Lihat ke Halaman Asli

Ani Herlina S Pd

Pegiat Literasi Islam

Mahligai Cinta

Diperbarui: 8 Maret 2021   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bunda menatap putra ketiganya dengan dengan perasaan sendu. Wajah yang kuyu tidak terawat, baju yang acak-acakan seperti nggak mengenal setrika, padahal pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan bonafid. Pasti ada masalah lagi dengan istrinya. Tapi, sebagai Ibu, ia harus berada diposisi yang netral, tidak boleh memihak sipapun. Faris sudah cukup besar untuk  mengatasi masalahnya sendiri. Dia adalah pemimpin dalam rumah tangganya, yang harus mampu mengambil keputusan. Sedangkan seorang Ibu cukup menjadi penengah, tidak membela siapapun. Baik anak atau menantu.

"Abang mau mandi dulu atau makan dulu ? " tawar Bunda perhatian.

"Mandi dulu aja Bun, Abang gerah dan tubuh terasa lengket." jawabnya lelah. Bunda pun mempersilakan anaknya untuk mandi. Dia tidak menanyakan langsung masalah yang terjadi pada rumah tangga anaknya, karena tadi pagi Fatma menantunya datang kerumah, mengadukan segala permasalahannya.

Dalam lima belas menit, Faris sudah selesai mandi dan wajah terlihat lebih segar. Dia menyusul Bunda ketempat makan. Melihat masakan Bunda di meja, membuat air liurnya terbit. Semua makanan kesukaannya. Rendang daging sapi, ada perkedel kentang, dan sambal ijo plus kerupuk. Setelah meminta izin pada Bunda dan berdo'a dia makan dengan lahap. Sudah lama Faris tidak merasakan makanan rumah, Fatma selalu beralasan sibuk karena Ghozi yang super aktif sekali, istrinya lebih memilih untuk beli delivery order  ketimbang memasak. Bahkan rumah tidak terawat, mainan dimana-mana. Itu semua pasti ulah Ghozi, tapi sesibuk itukah Fatma sampai nggak bisa membereskannya.

Bunda memperhatikan anaknya yang makan dengan lahap. Rasanya senang luar biasa, sudah lama Bunda tidak menyaksikan pemandangan seperti ini.

"Sekarang Bunda boleh nanya sama Abang ? " tanya Bunda lembut, setelah anaknya selesai makan.

"Fatma pergi lagi dari rumah, Bun. Telephonnya nggak di angkat juga. Abang lelah ngadepin sikap dia yang nggak pernah bisa dewasa." jelas Faris sedikit muram.

Bunda merapikan piring kotor bekas makan Faris.

"Biar Abang yang rapiin, Bun" insiatif Faris sambil membawa piring kotor kedapur sekaligus mencucinya, lalu merapikan kembali lauk-pauk yang masih tersisa menyimpannya di lemari makanan.

"Bunda tunggu di taman belakang ya, Bang." Faris mengangguk, setelah rapi dia segera menyusul Bunda ke taman.

"Kalau Bunda boleh tahu, apa yang menyebabkan Fatma pergi dari rumah?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline