Lihat ke Halaman Asli

Surti, Emplek-Emplek dan Dunia

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika saya rasa dengan membaca sebuah kisah inspiratif bisa menghantarkan saya lelap ke dalam alam imajinasi saya di bawah sadar saya, justru kisah yang saya baca ini kemudian memancing sebuah kisah satu tahun lalu yang lama tak terumpan dan hampir saya kira mati. Namun ternyata seperti bangkit dari tidur lamanya, kisah ini mendesak saya untuk kembali menuliskannya di blog baru saya.

Suatu cita – cita luhur sempat terlahir. Tak pernah ada yang bermimpi seperti beliau. Beliau yang terlahir dengan sebuah nama yang sangat klasik, Surti. Meginjak usia yang tak pantas lagi mungkin untuk bercita – cita, beliau optimis akan sebuah mimpinya.

Sore itu sepulang dari rumah seorang rekan, hujan tiba – tiba turun. Rintik – rintik mulanya. Jumat, 15 Januari 2010 awal jumpa saya dengan sesosok luar biasa.

Saya yang tak mau pulang basah kuyup dan menerima amuk ibu saya yang sering khawatir terhadap saya memutuskan untuk menepi dan berteduh di depan sebuah toko bangunan yang telah tutup lima belas menit lalu di Wedi, Klaten. Tak berapa lama setelah menepi, saya melihat seorang nenek. Beliau tampak ingin menepi tapi usia rentanya membuat beliau susah sendiri. Belum lagi dengan barang dagangannya.

”Mbah mari saya bantu,”begitulah setidaknya yang saya katakan sesaat setelah saya mendekati beliau.

Tapi seolah beliau tidak paham atau mungkin tidak jelas mendengar saya di tengah suara gemuruh rintih hujan. Ah, saya rasa mungkin saya harus berbahasa Jawa agar nenek ini mengerti.

Mbah, nyuwun pangapunten kula bantu nggih, Mbah.”

”Oh nggih suwun, Nduk.”

Memang benar, ternyata kendala bahasa adalah kendala pertama yang harus saya hadapi demi menolong nenek ini.

Saat itu saya menepi membantu nenek itu. Terlihat oleh saya anglo atau alat sejenis itu yang biasa digunakan untuk membakar sate seharga Rp 500,00 per tusuk di Sekolah Dasar Negeri 1 Klaten beberapa tahun lalu. Pikir saya, ketika itu adalah mengapa di saat saya mendengar berita bahwa Indonesia saya yang kaya ini dilaporkan telah mencapai kenaikan ekonomi sejumlah beberapa persen, nenek ini belum bisa meminjam uang untuk menyewa atau bahkan membeli sebuah gerobak yang lebih efisien daripada anglo dan tetek bengeknya ini.

”Mbah, nyuwun pangapunten asmanipun sinten, Mbah ?”

Surti, nduk. Sampeyan ?”

Kula Deli, Mbah. Simbah griyanipun pundi ?”

Sukoharjo adoh kono, nduk.”

Sesaat saya terdiam, setelah kami saling bertukar nama dalam bahasa Jawa. Dan ketika saya mendengar jawaban nenek ini tentang rumahnya yang berada di Sukoharjo, maka saya pun tercengang tak percaya. Saya rasa, saya ini masih di Wedi, Klaten. Sukoharjo pun jauh dari sini. Tak terbayang oleh saya bagaimana nenek ini bisa sampai kemari.

Nyuwun pangapunten saderengipun mbah, punapa simbah kulakan ?”

Nggih, punika.”

Saya sungguh heran dibuat oleh nenek ini. Saya pun mengejar pertanyaan – pertanyaan yang mulai beranak pinak di kepala saya ini. Ternyata beliau tidaklah nglaju Sukoharjo – Klaten. Beliau memang sudah 4 tahun belakangan ini nomaden di Klaten. Jika ada orang yang iba kepada beliau dan menawarkan tempat tinggal, maka beliau pun mendapat tempat berteduh malam itu. Namun jika tidak, emperan toko pun beliau anggap seperti hotel bintang lima.

Mbah Surti, beliau tidak mengerti dengan baik kalimat dalam bahasa Indonesia. Beliau hanya bisa berbahasa Jawa saja. Saya kira, ilmu ini saja mungkin sudah menjadi kekayaan baru saya. Semangat juangnya di usia senja telah mengajarkan saya akan arti menghargai tiap kesempatan.

Simbah gadhah putra ?”

Mbah Surti memang memiliki empat orang putra. Namun ketika saya bertanya kepada beliau mengapa Mbah Surti tidak tinggal bersama putra putrinya, dengan singkat nenek berusia 85 tahun ini menjawab, ”Isin.” atau yang artinya adalah malu.

Lalu sepintas dalam otak saya, ada keinginan saya untuk menghujat keempat orang anak Mbah Surti tersebut. Namun, sosok rapuh yang menampakkan sisi teguh dan mandiri ini tampak bagai tiang kokoh tak tergoyah oleh apapun dan tak mengizinkan orang menemukan seorang anak kecil yang tengah bermain petak umpet di baliknya. Dari tatapan matanya saat itu, beliau berkata pada saya, ”Jangan hujat anak saya.”

Kalimat dari tatapan Mbah Surti menekan emosi saya. Kasih sayangnya luar biasa bagi saya. Ia tak mau membuat malu keempat anaknya di hadapan mertua, istri dan anak – anak mereka.

Beralih dari latar belakang Mbah Surti, saya mulai mengulik apa yang sebenarnya menjadi penopang hidup beliau.

Punika punapa, Mbah ?”

”Emplek – emplek.”

Mungkin saya tidak dapat menerjemahkan apa yang dikatakan oleh Mbah Surti jika beliau tidak menerangkannya kepada saya.

Mulanya, saya pikir saya salah dengar atau mungkin Mbah Surti salah menyebutkan nama Empek – empek menjadi Emplek – emplek. Namun ketika saya memutar otak dan melihat kembali piranti yang dibawa oleh Mbah Surti, sepertinya tak mungkin jika makanan khas Palembang, Sumatera Selatan ini akan disajikan dengan alat – alat yang ada ini.

Meski sekilas hampir sama, namun emplek – emplek dan empek – empek bukan bagaikan pinang dibelah dua, tapi bagai bumi dan langit. Emplek – emplek adalah sebuah makanan berasal dari potongan singkong yang kemudian ditusuk – tusuk menyerupai sate dan dibakar di atas tempat pembakaran yang terbuat dari tanah liat. Bumbunya mungkin sedikit mirip bumbu kacang ala sate ayam meski entah apa yang membuatnya berbeda.

Jangan kira makanan ini keras dan tidak enak. Sebelum ditusuk dan dibakar, potongan – potongan singkong itu direndam di dalam air entah yang telah diberi apa, saya lupa namanya dan itulah membuatnya agak sedikit kenyal dan rasanya luar biasa.

Mbah Surti tiba – tiba saja menyodorkan saya satu tusuk emplek – emplek kepada saya. Lalu, saya menengok kantong saku saya, adalah uang limapuluh ribu, tabungan saya. Saya berharap uang saya cukup untuk membeli semua tusuk yang tersisa.

Mbah, kula tumbas sedaya. Pinten mbah telasipun ?”

”Sedasa, nduk.”

Dengan uang sepuluh ribu rupiah saja, saya bisa mendapat lima puluh tusuk emplek – emplek. Berarti, satu tusuk emplek – emplek berharga Rp 200,00.

Ya Tuhan, betapa kaya Mbah Surti ini. Beliau memberi bekal kepada saya agar saya kaya hati, kaya inovasi dan kaya akan pengalaman hidup.

Beliau sempat bertutur bahwa beliau ingin memiliki sebuah rumah makan dengan emplek – emplek sebagai menu utama. Beliau ingin emplek – emplek terkenal di tanah kelahirannya. Beliau pun nama emplek – emplek tidak kalah tenar dari saudaranya yang mirip namanya, empek – empek.

Kula nggih pingin emplek – emplek punika dados jajanan ingkang kawentar. Teras, Londo nggih remen jajanan punika.”

Menemukan impian luhur yang tak pernah menjadi impian orang lain saya pikir justru saya jumpai hari itu. Mbah Surti dan kekayaannya. Mbah Surti dan mimpinya membuat emplek – emplek menjadi tersohor di Nusantara dan bahkan dikenal di dunia. Menjadi sesuatu yang khas dari Wedi, Klaten menuju pentas dunia. Itulah sejumput mimpi pendek Mbah Surti.

Belum sempat saya membantu mewujudkan impian Mbah Surti membuka warung emplek – emplek, saya sudah tidak dapat menemukan beliau lagi akibat gaya hidupnya yang nomaden. Namun kemudian, saya dengar kabar, tak ada lagi seorang nenek – nenek yang berjualan panganan ini di sekitar daerah tersebut.

Entah dimana Mbah Surti sekarang, saya harap lewat tulisan saya bisa membuat orang mengenal emplek – emplek dan sosok Mbah Surti yang menjadi kekayaan Indonesia.

Maka inilah Indonesia kita. Di sekitar kita, merekalah Indonesia. Cerita mereka adalah Indonesia. Serta semangat mereka pun Indonesia.

Mbah Surti dan Emplek – emplek adalah kekayaan lain Indonesia yang pernah saya kenal dalam hidup saya.

Deliani Poetriayu Siregar,




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline