Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Lebih Dekat

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika anda berteman dengan akun saya, mungkin anda akan sebatas mengenal saya dari sebuah nama yang tertera di samping foto kecil dengan wajah lusuh gaya anak kucing. Banyak yang memandang remeh terhadap remaja seperti saya ini. Seperti halnya orang terhadap negara kaya yang dipandang kecil disebut dengan Nusantara.

Saya terlahir dengan sebuah nama tersemat pada saya kemudian, Deliani Poetriayu Siregar. Jika anda hanya mengamati marga yang tersemat pada nama ini, bergegas anda akan berteriak, “Orang Batak ya ?” Tapi lain halnya dengan saya, saya tak akan bergegas menjawab iya, tapi justru banyak dari pertanyaan itu kemudian saya menjawab, “Saya orang Indonesia.”

“Saya orang Indonesia.” Jawaban itu lebih tepat saya lontarkan karena saya yang notabene lahir pada tanggal 8 Februari 1993, memang orang Indonesia. Dalam keluarga saya pun yang saya kenal adalah Indonesia. Akulturasi budaya dan kekayaan Indonesia sudah saya rasakan sejak kecil. Saya adalah PEJABAT (Peranakan Jawa Batak). Ibu saya adalah orang Jawa Tengah. Beliau lahir di Klaten, sebuah kabupaten yang terletak di antara kota Yogyakarta dan Solo. Semasa SMA, beliau mengampu pendidikan di daerah Solo. Kakek saya masih memiliki trah dari kesunanan Surakarta entah bagaimana menjelaskan, Ibu bilang terlalu rumit untuk dijelaskan.

Sedang ayah saya adalah seorang yang lahir dengan marga Siregar. Nenek saya adalah wanita Batak dengan marga Harahap dan Kakek saya adalah pria Batak asli dengan marga Siregar. Karena patrialineal lah yang dianut oleh keluarga Batak, maka turunlah marga itu kepada ayah saya, saya dan adik saya. Ayah saya memang sudah Indonesia sejak kecil. Beliau tumbuh besar di Surabaya, Jawa Timur. Kakek dan Nenek saya yang sering bercerita kota – kota indah di Indonesia memotivasi ayah saya kecil untuk melihat Indonesia dari gunung – gunung yang selalu beliau kagumi.

Maka ketika saya lahir, nama pencampuran dua kebudayaan dianugerahkan pada saya. Deliani diambil dari nama seorang putri kerajaan Deli sedang untuk menggambarkan kecantikannya sebagai seorang putri dihantarkan dalam bahasa Jawa yaitu Poetriayu. Awalnya, saya bangga bisa mengenal setidaknya dua budaya bangsa, yang kemudian membuat saya merasa kaya, kaya akan kultur yang pekat tertanam dalam setiap perilaku saya.

Namun ternyata saya lebih kaya dari apa yang saya pikirkan. Seperti halnya Indonesia, dia jauh lebih kaya dari apa yang pernah warganya pikirkan terhadapnya. Tapi bedanya, kebanyakan sel – sel dalam diri saya percaya bahwa saya adalah kaya meskipun kenyataannya untuk membiayai sekolah ketika saya kecil, saya harus ikut mencari uang. Sedang banyak di antara warga Indonesia yang pesimis bahwa Indonesia adalah kaya meskipun luas hamparan lautnya, banyak dapat ditemukan emas di wilayah – wilayah di dalamnya.

Entah apakah waktu saya kecil, orang tua saya sudah mendapat Jamkesnas yang belakangan menuai ribuan kritik karena ternyata ia tak terlahir sebagai sebuah solusi, tapi bagaimana pun saya tidak boleh apatis memang terhadap hal – hal semacam ini, tapi saya pun tidak boleh pesimis meski kami bukan orang kaya dan hidup susah, tapi itu bukan alasan bagi kami untuk menghujat pemerintah. Saya tinggal di dalam rumah sederhana dan cukup nyaman, tapi itu bukanlah rumah kami. Kami tak memiliki rumah saat itu, kami hanya dipinjami rumah oleh salah satu saudara kami untuk tinggal di dalamnya tanpa perlu membayar uang sewa sepeser pun. Karena keterbatasan itu pula, kami menikmati hari – hari yang keras.

Saat saya berusia 3 tahun, saya sering tidur di siang hari dan bekerja di malam hari. Pada usia ini pula saya merasakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan yang mulai mendidik saya dengan ilmu – ilmu kehidupan serta mengenalkan saya pada kekayaan Indonesia lainnya, Bahasa Jawa.

Saat saya berusia 3 tahun, saya sempat tinggal bersama keluarga dari ayah saya di Jakarta selama beberapa bulan lamanya. Upaya tersebut juga dilakukan agar kami bisa sedikit menghemat pengeluaran harian. Selama saya di Jakarta, saya mulai akrab dengan dialek Betawi dari orang – orang di sekitar rumah saudara saya itu. Awalnya, saya takut terhadap apa yang mereka sebut maskot kota Jakarta, Ondel – Ondel. Bibit kemacetan ibu kota sudah muncul ketika itu, tapi tak separah sekarang. Tapi ini hanya masalah waktu saja memang.

Setiap malam setelah saya kembali dari Jakarta, saya ikut kedua orang tua saya untuk berjualan makanan asing bernama ’burger’ di Jogjakarta dengan warung sederhana bernama ”NiNoRi” (sekarang di sebelah social agency toko buku). Setelah magrib, kami berangkat dari Klaten dengan mengendarai sepeda motor setiap harinya. Kami buka kurang lebih pukul setengah delapan malam hingga tengah malam. Setelah tutup, kami berbenah sebentar kemudian pulang ke Klaten kurang lebih pukul 1 dinihari dengan posisi saya duduk di antara kedua orang tua saya. Hal itulah yang menjadi rutinitas kami setiap hari.

Tak berselang lama, saya pun harus tinggal di Surabaya. Di sini lah saya merasa sangat kaya. Saya tinggal bersama Bou saya. Ternyata tinggal di sebuah gang kecil bertitel IV A di Ketintang lama, Wonokromo mengantarkan saya pada sifat kaya saya. Di depan rumah beliau, saya mendapati orang Madura. Suaranya keras dan lantang. Setiap hari dan bahkan hampir setiap waktu mereka bicara, saya dapat mendengar suara mereka. Saya pun mulai bertanya pada mereka tentang beberapa kata dalam bahasa Madura.

Rasa penasaran saya akan Madura terpuaskan setelah saya berkunjung ke Pulau Madura. Ditemani oleh Uwak saya, saya menyebrangi laut dengan kapal feri menuju Madura. Saat itu kami perlu menaiki kapal feri, berbeda dengan sekarang yang hanya dengan melewati Jembatan suramadu dengan biaya Rp 3.000,00 kami bisa menyebranginya dengan sebuah sepeda motor.

Memasuki tahun 1997, usia 4 tahun. Keadaan ekonomi Indonesia saat itu membuat keadaan ekonomi keluarga kami juga ikut terombang – ambing. Saya pun mulai harus bolak – balik Klaten – Solo karena saya adalah seorang model saat itu untuk membantu membiayai sekolah saya.

Sekolah Dasar Negeri 1 Klaten adalah miniatur Indonesia pertama saya. Orang Minang, Jawa, Betawi, Bugis, Toraja dan saya seorang Batak pun berkomunikasi dengan baik di sini. Kami bersosialisasi tanpa memandang dari mana darah leluhur kami mengalir. Pada masa saya mengampu masa – masa ini, saya aktif belajar seni budaya Indonesia. Saya belajar tarian kreasi Jawa, saya belajar nembang Jawa dan saya pun memiliki kesempatan memainkan alto Kolintang.

Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Klaten adalah sekolah saya yang memberi jalan saya untuk eksis. Saya diberi banyak kesempatan untuk berprestasi. Saya mulai menjadi senang berbicara dalam bahasa Inggris dan mengenal dunia luar selain Indonesia. Saya senang membaca karya sastra sejak saat ini. Rasa kaya saya semakin berkembang pesat ketika Bapak Sugiarto, guru sejarah saya memberi tugas kepada kami untuk membuat Peta Indonesia dalam skala besar dan harus ditempelkan kekayaan yang ada di tiap – tiap daerah. Mulanya, saya rasa hanya beberapa daerah saja yang kaya, tapi saya salah. Peta kami yang berukuran kurang lebih 3,5 x 6 meter penuh dengan tempelan kami. ”Betapa kayanya saya !”pikir saya seketika. Ya, saya, anda, kita memang kaya.

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Klaten. Saya menjadi siswa kelas unggulan yang diberi nama Immersi. Kelas ini adalah kerjasama Pemerintah Daerah Jawa Tengah dan Australia. Kelas Immersi pada Provinsi Jawa Tengah adalah kelas dengan 7 mata pelajaran akan diajarkan dalam bahasa Inggris. Sedang kelas Immersi di Australia adalah kelas dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Kami (murid kelas Immersi) yang notabene sudah seperti gado – gado karena ada Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Dayak, Jawa Timur, Cina, dan Minang juga lebih terbuka kepada pikiran, bagaimana memperkenalkan identitas kita sebagai Indonesi di mata Internasional. Banyak kawan kami tidak suka kami ketika berbahasa Inggris. Banyak orang mengira, berbahasa Inggris tidak nasionalis. Tapi saya tidak setuju. Menurut saya, orang yang mampu berbahasa Inggris adalah orang yang Nasionalis dengan tingkat tinggi.

Setidaknya, ia mampu memperkenalkan Indonesia dengan baik kepada seluruh warga dunia melalui bahasa Internasional ini. Mereka yang mampu berbahasa Inggris pun tidak mungkin ditipu oleh bangsa asing yang diam – diam ingin mencuri pundi – pundi kekayaan saya. Oleh karena itu, saya sangat kukuh belajar bahasa Inggris.

Kesempatan luar biasa ketika saya menjadi siswi SMA adalah dengan menjadi juara pertama Speech Competition tingkat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu tema yang saya hantarkan ketika itu adalah “Indonesia is Tradisional Herbal Factory”. Karena belakangan, saya tahu bahwa betapa kayanya saya dengan tanaman obat di sekitar saya. Tanaman yang semula saya anggap rumput ternyata adalah tanaman lain yang memiliki khasiat luar biasa dan dibutuhkan oleh banyak orang di belahan dunia lain. Dan ribuan dari kekayaan yang saya miliki ini telah menjadi hak milik Jepang akibat dari hasil penemuan riset oleh ahlinya di Indonesia.

Belum lama setelah itu, saya kembali mendapat gelar sebagai Duta Lalu Lintas Jawa Tengah 2010. Saya amat merasa kaya karenanya. Saya lebih mengenal daerah – daerah Indonesia yang sebelumnya hanya saya tahu dari website atau buku pelajaran geografi saya. Para duta perwakilan tiap Provinsi di seluruh Indonesia ini mulai bertukar informasi mengenai daerah masing – masing. Indonesia benar – benar kaya, dan saya sangat kaya menjadi bagian di dalamnya.

Setelah saya menjadi “Menteri Pendidikan” dalam rangka Parlemen Remaja 2010, yang diadakan oleh Humas Setjen DPR RI, saya lebih bisa tahu bagaimana kayanya saya sedang teman saya tidak pernah tahu betapa kaya dirinya yang selalu ia lontarkan dalam ruang ocehan 140 karakter tiap harinya.

Saya sudah merasa sangat kaya karena saya merasa cukup dan saya memiliki rasa kaya tersebut. Hanya bila ada kesempatan lagi, hanya satu lagi obsesi saya yang tersisa yang semakin akan melengkapi kekayaan saya. Obsesi saya tersebut adalah mengubah pemikiran remaja kaya dan remaja miskin untuk memandang bahwa segalanya sama dan mau bersama – sama menjadi generasi muda yang cerdas dan bukan hanya pintar dalam akademik saja namun pintar dalam menghargai nilai dan pengalaman hidup seseorang. Dan jikalau bisa, saya ingin semua remaja muda bisa menjadi lebih dari sekedar siswa biasa dengan memandang suatu hambatan sebagai suatu media pembuktian dan melihat ketidakmungkinan menjadi suatu kesempatan.

Saya merasa bangga karena meskipun saya bukan orang yang kaya raya secara ekonomi, tapi saya bisa berbagi dengan orang. Saya juga merasa bangga karena dari usaha kami sendiri, kami bisa hidup berkecukupan dan hidup nyaman sekarang ini. Keterbatasan bukanlah suatu tanda kegagalan, namun suatu bekal berharga yang nilainya lebih mahal daripada keberadaan. Karena sebenarnya, keterbatasan adalah sesuatu yang diciptakan oleh pikiran – pikiran kita sendiri.

Maka pepatah “lebih enak hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negara orang” akan saya ubah menjadi “lebih baik mengubah pikiran hujan batu dan mengubahnya dengan hujan emas di negara sendiri dan menularkannya pada negara orang”. Banyak orang yang respect terhadap saya setelah mengetahui apa yang saya lakukan, lebih daripada mereka yang hanya mengetahui saya dari nama, postur, fisik atau usia saya. Maka begitu pula lah Indonesia, ketika rasa pesimis berubah menjadi apatis hingga berujung pada sikap anarkis mari kita menjalin sikap nasionalis kembali dengan mengenal lebih dekat siapa kita, dan apa Indonesia kita. Mengenal nusantara, Tanah Air Beta.

Saya seorang Indonesia dan saya kaya. Saya tidak kaya karena pemerintah atau sikap apatis saya, tapi saya kaya karena saya Indonesia. Maka saya bangga saya Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline