Lihat ke Halaman Asli

Ani SH

Mahasiswa

Bagi Orang Awam, Saham Dijauhi Saja atau Harus Didekati?

Diperbarui: 12 Februari 2019   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Beberapa saat yang lalu, saya melihat suatu video yang berkenaan dengan hukum saham dalam Islam. Terlepas dari hasil fatwanya, saya terheran-heran pada pernyataan Ulama tersebut yang mengatakan : "Jangan main-main dengan saham. Jika nggak tau tentang saham, lebih baik dihindari. Saya pernah tahu seorang pilot, yang berutang untuk membeli saham, dan ketika harga saham jatuh, dia terlilit hutang."

Sementara, di sisi lain, saya pernah mendengarkan podcast di sebuah aplikasi karya anak bangsa, yang membahas tentang kiat-kiat finansial, dari seorang narasumber finansial consultant, yang mengatakan bahwa memiliki aset (saham maupun obligasi) itu adalah syarat utama kalau mau memiliki keamanan finansial.

Saya pernah mendengar cerita dari teman saya yang mengikuti seminar Tungdesem Waringin, bahwa orang-orang, semiskin apa pun, seharusnya memiliki kemampuan untuk menyisihkan setidaknya 10% dari pendapatan mereka sebagai aset. Aset inilah yang akan bekerja untuk kita, dengan kata lain "Uang bekerja untuk kita". 

Kok bertentangan banget ya? Apakah benar saham itu dijauhi saja kalau kita nggak ngerti apa-apa soal saham? Atau justru saham itu sebagai jalan keluar untuk kestabilan finansial? 

Kalau menurut saya pribadi, saya lebih setuju pada argumentasi para pakar finansial itu, daripada ulama yang baru saja saya dengar. Bukan bermaksud melemahkan ulama tersebut, tapi untuk mengambil suatu nilai baik buruk, bukankah memang lebih baik percaya pada ahlinya? 

Ada suatu hadist dari Rasulullah SAW ketika beliau ditanya oleh seorang petani pohon kurma. Ia bertanya, bagaimana ya Rasul, agar kurma ini bisa berbuah banyak. Rasulullah memberikan suatu jawaban. Ketika jawaban itu diterapkan, hasilnya kurma malah tidak berbuah banyak. Para petani menagih kepada Rasul, dan kemudian Nabi mengatakan, seharusnya jika ingin kurma berbuah banyak, mereka bertanya pada ahlinya. Rasul hanya manusia biasa, dan bukan ahli segala bidang. Tentu yang tahu ilmu pertanian adalah seorang petani.

Yang tahu tentang masalah finansial tentu adalah para pakar finansial. Saham seharusnya sesuatu yang diikuti oleh banyak orang. Orang awam sekalipun, seharusnya memiliki "aset". Tidak harus saham, bisa lewat reksadana, deposito, emas, tanah, dll. Pilihan aset itu banyak. 

Karena, kekayaan kita bukan terletak pada seberapa banyak uang yang kita miliki. Tapi seberapa banyak aset yang kita miliki. Aset itulah yang mendefinisikan kekayaan. Maka dari itu, menurut saya logis, apabila semua orang haruslah memiliki aset, dalam bentuk apa pun itu, salah satunya saham.

Saya memang setuju apabila orang awam harus belajar saham dulu sebelum menginsvestasikan kekayaan mereka pada saham. Yup, mereka harus belajar dulu, bukan tidak boleh sama sekali. Jika orang awam tidak boleh menginvestasikan pada saham, lalu bagaimana mereka mau untuk belajar? Yang ada malah menjauhi sama sekali. Padahal saham itu nilai positifnya banyak.

Meskipun kita awam pada saham, kalau punya uang lebih, menjadikan uang itu sebagai aset adalah wajib jika ingin memiliki masa depan yang lebih baik. Saya menyarankan untuk ikut reksa dana. Reksa dana pada hakikatnya sama seperti saham, hanya saja kita menyewa orang ahli untuk mengelola investasi kita mau dibelikan saham yang mana.

Untuk menjawab kasus orang terlilit hutang gara gara saham, seperti yang dicontohkan ulama di awal tadi, saya mengkritik bahwa ini ada kesalahan dalam memahami hakikat saham sebagai aset. Saham memang bisa digunakan sebagai mencari keuntungan, tapi pada hakikatnya dia adalah aset. Fungsi aset adalah bentuk kekayaan yang kita miliki, yang mana bisa diproduktifkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline