuaikan. Misalnya jangan terlalu tinggi, masih bisa disesuaikan ketinggiannya. Jangan terlalu jauh, juga masih bisa dibuat sehingga lebih sesuai jaraknya. Namun jika sudah berhubungan dengan kebiasaan atau terkait dengan perasaan, penyesuaian supaya tidak terlalu ini jadi lebih sulit untuk dilakukan.

Salah satu yang membuat lebih sulit adalah karena kita terkadang tidak tahu sampai mana kadar yang sudah dikategorikan terlalu, dan mana yang masih standar wajar dan normal, atau paling tidak masih memungkinkan. Bisa saja kita meletakkan standar kita lebih dari tingkat kewajaran atau kenormalan. Namun kembali lagi, bagaimana standar yang lebih tinggi tersebut tidak kemudian menjadi terlalu. 

Menurut saya, bukan kita tidak tahu kadar kita yang mana, hanya saja biasanya kita mungkin dengan sengaja tidak menghiraukan standar kita, atau bisa juga tidak mau menyadarinya, atau kita tidak mau mencari tahu. Padahal standar masing-masing orang bisa berbeda-beda atau relatif.

Apalagi kalau sudah berhubungan dengan hati. Nasehat jangan terlalu ini biasanya makin tidak dihiraukan, ha-ha-ha. Jangan terlalu cinta, jangan terlalu sayang. Saya juga mengalami kok

Nah pas lagi patah hati, baru deh saya sadar bahwa betul juga ya, kalau tidak terlalu sayang atau tidak terlalu cinta, mengelola perasaannya jadi lebih mudah. Tapi itu bukan berarti tidak sayang atau tidak cinta lho ya. Itu lebih ke bagaimana mengelolanya dalam perasaan batin kita sehingga ibarat kita sudah punya antisipasi untuk apapun kondisi yang akan terjadi. Toh bagaimanapun tidak ada sesuatu yang abadi.

Nah, bagaimana jika sudah terlanjur terlalu pada sesuatu? Menyadari bahwa kita sudah terlanjur terlalu pada sesuatu, berarti kita sudah mengetahui positif dan negatif-nya, termasuk alasan kenapa kita tidak baik terlalu pada hal tersebut. Misalnya kita sudah menyadari bahwa kita terlanjur terlalu sering tidur malam, terlanjur terlalu sering makan junkfood, terlalu sedikit minum air putih, dan lain-lain. Kita pasti sebetulnya sudah merasakan efek negatifnya, misalnya cepat merasa lelah, merasa tidak sehat, dan lain-lain. 

Bagi yang sudah merasakan negatifnya biasanya mungkin ada efek jera atau punya keinginan untuk mengurangi atau menghilangkan efek negatifnya. Tapi bagi yang belum merasakan negatifnya, ada baiknya tidak menunggu efek negatifnya terjadi, tapi lebih ke antisipasi atau berhati-hati agar tidak menyesal kemudian.

Ada beberapa cara untuk mengelola kebiasaan yang sudah terlanjur terlalu. Salah satunya adalah dengan melakukan kebalikannya, yaitu mengurangi atau menambah. Biasanya ini akan jadi memunculkan kebiasaan baru. Namanya kebiasaan baru, biasanya di awal-awal pasti berat. Konsisten adalah salah satu kuncinya. Bagaimana supaya konsisten? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline