Lihat ke Halaman Asli

Rapuhnya Pilar Demokrasi Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Ada banyak manusia yang punya prinsip di partai-partai politik di sebuah negara, tapi tidak ada partai yang punya prinsip” (Alexis de Tocqueville).

Kutipan dari sejarawan dan pemikir politik Prancis di atas perlu diperhatikan menengok gelagat partai politik akhir ini. Gelombang perpecahan partai politik tengah terjadi. Pasca Pilpres 2014, telah terjadi dua perpecahan partai politik: pecahnya PPP, dan belakangan adalah Partai Golkar.

Perpecahan partai politik bukanlah persoalan baru dalam politik Indonesia. Sejak Indonesia lahir, dimana muncul beberapa partai politik, gelombang perpecahan mulai terjadi. Konflik antara Sartono dengan Soekarno dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) membuat Sartono keluar dari PNI dan mendirikan Partindo. Sebelumnya, Sartono menjadi menteri di kabinet pertama. Namun pada November 1945, Soekarno membubarkan kabinetnya. Sartono didepak dari parlemen dan bergabung dengan KNIP (Daradjadi, 2014). Pergantian Kabinet berkali-kali masa Soekarno, tak lain disebabkan oleh dinamika partai politik yang tidak solid.

Perbedaannya, perpecahan partai politik masa silam lebih besar didorong oleh faktor ideologis. Sementara sekarang ini, perpecahan partai politik lebih besar disebabkan perebutan tapuk kekuasaan partai dan robohnya ideologi dalam partai itu sendiri. Sehingga perpecahan partai politik saat ini memberikan lampu kuning bagi kehidupan demokrasi Indonesia yang sedang berkembang.

Bagaimanapun, partai politik merupakan tulang punggung bagi kehidupan demokrasi sebuah negara. Tanpa partai politik yang sehat, sangat sulit untuk membayangkan demokrasi berlangsung dengan baik. Dalam konteks inilah kita perlu perihatin melihat perpecahan partai politik yang terjadi akhir-akhir ini.

Perpecahan partai politik yang terus berlangsung ini membuat sulitnya proses konsolidasi demokrasi Indonesia. Kegagalan ini membawa Indonesia pada pembusukan demokrasi (frozen democracy) yang berdampak pada rapuhnya toleransi politik antar mayoritas kepada minoritas, antar kelompok, maupun antar partai politik.

Politik Oligarki

Adalah Indonisianis Herbert Feith menjelaskan perihal demikian dalam penelitian desertasinya, yang kemudian menjadi buku berjudul The Decline of Constitutional Democarcy in Indonesia (1962). Konflik internal antar elit partai politik yang sulit menemukan jalan keluar, seringkali membuat jalan terjal bagi tegaknya demokrasi konstitusional di Indonesia. Pertengkaran elit politik inilah menurut Feith menjadi sumbu bagi mundurnya konsolidasi demokrasi yang mapan.

Tesis ini mengurai perjalanan politik Indonesia selama 1949-1957. Meskipun demikian, relevansi tesis Feith masih tepat untuk menunjukkan realitas demokrasi politik saat ini yang ditengerai dikuasai oleh kelompok elit, dan sayangnya—mereka berjibaku dalam konflik yang akut. Sehingga demokrasi Indonesia mengikuti tesisnya Robert Michels dalam konsepnya tentang politik oligarkis.

Dalam bukunya Political Parties, A Socilogical Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (1984), Michels melihat persoalan demokrasi terletak pada perselingkuhan elit politik dalam partai politik yang melahirkan oligarki politik. Oligarki politik membuat partai politik kehilanngan substansinya sebagai pilar demokrasi, berubah menjadi kepanjangan tangan elit kuasa.

Pertama-pertama, oligarki politik dimulai dari elitisme politik dalam tubuh partai politik. Partai politik diisi oleh sekelompok manusia yang haus kekuasaan, menyusun strategi busuk, dan memanipulasi segala sistem. Perebutan kekuasaan dalam partai politik tidak lain untuk menguatkan kekuasaan politik pada level negara. Karena itu, rapuhnya peran partai politik berakibat pada buruknya konstelasi politik di Parlemen.

Fakta ini dapat ditelusuri ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada 21 Agustus 2014 lalu. Sejak itu, sikap partai politik pengusung Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) merancang beragam strategi politik untuk mengebiri kekuasaan eksekutif JokoWidodo-Jusuf Kalla. Melalui siasat UU MD3, KMP menguasai seluruh kekuasaan legislatif (DPR-MPR). Berikutnya, KMP hendak menguasai seluruh pemerintahan daerah melalui Undang-Undang Pilkada. Hasil Munas IX Golkar yang menolak Perpu tentang Pilkada itu menunjukan betapa nafsunya KMP untuk menguasai episentrum kekuasaan politik di daerah.

Langkah KMP itu menunjukkan betapa kuatnya peran elit politik dalam menentukan masa depan demokrasi bangsa ini. Nasip demokrasi sesunggunya berada di manusia pilihan rakyat yang menghabiskan trilyunan uang negara itu. Apakah mereka akan membuka jalan terang bagi demokrasi, atau justru balik mundur, merekalah yang tahu. Tetapi sebagai warga negara, kita berharap mereka lebih mengedepankan politik yang memperjuangkan kemaslahatan publik daripada kepentingan pribadinya.

Rasionalitas Politik

Polarisasi politik dalam bentuk oposisi seperti KIH dan KMP sejatinya dapat menjadi kemajuan dalam demokrasi. Namun masalahnya, oposisi itu justru dijalanan untuk memperebutkan kekuasaan semata. Bukan dalam agenda kebijakan politik sebagaimana antara kubu Republik dan Demokrat dalam dinamikapolitik kepartaian Amerika Serikat. Di sini, semangat koalisi justru didorong nafsu destruktif, dan tidak bersandar pada ideologi politik. Karena itu, sangat sulit untuk mempertahankan soliditas koalisinya. Maka, perpecahan internal partai politik menjadi resiko politik yang harus diterima.

Perpecahan politik secara terang benderang menabrak rasionaliats politik sebagai perwujudan kepentingan publik. Rules of the game dalam politik direkayasa demi tercapai tujuan tertentu. Akhirnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi berkumpulnya kepentingan elit. Sebutlah contoh seperti UU MD3 itu, apakah itu keinginan elit partai politik atau keinginan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam demokrasi? Dalam hemat saya, munculnya UU MD3 tak lain untuk memenuhi syahwat kekuasaan elit politik KMP.

Konflik internal partai politik sejatinya menggambarkan realitas kehidupan politik kita. Pertama, realitas politik masih dianggap sebagai “hitam-putih” kekuasaan. Sehingga segala perbedaan harus berakhir dengan “tandingan”. Munculnya DPR tandingan, PPP tandingan, gubernur tandingan, hingga Golkar tandingan, menunjukan ketidakdewasaan demokrasi politik kita.

Kedua, belum terdapat shif of paradigm di dalam tubuh partai politik sebagai pilar demokrasi yang utama. Partai politik hanya berfungsi sebagai penyalur manusia politik menuju parlemen, dan kemudian menjadi “budak” kekuasaan partai politik. Sementara rakyat ditinggalkan begitu mereka ada ditapuk kekuasaan. Kegagalan ini yang mempersulit bagi kemajuan demokrasi kita.

Selama tidak terdapat “revolusi mental” dalam partai politik, maka demokrasi hanya menjadi isapan jempol bagi kebebasan politik, dan keterbukaan publik. Ruang-ruang politik telah dikuasai oleh elit-elit yang membentuk oligarki politik menjalar sampai kepada daerah.

Ke depan, kita memerlukan kesadaran masyarakat (civil society), agar tidak teralalu sinis dalam melihat kondisi demikian. Justru yang harus dilakukan adalah memperkuat peran masyarakat dalam membangun budaya politik yang luhur, sembari memberikan kritik terus menerus bagi partai politik yang makin hari makin rapuh. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline