Lihat ke Halaman Asli

Perjumpaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.  Perasaan takut terus menyelimuti tanpa permisi. Kekhawatiran menyeka bilik-bilik jiwaku, seandainya saja aku akan terbangun kesiangan. Dan semua mimpi akan berakhir.

Beruntung.  Alarm yang sengaja ku set pada kedua hape-ku, dapat membuat nyawa kembali ke raga. Meski kantuk baru saja mendera.  Bangun tepat  di pagi yang masih terasa dingin. Jam lima teng, aku  sudah selesai mandi.  Berbenah. Jilbab merah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari terasa sangat pas dengan kondisi hatiku. Berani?

Memeriksa ulangtiket, Paspor, ID Card, Lap top, Kamera,Koperdan semua yang telah kupersiapkan. Jam 6 pagi  dan ini masih terlalu awal untuk sebuah aktivitas. Sekitar 45 menit, Taxi berwarna merah marun  yang kutumpangi membawaku meluncur  ke BandaraChek LapKokyang tak pernah sepi. Pagi yang terasa dingin  dengan rintik hujan mengiringi. Seakan langit mengerti,  tentang debar yang terasa di hati.

Lima tahun lalu, kenangan itu tiba-tiba muncul. Kedatanganku sebagai komunitas barudi tempat yang dihuni oleh kaki-kaki besi  yang selalu sibuk. Diburu rutinitas tanpa batas. Dan semuanya menuntut laju yang cepat.  Seperti deru mesin yang tak dikenal ngadat.

***

Jam tujuh tiga puluhcex inselesai.Masih tersisa dua jam lagi menunggu waktu penerbangan. Aku gelisah. Keringat mulai terasa mengalir pada pelipis yang tertutup oleh jilbab. Telapak tanganku dingin. Dan ini tidak seperti biasanya.

Jam sembilan tiga puluh, PesawatCathay Pasificyang kutumpangi berangkat on time.Hai, kenapa perasaanku  tiba-tiba saja berubah? Yakin dengan jalan yang akan kamu tempuh? Hahaha, kamu gak salah jalan kan? Mana komitmen dan janji yang selama ini kamu koarkan? Hatiku mulai berdialog tanpa permisi. Harusnya hari ini aku bahagia. Bukankah ini adalah angan yang selama beberapa bulan selalu membayang?

Ah, senyumku kecut! Aku yang sedang galau,  berharap akan dapat jatah tempat duduk di bagian dekat jendela. Menatap awan dengan lebih dekat. Dengan harapan,  akan menjadi orang yang pertama kali menatap tumpukan atap-atap hunian berwarna cokelat  di   langit-langit Jakarta. Ya, pertama kali. Lantas, kuharapkan sketsa wajahmu juga akan hadir  di sana. Menungguku dengan senyum di pipi lesungmu yang selalu kurindu.

Setengah jam lagi, pesawat mendarat. Jatah makan di dalam Pesawat kubiarkan terlewat. Dan aku semakin diburu dengan perasaan was-was yang mengarat.  Apakah benar hari ini aku akan berjumpa denganmu? Setelah selama itu kita sebilik?Pada siang dan malam yang selalu kita habiskan dengan ujung kerinduan tanpa muara, perjumpaan?

“Tuhan, berilah kekuatan padaku.”

Bandara Soeta. Akhirnya bertemu juga dengan kedua sahabat yang kukenal melalui jejaringan sosial di salah satu komunitas menulis. Mereka berdua sengaja menjemput di kedatanganku. Kami sering saling menyapa, bertukar fikiran dansharingtentang apapun.  Akan membuat acara kopdaran kecil-kecilan dengan beberapa kawan yang berada di Jakarta atau kebetulan sedang berada di Jakarta, adalah  bagian dari rencana kecil kami.

“Bagaimana dengan Indonesia,  sangat jauh berbeda kan, haha..?”

Kami larut dalam peluk dan canda. Dua orang sahabat yang kuanggap pula sebagai sesepuh  yang  selalu mempunyai semangat luar biasa.

“Nda, kamu di mana sih?”

“Pakai baju warna apa?” Di ujung telfon, gelora kami disatukan kembali dalam sapa.

Deg!!!

Aku semakin gelisah.

Sesaat tatapku menemukannya terlebih dahulu. Wajahnya masih sama. Rambutnya. Pipi lesungnya. Dan tatapan mata yang membuatku selalu terpana.  Waktu yang canggung, membuatku sengaja berpaling. Pura-pura tidak mengetahui keberadaannya.

Tangan kami tidak pernah saling menjulur sekadar basa- basi.

Dadaku berdesir, lirih. Mataku tak sanggup untuk sekedar menatapnya. Atau bahkan memastikan bahwa ini adalah orang yang selama  itu mengisi hari-hariku. Membuatku kembali berani menaruh sedikit mimpi untuk menghitung gemintang di langit yang malamnya tak selalu sepi. Walau aku juga tahu,  kapan aku  diharuskan  berhenti dan selesai menghitung gemintang itu.

Hahaha...cinta itu seperti main judi, tahu! Persiapkan saja hatimu. Menang itu pasti bahagia. Dan kalah pasti juga akan bahagia, walau pasti kamu juga  akan merasakan sakit.  Bahagia yang tertunda, maksyutnya, gitu!!! Tapi setidaknya kamu pernah mempunyai keberanian untuk mencobanya. Sukses!!! Pesan singkat yang masuk ke dalaminboxhape-ku beberapa pekan lalu. Pesan yang membuat adreanalin semakin berpacu.

“Nda....”

Sapaan itu yang telah menemukan tatap mata kita. Membuat debarku semakin tak tentu. Aku hanya bisa tersenyum. Sulit bibir ini sekadar untuk mengucap namamu, atau nama panggilan sayang yang selama  ini ku biasakan untukmu. Aku tertunduk malu. Tersenyum tipis, sekedar simpul. Bersembunyi di belakang punggungmu membuatku nyaman.

[caption id="attachment_139959" align="aligncenter" width="375" caption="google.com"][/caption]

Kamar.25.10.22.20.31

Newterritories. Saat aku mulai mengingat dan mengawalinya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline