Kamboja adalah suatu negara yang terletak di wilayah Indochina dan menerapkan sistem pemerintahan monarki internasional. Kamboja mendapatkan kemerdekaannya setelah Perancis meninggalkan kawasan Indochina pada sekitar tahun 1955. Selain itu, Kamboja juga termasuk salah satu negara di wilayah Asia Tenggara yang sering dilanda konflik. Beberapa konflik yang pernah terjadi di Kamboja seringkali disebabkan oleh faktor persaingan kekuasaan diantara para kalangan elit yang ada. Adapun konflik yang pernah terjadi di Kamboja ini terbagi ke dalam tiga periodesasi, yaitu konflik pada masa pemerintahan Sihanouk pada tahun 1955-1970, masa pemerintahan Lon Nol pada tahun 1970-1975, dan masa pemerintahan Pol Pot pada tahun 1975-1979 (Zahriyani, 2017).
Awal mula dari konflik antara Kamboja dan Vietnam adalah terjadi pada masa pemerintahan Pol Pot yaitu ketika Vietnam melakukan kunjungan ke Kamboja, namun tidak disambut baik oleh pemerintah Kamboja. Dimana dari peristiwa tersebut menyebabkan hubungan antara kedua negara tersebut menjadi renggang. Menurut yang dimuat dalam dokumen “Black Paper” milik kelompok Khmer Merah, menyatakan bahwa Vietnam adalah lawan utamanya karena berusaha mengambil wilayah Kamboja. Selain itu, permasalahan yang lain adalah adanya perasaan curiga dan anti terhadap bangsa Vietnam dari kalangan bangsa Khmer Merah. Rasa curiga ini timbul dikarenakan di Kamboja dalam program administrasi dan pekerjaan perkebunam, pemerintah kolonial Perancis banyak mendatangkan orang-orang dari bangsa Vietnam (Allo, 2013).
Selain itu, terdapat perbedaan stratifikasi sosial yang begitu mencolok terlihat dari banyak orang Vietnam memegang birokrasi pemerintahan dan menguasai sektor ekonomi. Dimana hal tersebut menimbulkan rasa kecurigaan dan kebencian bangsa Khmer terhadap bangsa Vietnam. Bahkan bangsa Khmer Merah ini menyebut bangsa Vietnam sebagi bangsa yang kasar dan agresif, serta menjuluki mereka dengan Thmil yang memiliki arti “musuh abadi yang tak mengenal Tuhan”. Di lain sisi, bangsa Vietnam menyebut bangsa Khmer sebagai orang yang kotor dan malas, bahkan menjuluki mereka dengan sebutan Chao yang berarti “orang biadab yang kejam”. Akhirnya, pada masa pemerintahan Pol Pot muncul gerakan Kap You, sebuah gerakan untuk membantai orang-orang keturunan Vietnam (Setyawan, 2007).
Konflik yang terjadi di Kamboja pada masa pemerintahan rezim Pol Pot tersebut menyebabkan banyak terjadi pemberontakan dan perlawanan salah satunya adalah dari Heng Samrin dan Hun Sen, seorang aktivis revolusioner. Pada bulan April 1978 Heng Samrin pernah melakukan kudeta kepada rezim Pol Pot akan tetapi gagal dan ia kemudian melarikan diri dan meminta bantuan politik ke Vietnam. Melihat keadaan ini Vietnam tentunya mengambil kesempatan dan memberikan dukungan kepada Heng Samrin. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada sejak tahun 1977 Vietnam tengah bertikai mengenai tapal batas negara dengan Kamboja. Perang antara Vietnam dan Kamboja ini awalnya didasarkan dari kekhawatiran rezim Pol Pot akan kehendak Vietnam yang ingin menyatukan wilayah Indocina dibawah kekuasaan Vietnam (Fauzan, 2018).
Selain itu, konflik antara Vietnam dan Khmer Merah ini juga disebabkan dari kecenderungan kuat Khmer Merah terhadap RRC. Bagi Kamboja, RRC telah menjadi donatur utama dalam perdagangan dan militer. Hal ini tercermin dari jumlah penasihat militer RRC yang ditempatkan di Kamboja. Sementara itu, Vietnam sendiri lebih dekat dengan Uni Soviet dan memiliki hubungan yang kurang baik dengan RRC. Khmer Merah bahkan tidak mengindahkan ultimatum dari Vietbam mengenai kedekatan Kamboja dengan RRC, dan bahkan secara terbuka mengungkapkan hubungannya dengan RRC. Padahal Vietnam mempunyai jasa besar bagi Kamboja terutama ketika perang menghadapi Perancis dan menggulingkan kekuasaan Lon Nol. Pada tahun 1977 kekecewaan Vietnam meningkat ketika Kamboja melakukan pelanggaran dengan melewati Vietnam tanpa ijin di wilayah perbatasan dengan alasan melakukan pemburuan terhadap kelompok pemberontak. Konflik di perbatasan tersebut tidak dapat dihindarkan karena tindakan dari Kamboja terntunya jelas mendapatkan perlawanan dari tentara Vietnam (Apriani, 2013).
Perang perbatasan antara Vietnam dan Kamboja ini berlangsung sengit. Sejak Januari 1978, Vietnam mengirim pasukan yang dilengkapi dengan senjata modern, dan bantuan dari Uni Soviet secara bertahap menguasai wilayah perbatasan antara kedua negara. Di selatan, tentara Vietnam berhasil merebut kota Takeo, 70 km selatan kota Phonom Penh, dan di utara, tentara Vietnam telah menembus jauh ke dalam di provinsi Prey Veng, Kamboja. Sedangkan Kamboja menurunkan pasukan daratnya sebanyak 80.000 untuk menghalau pergerakan Vietnam. Sistem perang yang digunakan oleh tentara Kamboja menggunakan sistem yang dipakai oleh tentara RRC. Dalam konflik kali ini, Kamboja yang sudah memutuskan kerjasama diplomatik dengan Hanoi dimintai oleh Vietnam untuk merundingkan penyelesaian sengketa perbatasan (A.R, 2009).
Namun, Phnom Penh menolak pemerintah Hanoi dengan alasan bahwa Phnom Penh tidak akan melakukan perundingan sampai penarikan tentara Vietnam dari wilayah Kamboja. Kamboja juga menuduh Vietnam melakukan penyerangan dengan dalih kekacauan dalam urusan internal dan kurangnya persediaan beras. Penolakan Kamboja atas perundingan yang diajukan oleh Vietnam tersebut, memaksa Vietnam untuk menambah jumlah pasukan ke wilayah perbatasan. Diketahui juga bahwa sekitar 80.000 tentara Vietnam memasuki wilayah Kamboja dan menyusup sekitar 40 hinggs 60 km di wilayah Kamboja. Tepatnya di kawasan Paruh Kakaktua yang berada di Provinsi Svey Rieng (Runtukahu, 2009).
Selain itu, tentara Vietnam juga berhasil menginvasi kota Neak Luong, sekitar 55 km dari kota Phnom Penh. Kota ini sangat penting karena tentara Kamboja tidak bisa mendapatkan bantuan dan pembekalan dari Phnom Penh setelah Vietnam menguasai kota tersebut. Namun, ini tidak menyebabkan melemahnya tentara Kamboja. Untuk mengobarkan semangat pasukannya, Pol Pot melancarkan propaganda dengan disiarkan melalui siaran radio Phnom Penh. Selain itu, dalam perang ini pemerintahan Kamboja melaporkan menggunakan “perang rakyat”, yang berarti perang total dengan menggunakan kekuatan rakyat dalam upaya untuk menghalau serangan dari pasukan Vietnam. Pada 1978, perang ini belum memperlihatkan tanda-tanda akan selesai, justru konflik semakin memanas setelah Vietnam terus menambah jumlah pasukkannya (A.R, 2009).
Dengan bantuan senjata militer dari Uni Soviet, KNUFNS (Kampuchea National United Front for National Salvation) atau Front Persatuan Nasional Kamboja untuk Keselamatan Nasional yang dibentuk oleh Heng Samrin pada 3 Desember 1978 bersama dengan tentara Vietnam melakukan serangan ke daerah basis pertahanan Khmer Merah. Hingga akhirnya pasukan pemberontak KNUFNS yang dibantu tentara Vietnam berhasil meginvasi kota Phnom Penh dan mengibarkan bendera kebangsaan mereka di berbagai gedung pemerintahan ibukota pada 7 Januari 1979. Sehingga dari peristiwa ini telah menandai kekuasaan Khmer Merah (Pol Pot) berakhir ketika kota Phnom Pen jatuh ke tangan KNUFNS dengan dukungan dari Vietnam. Pada tanggal 11 Januari 1979, pemimpin baru di Kamboja ini mendeklarasikan diri sebagai Republik Rakyat Kamboja (Surbakti, A. Ramlan, 1986).
Pada masa pemerintahan Heng Samrin, ia berusaha untuk memulihkan kembali negara Kamboja dengan melakukan pembangunan di segala sektor (Asmara, 2019). Namun, segala usaha yang dilakukan banyak yang kegagalan terutama dalam mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Hal tersebut dikarenakan tindakan invasi yang dilakukan oleh Vietnam ke Kamboja tidak sesuai dengan hukum internasional. Kecaman juga datang dari para pemimpin ASEAN yang berakhir bersama dikeluarkannya perjanjian antara Menlu ASEAN. Pada 2 Januari 1979 ditandatangani perjanjian yang berisi mengutuk tindakan invasi Vietnam di Kamboja, menegaskan hak rakyat Kamboja untuk secara bebas menentukan masa depan mereka dari campur tangan luar dan menyerukan penarikan tentara asing dari Kamboja (Fauzan, 2018). Namun, Vienam memprotes perjanjian tersebut, dengan mengatakan bahwa tindakan invasi yang dilakukan adalah benar. Dasar permikiran ini adalah kekhawatiran Vietnam terhadap ekspansionis RRC melalui Khmer Merah.
Penyelesaian dari konflik antara Kamboja dan Vietnam ini sebenarnya melalui banyak proses yang diantaranya adalah melaui Jakarta Informal Meeting I yang dilaksanakan pada tanggal 25 sampai 28 Juli 1988 dan dilanjutkan dengan Jakarta Informal Meeting II yang dilaksanakan pada 19 sampai 21 April 1989 membahas permasalahan mengenai penarikan tentara Vietnam, mencegah Khmer Merah sebagai pemimpin kembali di Kamboja serta membentuk pemerintahan sementara di bawah Sihanouk. Akan tetapi, perundingan tersebut tidak mencapai hasil yang memuaskan. Dimana akhirnya terselenggaralah Konferensi Tingkat Tinggi di Paris pada tanggal 30 sampai 31 Juli 1989 dengan dihadiri 20 negara membahas tentang permasalahan yang dibicarakan di JIM. Selanjutnya pada tanggal 23 Oktober 1991 ditandatanganilah dokumen perjanjian perdamaian Kamboja di Paris dengan harapan dapat mengakhiri peperangan dan konflik yang terus terjadi di Kamboja (Setyawan, 2007).