Lihat ke Halaman Asli

Label Cinta itu Bernama Perkawinan

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1310231347902834979

[caption id="attachment_118949" align="aligncenter" width="580" caption="imagesblogshop.com"][/caption] Di depan cermin rias kamar, aku palingkan tubuhku ke ke kanan dan ke kiri. Mencoba mengamati ulang, adakah lekukan tubuhku yang sudah berubah? Adakah bagian belakang tubuhku yang sudah tak lagi kencang ?Ach, ku kira masih sama saja dengan beberapa bilangan tahun yang sudah terlewati untukku. Ku alihkan jeli mataku ke arah wajah kini. Ku amati dengan detail sisi pipiku yang mulai di tumpangi oleh lapisan pori-pori yang membesar dan tumbuh liar. Ku elus pelan pipiku, dan ku alihkan lagi tatapanku ke arah hidung. Banyak yang bilang kalau hidungku itu mancung. Bahkan dahulu ada kakak kelas sewaktu di SMA yang nekat nembak, gara-gara menyukai bentuk hidungku yang mirip keturunan orang India. Ach, aku harus berbesar hati lagi untuk kali ini. Hidungku yang indah tak lagi ramah untuk dilihat. Sekelompok komedo menutupi bagian depannya dengan warna gelap, dan membuatku semakin gelisah.

***

Sepertinya aku sudah lama sekali tidak memperhatikan secara jeli setiap bagian tubuhku. Semenjak waktuku tidak bisa sepenuhnya menjadi milikku. Semenjak aku di sibukkan oleh status baruku. Istri bagi suamiku dan Ibu bagi buah hatiku. Bahkan kapan terakhir kali aku pergi ke salon pun, aku sudah lupa! Kumengeja kembali. Mengenali lagi raut wajahku yang sudah banyak perubahan. Kuhentikan sejenak ketika tanganku menyentuh bagian bibirku yang tak bergincu. Kenapa aku menjadi sepucat ini? Kenapa aku sampai lupa memakai gincu di bibirku? Bukankah hal ini sangat aku sukai?

Ku hentikan jeli mataku untuk tetap beradu tatap dengan cermin. Tetapi kenapa tanganku tak bisa berhenti untuk meraba lagi. Meraba setiap bagian tubuhku yang sudah banyak mengalami perubahan. Ach, perutku...!!!

Ada dua lipatan yang membuatku selalu terganjal ketika sedang duduk. Atau, membuatku harus menutupinya dengan tas tangan ketika aku berjumpa dengan sanak keluarga di reunian. Sisa operasi caesar buah hatiku telah membuat tubuhku berantakan tanpa menyisakan lekukan gitar Spanyol lagi yang dahulu aku miliki.

***

“Bunda...Lala pengen punya dedek!” Rengeknya tanpa penjelasan dan terkesan aneh ketika baru saja pulang sekolah.

Haaa...tingkah polah bocah kecilku secara tiba-tiba membuat kegelisahanku semakin membuncah. Rasanya baru beberapa detik yang lalu aku letakkan beban cermin yang membuntuti bagian tubuhku. Menambah berat beban di pundakku dengan tambahan hitungan beberapa ratus kilogram di sana.

Kringgg...

Assalamu’alaikum ndhuk...gimana kabarnya? Suamimu sekarang sedang di sini looo.... Kapan aku akan dapat menimang cucu lagi?” Mertuaku mengakhiri pertanyaannya.

***

Terdiam sejenak!

Aku segera berlari ke arah cermin di kamarku. Ketegangan tiba-tiba membuat jantungku berdetak sepuluh kali lebih cepat. Jemariku mulai terasa basah. Kukepalkan ia di lipatan rok panjang yang kukenakan. Baru saja kondisiku mulai membaik akibat sakit yang kuderita selang beberapa minggu di perutku. Menurunkan berat badan merupakan topik hangat yang sering dibahas oleh setiap sahabatku di arisan akhir pekan. Terapi buah lemon yang kulakukan atas saran seorang sahabat dengan alasan lebih aman tanpa obat-obat biotikterlalu berlebihan kulakukan. Dan sempat membuatku benar-benar sulit makan.

***

Kini setelah virus diet kembali mengajakku berjabat tangan, dan aku mengiyakan tanpa paksaan, justru keluargaku memilihkan pilihan yang tak bisa kukilahkan.

“Ma...bukankah Lala sudah berusia enam tahun? Ia sudah pantas untuk mempunyai adek kan? Kenapa harus ditunda?”, berondongan pertanyaan dari suamiku seperti larastentara melepahkan pelurunya di medan perang, tak bisa kuimbangi dengan sebuah jawaban. Aku kembali terdiam.

***

Kubuka laci berukir bunga warna merah marun di sisi kanan ranjangku. Kuhitung kembali jumlah pil KB yang tersisa di sana. Ha.....ku ulangi lagi menghitungnya. Dan kuulangi lagi jemariku untuk mengetahuibilangan yang tersisa,dibarengi melirik kalender dengan coretan tanggal pembeliannya.

“Bukankah seharusnya aku sudah menghabiskan pil ini? Tetapi kenapa masih tersisa?”, hatiku menggumam tak menentu. Ha.....aku lupa?

Ketegangan tentang virus diet selang beberapa pekan  ini telah membuatku lupa untuk menelan pil KB-ku.

***

“Ma...ma...bangun ma....”

“Ma.....”

Setelah aku siuman dari pingsan, jarum infus telah menancap di pergelangan tangan kiriku. Suamiku menggenggam erat tanganku. Wajahnya terlihat sangat tegang dan tak bisa tersenyum. Bisikan lembut dan halusnya menyentuh sangat dekat di telinga kananku. Dadaku berdesir seperti pasir yang sedang di haluskan di ayakan.

Aku hamil satu bulan!!!

Aku terdiam. Tetapi kini berbeda. Pergelangan yang sedang tertancap oleh infus itu menghalangiku untuk berlari ke depan cermin.

“Alhamdulillah Tuhan.....terimakasih Mama.”

“Jangan fikirkan apapun sayang..., biarkan saja mereka mengolok tubuhmu. Aku akan tetap menyayangimu seperti pertama saat kita menuai benih cinta di pelataran yang kita penuhi dengan janji kejujuran.”

Air mataku menetes tak tertahan. Kecupan mesra suami di keningku semakin menguatkan kepasrahan diri akan kodratku.

HK-Mencoba mengurai tentang sebuah perasaan dan apa yang dirasakan.....

00.45- 100711

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline