Pada era orde baru, hak-hak berpolitik rakyat dibatasi. Buktinya hanya ada 3 partai politik kala itu, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Pers dinyatakan "bebas", tetapi pemerintah melakukan intervensi yang membatasi penerbitan pers. Lebih parahnya lagi, pegawai negeri dan ABRI didorong (di tengah masyarakat, bukan lagi didorong, tatapi terkesan dipaksa) mendukung partai penguasa kala itu, Golkar.
Di masa reformasi (setelah Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden), terdapat banyak pembaharuan dalam ranah kebebasan berpolitik. Kemerdekaan pers sepenuhnya merdeka, kemerdekaan membentuk partai politik, penyelenggaraan pemilu yang demokratis, dan aturan otonomi daerah yang semakin jelas.
Kemerdekaan pers
Di masa reformasi, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) ditiadakan. Hal ini menjadi titik balik kebebasan pers di Indonesia. Dalam waktu yang singkat, media cetak dan media online bertaburan. Rakyat lebih bebas mengungkapkan opininya melalui media masa.
Kemerdekaan membentuk partai politik
Jika di masa orde baru hanya ada tiga partai, di masa reformasi tidak dibatasi jumlahnya. Rakyat bebas membentuk partai politik. Hingga kini, untuk kontestan pemilu serentak pada tahun 2024 terdapat 24 partai dengan rincian 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh.
Terselenggaranya pemilu yang demokratis
Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 menjadi indikator pemilu yang paling demokratis. Label pemilu yang demokratis baru kembali ada setelah masa orde baru berakhir, yakni pada pemilu tahun 1999. Hingga kini, pemilu selalu dilakukan dengan memperhatikan kebebasan politik yang dimiliki masyarakat.
Otonomi daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tenang Otonomi Daerah menjadi titik awal adanya keleluasaan pada pemerintah daerah. Pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah BAB 1 Bagian I poin h mengatakan bahwa "Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan."