Lihat ke Halaman Asli

Pesan dari Lubang Cacing

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan turun seperti ditumpahkan. Selama dua hari benar benar diguyur tanpa henti, kedatanganku dibuat basah kuyup. Bak seorang narpati melenggang ke medan perang siap menaklukkan daerah daerah yang mesti dibebaskan. Seakan tugas suci tengah memanggil. Tetapi, apalah hebatnya aku ini.

Hingga begitu tiba, lamat lamat mulai jelas. Seorang adik tiba tiba mengikuti pencalonan legislatif DPR-RI. Mungkin ini kaitannya. Di masa pensiun, ia memutuskan untuk memasuki dunia politik. Cukup beralasan, hanya saja memprihatinkan. Meski dananya lumayan ada, bekas aktivis di kampus, dia bukanlah orang politik. Dia sama sekali tidak paham permainan politik dilapangan. Dibawah demikian rigid dan rumit. Kehidupan politik kehilangan arah, rakyat tengah menjadi raja di raja.

Orang yang tepat soal beginian siapa lagi kalau bukan Kendro, kawan yang menjerumuskan aku ke kancah pertarungan politik lebih rumit. Soal spiritual-ideologi, dialah orangnya. Dibesarkan ideologi nasionalisme Bung Karno, konsep dan pemikirannya soalideologi kebangsaan tak perlu diragukan. Ideologi adalah darah dan daging, sikap dasar yang dibawa sampai mati. Sebuah harga yang dia tidak mau dibayar.

‘Kalau begitu bisa dimulai dari kita dulu,’ ujarnya,sadar dirinya tengah terpanggil. Aku paham kemana arahnya.

Ia lalu memberi kuliah pentingnya mengawali perjalanan ini dari wilayah Siyan. Desa yang dulunya sebagai rawa rawa itu dijadikan sebagai pintu masuk untuk menembus pertahanan musuh. Desa itu sebagai cikal bakal, pertemuan antara tlatah Carang Soka dengan tlatah Parang Garuda. Orang lebih kenal sebagai gunung Muria dan pulau Jawa. Pandangannya itu ada benarnya, secara geografis wilayah Siyan memang bagian paling lemah dan jauh dari jangkauan lawan. Rupanya secara spiritual, daerah itu pun tersiakan. Sisi spiritual memang menjadi wilayah pandangan Kendro.

Untuk menjaring para pemilih, menurutnya perlu dilakukan semacam telik sandi. Ibarat infantri, hanya orang orang yang memiliki kemampuan spiritual dan terlatih yang mampu melakukan langkah ini. Membuat alur alur kemana pasukan mesti melintas dan menguasai kantong kantong yang harus direbut. Adalah penting. Kemampuan membaca peta spiritual suatu daerah dari mana pengaruh mulai disebarkan. Para prajurit akan merangsak mulai dari wilayah pinggiran ini, menggerogoti sedikit demi sedikit sesuai strategi yang ditentukan. Hingga tak lama pusat pertahanan musuh dapat diruntuhkan.

Dari mulai wilayah Siyan, ia mengajakku menyusuri jalan pedesaan sambil bibirnya bergumam memastikan penglihatannya tak salah. Deru motor menghalangi aku berpanjang kata, hanya berdehem kecil dengan anggukan anggukan seperlunya. Tanganku saja yang menunjuk tunjuk arah mana yang perlu dituju. Kucurahkan perhatianku ke relung kehidupan, menangkap suasana pedesaan, menemukan pengaruh dominasi didalamnya.

Banyak menyenangkan bisa pergi bersamanya. Hal hal ganjil sering bermunculan dengan tak terduga. Terbiasa di wilayah dunia paralel,dimensi lain seolah mudah terbuka. Kadang baru beberapa langkah sudah muncul pemandangan menarik. Dimensi alam alam itu sebenarnya saling berhimpitan, overlap satu sama lain. Hanya kemampuan membaca yang membedakan.

Di Tambakrowo, wilayah ini memikat. Tiba tiba bermunculan sambutan tak terduga. Entah bagaimana, sambutan gaib begitu marak. Dalam bentuk kelebatan kelebatan sinar tipis dengan warna yang berubah ubah. Orang orang gaib menghambur berkejaran di belakang. Mereka seperti bangkit dari kubur, tak tahu dari mana persisnya. Mereka terus mengikuti hingga memasuki alas jati menuju puncak Kendeng. Sedikit bergidik kudukku diikuti makhluk makhluk halus itu. Satu dua mereka bergelantungan di buritan motor.

‘Ya, kan ?’ Kendro berseloroh mengisyaratkan dirinya sudah terbiasa melihat penampakan semacam itu. Ia mencoba menegaskan penglihatannya.

Aku hanya menyahut pendek. Kondisiku sedang dicekam kehadiran mereka. Semakin cepat motor berlari, mereka mengejar makin kencang, seperti kapas tertiup angin. Soraknya liar. Mereka kegirangan ada makhluk seperti aku datang dari luar alamnya mau mengerti mereka. Makhluk berderajad rendah itu, dipikirnya aku barang tontonan, atau orang hidup yang sudi menyapanya. Diujung tanjakan jalan aku berteriak sambil memukul helm sekerasnya berkali kali, ‘yaak…., yak, hayo hayo.. !!’ teriakku seperti orang gila menyambut mereka. Sementara Kendro diam saja mengarahkan motornya.

Usai tanjakan di alas jati, mereka tidak lagi menguntit, jumlahnya tak lamamenyusut. Inilah batas mereka bergentayangan. Kendro turun dari motor kemudian membuat garis di tanah kapur itu. Seperti sandi Mataram, sebuah pohon sawo kecik, ia tempatkan titik titik picu perjuangan. Sekedar melengkapi, aku membuat goresan pada sebuah pohon jati agak dalam. Lalu lafazh ayat ayat kemudian menghambur dari bibirku mendoakan mereka.

Kendro tertawa terkekeh melihat tingkahku. Ia tak mau kalah. Bertubuh kucrit, berperawakan kecil bongkok, dengan jampang dan kumis dibiarkan lebat dan memutih, ia hendak membuat pertunjukan lain.

Tak lama kemudian.

Mengagetkan ! Selepas sungai Silugonggo, orang orang disepanjang jalan pedudukuhan Pucakwono, sekitar tiga kiloan meter, seperti dikerahkan menyambut kedatangannya. Sepanjang jalan, lelah aku dibuatnya harus membalas sapaan orang. Tidak tahu apa yang menarik bagi mereka, namun di kanan kiri jalan pandangan mereka dilemparkan seolah melihat barang aneh tengah lewat. Aku pun melambaikan tangan, melempar senyum serta anggukan kepala, lalu dengan ramahnya mereka membalas.

Tidak mungkin Kendro menjelma menjadi raksasa. Atau mengerahkan aji aji klenik. Apalagi hipnotis, untuk menarik perhatian orang di tepi jalan. Aku percaya sangat jauh, dia bukan seperti itu. Penglihatan kasabku tidak melihatnya. Mata batinku hanya menangkap ada energi besar disekitar. Kalau mau, ‘bemper’ rewangan yang mendampingi selama ini bisa diajaknya serta. Tetapi lepas dari itu, membuat orang sepanjang jalan sejauh kiloan meter, bukanlah suatu kebetulan. Atau malah karena buyutku yang menjadi sebab menyertaiku. Atau buyutku atau buyutnya sendiri yang ia hadirkan, aku tak mau menjawab pasti. Kutepuk punggungnya sambil menggoda.

‘Jenggotmu kurang panjang !’ teriakku diatas motor.

‘Ya, kan ?’ ujarnya lagi.

‘Ya, dan ya, dan Yakk !’ sahutku masih dengan dada bergolak. Ketawanya terkekeh kekeh.

‘Masih kurang lagi ?’ sahutnya menggoda.

Gak! Sekarang gantian aku !’ ganti aku membalas tawarannya.

‘Mau pamer, nih ?’

Gak ! Percuma adu ilmu denganmu, gak kesohor !’

Saatnya giliran aku menancapkan tongkat dan kayu untuk menjadi tanaman. Lepas dari ‘hipnotisnya’ aku minta berjalan agak pelan. Kuamati jalan didepan untuk menemukan area hot spot paling besar.

Uh, kelakuan,’ celetuknya meledek. Aku tak hiraukan ucapannya.

Semakin dekat kulihat sebuah warung agak reyot berdiri diseputar spot. Hal ini agak aneh, bagaimana mungkin. Apa mungkin pemilik warung paham soal metafisik supranatural. Melihat keusangannya, cukup nampak warung ini banyak diminati.

‘Ya disini !’ celetukku, memintanya untuk berhenti sejenak, istirahat.

‘Memang dasar kamu !’ aku hanya tersenyum mendengar ia menggoda.

Kuamati ibu setengah baya pemilik warung. Melayani pembeli, tingkah lakunya nampak bukan penjaja warung biasa. Srutupan kopi sore hari memberi pandangan lebih luas. Sejenak kulemaskan kakiku dibale bale warung sambil memastikan aku tidak salah berhenti. Kepalaku masih berisi tanda tanya.

Setelah pengunjung sepi ada kesempatan berbincang dengan perempuan setengah baya itu. Dari tutur katanya, makin jelas dia bukan orang biasa. Setelah suaminya berbincang dengan Kendro, selintas sempat terdengar orang itu dulunya seorang lurah. Orang orang seperti ini bisa dijadikan agen pendulang suara, tersamar dalam keseharian, dari hiruk pikuk orang banyak.

Aku mencoba menjajaginya, membuat indikasi.

‘Ibu punya air kendi ?’

‘Air kendi, pak…., bapak perlu air putih…., ada ini air kendi tapi jarang yang mau, orang sekarang lebih suka air kemasan, bapak perlu untuk apa ?’ Ternyata dia masih menyimpan barang itu. Tidak banyak orang tahu apa manfaat kendi, kecuali untuk tempat minum.

‘Boleh saya pake untuk halaman warung ?’ pintaku. Dengan cepat ia membalas dengan senyuman mengandung arti. Berarti dia cukup paham apa yang hendak kulakukan.

Di halaman warung aku membuat setengah lingkaran. Air kendi mengucur mengelilingi warung, sambil bibirku komat kamit membaca doa. Seperti itu orang orang kuno dalam membentengi diri dari tolak balak, memohon keberkahan dan limpahan rejeki dari Yang Maha Kuasa. Ada doa ada sarana. Pakem yang lebih mengena dari pada sekedar menengadahkan kedua tangan.

Pemilik warung menyiratkan rasa syukurnya, nampak ia pun paham dengan yang kulakukan.

Tapi mungkin ada yang belum ia tahu, dengan air kendi itu aku mencoba menembus hot spot agar terbuka berhubungan dengan dimensi riel. Air salah satu empat unsur yang bisa dipakai untuk itu. Aku membuat uji coba teori lubang cacing untuk menghubungkan dimensi masa lalu dengan masa sekarang. Kedua dimensi tersambung melalui lubang cacing membentuk interkoneksi.

Dan benar. Yang terjadi diluar dugaanku. Tanda tandanya mulai menyembul. Baru saja kaki melangkah memasuki warung, tiba tiba entah dari mana, seorang nenek tua duduk di luar. Hanya hitungan detik, tahu tahu ia muncul. Nampak renta diatas 90an dengan sikap tanpa peduli, berada di dunianya sendiri. Ada daya tarik cukup besar terasa di dalam warung. Empat orang yang berada di dalam, aku, Kendro, pemilik warung dan istrinya merasakan seperti tersedot keluar. Cukup deras. Dada rasanya menyayat yayat iba, mendayu dayu hendak menangis.

Seakan serempak semua tergiring keluar seperti pesakitan tanpa mampu melawan. Bengong aku hanya bisa kusembunyikan. Empat orang seakan sepakat merubungi perempuan renta itu. Kendro menghampiri didepan, lalu duduk disebelahnya, yang lain mengitari sekeliling. Perempuan tanpa daya itu tiba tiba seperti terjaga. Tergugah dari dunianya yang sepi. Kendro agak ceroboh dengan menohoknya langsung, untuk menguji dialog batin. Dan sekarang ia kena batunya.

‘Kamu pikir dunia sekarang tidak perlu jaman silam, he !? bagaimana hasil mengudi batinmu ? ‘ omelnya ke arah Kendro.

‘Apa maksudmu bilang sekarang tidak perlu begitu begitu ? ia cucuku, kamu buyutnya Rogosoma jangan mengajari yang tidak tidak !’ Kendro mulai tersentak meski tetap diam.

Kendro tentu sadar berhadapan dengan siapa. Bukan makhluk jadi jadian, atau jin yang memba memba menjelma menjadi manusia, tetapi benar benar manusia masa lalu yang memiliki kemampuan menembus masa sekarang. Orang awam bilang bangkit dari kubur. Bisa jadi masih nenek buyutnya sendiri, sebab sebagai trah Rogosoma memiliki hubungan erat dengan wilayah ini.

Tak sekecap kata pun meluncur dari bibirnya. Sepertinya ia berada dalam pengaruh, seperti yang kurasakan saat ini. Mirip orang terhipnotis, tidak mampu meski ingin bicara. Tangan perempuan renta itu kurebut kucium sebagai tanda hormat, matanya menatapku dengan tajam. Sebatang rokok kujulurkan, tapi diabaikan tanpa bergeming. Kupastikan diriku bahwa nenek ini benar benar perempuan gaib. Bila benar, kemungkinan besar ia menyembul lewat interkoneksi tadi. Ada kooptasi yang sangat kuat meliputi ke empat orang, sebagai pertanda siapa dia. Dan nuansa energi cukup tebal yang membuat ke empatnya tidak bisa berkutik. Ini berarti ke lima orang tengah berada dalam area interkoneksi. Diam diam timbul keheranan dalam diriku, merasakan tengah berada pada sebuah rongga vakum dan kosong. Seperti rongga sumur tanpa dasar. Bila timbul gerakan aneh sedikit saja, orang bisa tersedot melesat ke masa lalu. Tak ubahnya tengah berada dipinggir jurang yang demikian dalam, diliputi perasaan ngeri dan gentar. Tak pernah aku mengalami sebelum ini, perasaanku agak was was mengikuti yang bakal terjadi.

‘Kamu,’ ujarnya ketus ke arahku. ‘kamu cucunya Dikromo, berbaik baik sama dia,’ tambahnya sambil tangannya diarahkan ke Kendro. Ia bisa tahu buyutku, pikirku.

‘Kamu punya hak memimpin, tetapi yang memiliki wilayah dia,’ tambahnya.

Nenek ‘penjaga’ Silugonggo itu tahu betul kondisi Kendro. Didepannya seperti ada peta riwayat orang orang dengan berbagai tingkah dan ucapannya. Dua hari lalu Kendro memang bilang, dalam mendulang suara, sekarang tidak jamannya minta restu ke ulama atau melakukan ziarah ziarah, apalagi menggunakan dukun atau paranormal. Omongannya itu sekarang dipatahkan.

Kejadian itu hanya berlangsung dalam hitungan menit. Aku terlena ketika kusadari suasana mereda kembali, seperti sedia kala. Dan nenek itu lenyap entah bagaimana, sudah tak nampak lagi. Ibu pemilik warung hampir saja menjerit. Aku buru buru menahannya. Aku baru sadar, di jalan kendaraan tengah lalu lalang tanpa peduli.

Nenek itu, entah siapa. Wajahnya yang berbentuk oval dengan guratan keayuan dan berkulit putih, pikiranku tersambung ke Nyai Ageng Ngerang. Bersyukur aku menerima pesan penting itu.

***

Kendro dengan kebiasaannya, menggerung pelan, kepalanya manggut manggut, menandakan tengah merenung. Tak bisa dipungkiri, ia pun tengah menarik nafas lega, tak bedanya diriku. Kejadian itu membutuhkan pemikiran cukup dalam.

Bagaimana menurutmu ?’ celetukku tak sabar. Ia tak bergeming.

Engkau mestinya lebih tahu kalau Nyai Ageng Ngerang lebih terkemuka di wilayah ini,’ tambahku sambil menatap kearahnya. Kepalanya mengangguk. Meski sependapat, dia mestinya bertanya yang baru saja terjadi. Benar, ia bangkit.

Ini tadi awalnya bagaimana? Dari mana kamu pelajari teori itu ?’ Aku hanya mengangkat pundak, enggan.

Itu tidak penting, mestinya dirimu lebih tahu. Sekarang yang penting bagaimana dengan message itu ?aku menuju fokus pembicaraan.

‘Maksudmu ?’

‘Apakah message itu suatu ketentuan yang pasti ?’

‘Maksudmu ?’ jawabnya kritis mengesalkan.

‘Udah begini aja ! Apa message itu memberi gambaran adikku besuk pasti berhasil ?

‘Kalau gambaran, pasti iya….., kalau jaminan, mestinya bukan begitu cara berpikirnya.’ sahutnya.

‘Jadi adikku belum tentu bisa lolos untuk DPR-RI ?’ kembali aku melontarkan pertanyaan, pertanyaan yang bodoh.

‘Adikmu pasti jadi pemimpin, tetapi tidak selalu harus kursi itu, kan ?’

Aku menarik nafas, menafsirkan pesan dari lubang cacing itu. Segala sesuatu sinyal yang diterima memang tidak serta merta bisa ditelan begitu saja. Kuncinya adalah kemampuan menafsirkan dilengkapi indikasi indikasi lain sebagai pendukung. Paling tidak aku percaya, adikku termasuk memiliki hak dan pribadi yang layak sebagai pelopor bangsa. Dengan begitu nantinya dia memiliki mental yang kuat, tidak mudah terombang ambing, atau mudah goyah, apalagi korupsi.

Aku tertawa sambil memperhatikan Kendro.

‘Kena apa ?’

‘Tidak apa apa,’ jawabku lunak. ‘dunia ini memang aneh !’

‘Kena apa ?’

‘Bagaimana tidak aneh. Adikku saja memiliki hak dan pribadi yang layak memimpin, apalagi dirimu. Apalagi kita. Tapi anehnya, aku yakin dirimu tak bakal lolos sebagai caleg tingkat kabupaten, berapa kali pun ikut pileg! Paling tidak musim lalu dirimu sudah terbukti gagal, begitu pula besuk ini, gak usah mimpilah !’

Dia tertawa. Aku pun tertawa. Sebuah ketawa penuh makna. Pesan itu pasti bukan pesan seperti umumnya, dari orang ke orang.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline