(71) Ki Suki + Widya Fadillah
13 February Aku benci hari senin. Hari senin adalah hari masuk sekolah. Aku harus bangun pagi. Jalan kaki ke sekolah. Mengikuti pelajaran yang membosankan. Lebih-lebih hari senin ada pelajaran matematika yang membuat aku selalu berdiri di depan kelas. Atau menghabiskan waktu istirahatku di dalam kelas sambil membaca setumpuk buku. Lebih baik aku tidur di rumah seharian. Aku juga benci besok, karena besok semua kota akan berubah menjadi warna pink. yah...apalagi, kalau bukan hari 'valentine'? besok Bono akan membagi-bagikan cokelat batang pada setiap anak di kelas. Huh! Pasti popularitasnya di kelas akan melejit! aku tidak akan kalah, tapi apa yang harus kubagikan pada teman teman sekelas? kalaupun aku memberi coklat, jika memakai uang ibu, juga tidak akan cukup untuk membeli coklat bahkan untuk lima anak! Benar juga. Hari ini memang menyebalkan. Pak Hardi, guru matematika yang super duper idiot itu, menyuruhku menghabiskan waktu istirahatku dengan sebuah buku tebal yang berisi angka-angka yang bentuknya seperti monster, bahkan ada yang seperti kakakku, Pengki yang tololnya jauh melebihi aku pas lagi bloon. Untung pak Hardi dipanggil kepala sekolah, jadinya aku sedikit bebas. Aku menguping anak-anak di luar kelas yang asyik membuat rencana untuk besok. Acara valentine! Sial! Lebih baik aku merobek-robek buku tebal di depanku daripada menguping tentang rencana-rencana bodoh itu. Mana guru-guru selalu mengijinkan acara seperti itu mengisi kelas seharian. Lebih baik libur sekalian. Pulang sekolah Bono bercerita tentang cokelat untuk besok. Anak yang rambutnya gak pernah tumbuh sempurna itu selalu selalu nyerocos tentang cokelat dengan gula-gula merah hijau kuning. Aku berpikir keras bagaimana caranya membuatnya diam. Eh ya! Aku ada ide. "Bono! Awas ada ulat di kakimu!" Bono kaget. Dia berteriak sambil lari secepatnya. Aku terbahak-bahak melihat Bono lari cepat. Meski menurutku lebih cepat larinya Loki, adikku yang berumur 2 tahun dan belum bisa berdiri tegak. 14 February Dad membangunkanku. Dia menarik bantalku. Tumben! Biasanya dia menyiramkan air di mukaku. Tapi belum lagi aku menaruh kepalaku di kasur. Eh, mukaku kena siram. "Pus! Ayo bangun! Ini hari valentine!" Sial! Siapa sih yang punya usul memberi aku nama Puski. Bener-bener otaknya sudah dijual di pasar loak. Aku benci dipanggil dengan suku kata pertama dari namaku. Jadi ingat sama Winda, anak tetangga yang rambutnya kayak air mancur setengah mampet. Anak itu sering memanggil nama kucingnya dengan pus pus pus. Setiap ketemu pasti kujitak. Di sekolah, semua sibuk dengan perayaan valentine. Aku melihat Bono membagi-bagikan cokelatnya. Semua gadis di kelas berteriak-teriak kegirangan mendapatkan cokelat yang ada gambar binatang-binatang yang wajahnya kalah lucu dibandingkan wajah Bono kalau sedang meringis. Aku duduk di bangku. Malas rasanya bergembira. Aku tidak bawa apa-apa. Sebetulnya tadi Mom memberiku roti kering. Jumlahnya hanya empat dan sudah kumakan tiga. Tinggal satu. Itupun rasanya seperti dijemur selama delapan bulan di musim kemarau. "Pus, kamu punya hadiah untukku?" Hah! Ada anak yang bosan hidup berani memanggil suku kata pertama namaku. Aku menoleh marah. Tapi.... ternyata Nindi! Gubrak! Aku selalu salah tingkah kalau berhadapan dengan Nindi. Nindi adalah gadis tercantik kedua belas di kelas kami setelah sebelas gadis lainnya yang ada di kelas. "Ini untukmu." Nindi memberikan sebuah kue tart cokelat kecil dengan gula-gula berwarna putih. Aku melompat dan... duk! Ada yang menghalangi kakiku hingga kue tart itu lepas dan melayang. Dan ternyata kue itu jatuh di muka Bono yang kebetulan lagi tertawa. Waduh! Hilang deh makan enak setelah sebulan ini Mom dan Dad tidak pernah memberiku makan enak sebagai hukuman akibat aku mengatakan Loki seperti bebek. Sekelas tertawa. Hanya Bono yang marah. Dia melapor ke pak Hardi. Aku dihukum membersihkan lantai dan membereskan kelas sepulang sekolah. Sedih. Kesal. Tetapi tidak apa-apa, karena ternyata Nindi menungguku dan pulang bersama jalan kaki. Tahun depan ada valentine lagi kan ya? Untuk membaca karya peserta lain klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H