PENDAHULUAN
Anak yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan bagi orang tuanya, yang harus dijaga, dilindungi dan dikembangkan bakat dan potensinya sesuai dengan keinginan anak- anak tersebut. Keluarga dan Negara juga patut memberikan perhatian yang khusus bagi pertumbuhan dan perkembangan anak (Kayowuan Lewoleba & Helmi Fahrozi, 2020). Tetapi malah melakukan tindakan kekerasan pada anak tersebut. Dan di Indonesia sendiri, kekerasan pada anak yang sering terjadi adalah kekerasan seksual, dimana anak tersebut di lecehkan, oleh keluarga sendiri yang notabenenya adalah orangtua kandung sendiri.
Kekerasan bisa diartikan dengan suatu tingkah laku agresif yang bertujuan untuk melampiaskan dorongan nurani untuk menyakiti dan mencederai seseorang secara sengaja. Definisi kekerasan menurut Pasal 1 angka 15 a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.35/2014), yaitu:
"Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaraan, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (Maulia & Saptatiningsih, 2020)."
Kekerasan seksual pada anak merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan orang dewasa atau orang yang lebih tua seperti saudara kandung, orang tua, atau orang asing, dimana anak digunakan sebagai pemuas nafsu pelaku.Perbuatan tercela ini dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan ancaman, tekanan, tipuan, dan suap. Perlakuan kekerasan terhadap anak tidak harus melibatkan kontak badan antara korban dan pelaku, tetapi bisa juga dalam bentuk tindakan pencabulan dan pemerkosaan (Kayowuan Lewoleba & Helmi Fahrozi, 2020). Kekerasan seksual anak dapat dipicu karena disorientasi seksual pada orang dewasa, faktor sosial budaya yang masih tabu dengan pendidikan seks usia dini, tidak terkontrolnya sumber informasi, dan kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak (Ningsih & Hennyati, 2018).
Setiap tahun kasus kekerasan di Indonesia mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya orang dewasa, melainkan anak-anak, bahkan balita bisa menjadi sasaran pelaku kekerasan seksual. Fenomena kekerasan seksual ini, semakin sering terjadi bahkan di berbagai negara. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual, mayoritas pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak (Ivo, 2015). Hal ini dapat dibuktikan dari maraknya kasus kekerasan seksual dalam keluarga di media sosial.
Pada (4/11/2024) dalam news.okezone.com seorang pria berinisial AG (43) di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, tega memperkosa anak kandungnya selama kurang lebih 10 tahun. Pelaku tega melakukan aksi bejatnya kepada anak kandungnya R (16) untuk mendapatkan ilmu kebal dan awet muda. Pelaku akhirnya tertangkap setelah korban memberanikan diri mendatangi kantor polisi untuk mengadukan perbuatan bejat pelaku. Kepada polisi, korban yang kini berusia 16 tahun mengaku pertama kali disetubuhi ayah kandungnya sendiri saat usianya masih 8 tahun atau pada 2013 silam.
Kasatreskrim Polres Buton Iptu Helga mengungkapkan persetubuhan terjadi sejak tahun 2013 lalu, hingga akhir 2023 lalu. Selama itu korban hanya bisa pasrah karena sering mendapat ancaman kekerasan dari pelaku. Namun di akhir Oktober 2024, korban memberanikan diri untuk mendatangi Polres Buto untuk melaporkan pelaku, Pelaku ditangkap pada 30 Oktober di rumahnya.
Menurut data dari UNICEF pada tanggal 10 Oktober 2024, Lebih dari 370 juta anak perempuan dan perempuan, mengalami pemerkosaan atau kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun. bentuk-bentuk kekerasan seksual berupa pelecehan daring atau verbal.
“Kekerasan seksual terhadap anak-anak merupakan noda pada hati nurani moral kita,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell. “Kekerasan seksual menimbulkan trauma yang mendalam dan berkepanjangan, sering kali dilakukan oleh seseorang yang dikenal dan dipercaya oleh anak-anak, di tempat-tempat yang seharusnya membuat mereka merasa aman.”
Menurut data dari UNICEF juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak-anak tersebar luas, melintasi batas geografis, budaya, dan ekonomi. Afrika Sub-Sahara memiliki jumlah korban tertinggi, dengan 79 juta anak perempuan dan perempuan yang terkena dampak (22 persen), diikuti oleh 75 juta di Asia Timur dan Tenggara (8 persen), 73 juta di Asia Tengah dan Selatan (9 persen), 68 juta di Eropa dan Amerika Utara (14 persen), 45 juta di Amerika Latin dan Karibia (18 persen), 29 juta di Afrika Utara dan Asia Barat (15 persen), dan 6 juta di Oseania (34 persen).