Hiruk-pikuk politik di “tahun politik” 2014 ini menegaskan bahwa politik tak lain adalah arena perebutan kekuasaan (struggle of power). Kompetisi antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Puitih (KMP) membenarkan fakta ini.
Apapun definisi tentang politik, saya berkeyakinan bahwa politik adalah ruang pertarungan bagi para bandit untuk memperoleh kuasanya dalam sistem politik tertentu. Karena itu, janji politik adalah lift service (basa basi) politik untuk mengelabui rakyat. Setelah mereka terpilih, maka pastinya mereka akan kembali menjadi “manusia politik” yang berfikir tentang kepentingan, asas kemanfaatan dari jabatannya.
Tepatlah apa yang dikatakan James Clarke, seorang intlektual Amerika abad ke-19, bahwa dalam pikiran seorang politisi hanyalah soal pemilihan, dan seorang negarawan berfikir tentang generasi masa depan. Marilah kita lihat siapa yang berwatak politisi dan siapa yang berwatak negarawan dalam dua kubu tersebut.
Pertama, pada “tahun politik” 2014, terutama menjelang pilpres 9 Juli 2014, realitas politik menampilkan maraknya kampanye hitam (black campaign) yang berisi fitnah, kekerasan politik, sampai dengan debat kusir yang tak berujung. Siapa aktornya? KIH merekayasa media bahwa KMP telah melakukan kampanye hitam. Sebaliknya, KMP menangkis bahwa KIH telah melakukan black campaign dengan menyudutkan Prabowo. Faktanya,kedua kubu masing-masing melakukan kampanye hitam yang direkayasa melalui media massa. Adakah satu lebih baik dari lainnya? Tidak! Mereka sama.
Kedua, suasana politik semakin memanas pasca pilpres. Lolosnya Undang-Undang Pilkada oleh DPRD yang diusung KMP memunculkan polarisasi politik semakin kuat. Muncul anggapan bahwa lolosnya UU tersebut sebagai agenda KMP dalam mencegal pemerintahan Jokowi-JK lima tahun mendatang. Apalagi KMP telah berhasil merebut kursi ketua DPR, MPR dengan meloloskan UU MD3 sehari seblum pilpres 9 Juli.
Naluri Politik
Terlepas dari baik buruknya pilihan pilkada langsung atau oleh DPRD, kita harus mengingat bahwa dalam proses reformasi konstitusi 1999-2002, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai yang paling getol menolak pilkada langsung. Lantas mengapa sekarang PDIP paling keras menyuarakan Pilkada langsung?
Berikutnya, sejak 2005, Partai Demokrat (PD) adalah menyokong utama argumentasiPilkada langusng. Dengan lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang otonomi dan pemerintah daerah, Pilkada pun digelar secara langsung diberbagai daerah. Lalu, mengapa sekarang Demokrat “berselingkuh” dengan KMP yang mendukung pilkada oleh DPRD?
Dalam hemat saya, inilah bukti bahwa politik saat ini tidak lagi menjadi pertarungan ideologis. Politik tidak lagi berkiblat pada flat form partai politik. Tetapi politik (saat ini) adalah pertarungan kepentingan (interest) antara elit-elit yang berkuasa. Akhirnya, politik menjadi semakin membusuk karena hanya menjadi pemenuhan nafsu kekuasaan para elit yang sedang berpesta dalam ruang demokrasi. Pada saat bersamaan mereka sedang mengebiri demokrasi itu sendiri.
KMP berpendapat bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan dinamika politik yang wajar dan tak perlu dikhawatirkan. Mereka cenderung memandang bahwa pergantian sistem dalam pilkada adalah bentuk dinamika politik suatu bangsa. Paling tidak ini tercermin dari argumentasi politisi KMP seperti Fadli Zon, Khatibul Umam, dan Idrus Marham bahwa mengembalikan pilkada kepada DPRD sebagai perwujudan kembali kepada UUD 1945.
Ya, kita sepakat bahwa politik adalah sesuatu yang tidak statis, ia dinamis, dan berubah-ubah. Karena itu Ernes Renen menulis “A nation’s existence is a daily plebiscite” (kehidupan suatau bangsa adalah seperti pelbisit tiap hari). Tetapi persoalannya, ke arah mana kita mengalami perubahan. Apakah kita sedang berubah menuju politik kemajuan atau kita sedang menuju kemunduran politik dan pendangkalan atas kedaulatan rakyat.
Realitas politik tidak mengenal benar atau salah (right or wrong), tetapi politik adalah perihal menguntungkan atau merugikan. Bagi KMP, pilkada langsung adalah tidak menguntungkan bagi mereka saat ini, meskipun sebagian dari mereka sejak 2005 mengusung argumentasi pilkada langsung. Begitu pula PDIP, sangat rasional bagi PDIP untuk mengusung pilkada langsung (meskipun 1999-2002 menolaknya), karena menjaga stabilitas politik setelah memenangkan Jokowi-JK pada Pilpres 2014.
Perlu Jiwa Negarawan
Dalam kontestasi “tahun politik” 2014 ini, politik terlanjur dipahami dan dipraktekkan sebagai tindakan memimpin dan mengatur. Politik dikategorikan sebagai penguasaan dan pengendalian (Agus Sudibyo, 2012: 14). Karena itu, untuk menyelamatkan politik sebagai pembebasan rakyat dari segala macem belenggu diperlukan seorang politisi dengan mental negarawan. Seorang politisi (politika) yang tidak hanya berfikir tentang pemilihan tetapi mampu berfikir tentang orientasi masa depan bangsanya.
Lyndon B. Johnson menyatakan bahwa tugas terberat bagi seorang politisi adalah bukan mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar itu sendiri. Seorang politisi tak hanya mampu mengerjakan apa yang telah ditetapkan sebagai tugas politiknya. Tetapi ia harus mempu berfikir, merencanakan, dan mengorganisir apa yang benar untuk kemasalahatan rakyat dan negaranya. Ia tidak hanya berfikir tentang dirinya, partai, dan koalisinya. Tetapi ia melampui pemikiran politik sesaat demi kemajuan bangsa.
Lalu bagaimana mengetahui apa yang benar itu? Untuk mengetahui apa yang benar itu seoarang politisi harus meletakkan seluruh panduan dan aktifitas politiknya pada nilai-nilai dan norma fundamental bangsa. Apa itu? Konstitusi. Konstitusi adalah tujuan sekaligus cara yang harus dicapai dari setiap agenda politik. Dalam mengambil keputusan-kebijakan politik seoarang politisi haruslah menggunakan kacamata konstitusi. Pancasila, UUD 1945 adalah kacamata konstitusi yang harus dipahami politisi untuk mengetahi apa yang benar dalam politik dan bagaimana mereka dapat mewujudkannya.
Karena itu, demokrasi haruslah berkelindan sesuai dengan amanah konstitusi. Demokrasi konstitusional tak lain adalah demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi (Yudi Latif, Gatra, 10/10/14). Tugas politisi adalah mewujudkan terciptanya pemenuhan tujuan konstitusi itu. Ia harus menanggalkan baju partai dan koalisinya demi kepentingan rakyat. Ia tunduk sepenuhnya kepada konstitusi bukan kepada ketua partai atau ketua fraksinya.
Itu semua hanya mampu dicapai dan dilakukan oleh politisi yang punya jiwa kenegarawanan. Seoarang politisi yang benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat dan bangsa, bukan memenuhi nafsu ketua partainya. Jiwa negarawan menuntun politisi membersihakan jiwanya dari tindakan politik amoral (korupsi, main perempuan, mengerogoti anggaran). Karena politisi tidak hanya petugas partai untuk mengumpulkan proyek, tetapi seorang yang sanggup berfikir tentang masa depan generasi bangsa.
Belajarlah pada Soekarno, Muhammad Hatta, Natsir, Syahrir, Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan sosok lainnya yang mampu melampui kepentingan diri dan partainya demi kepentingan negaranya. Politik tanpa negarawan hanya akan melahirkan tontonan politik yang memuakkan, dan menampilkan aktor-aktor yang tak lain adalah rente-rente anggaran negara untuk kepentingan sendiri dan partainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H