Lihat ke Halaman Asli

Aku Gak Enak

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Susahnya menjadi orang “gak enakan” seperti aku. Apa-apa selalu saja “gak enak”. Ingin mengatakan tidak, gak enak orang tersinggung. Bisanya Cuma “Ya, Ya, dan Ya”. Sekali-sekali, ingin rasanya menuruti kata hati. Menolak kalau memang ingin menolak, mengatakan tidak suka jika memang hati tak suka, menunjukkan muka “kecut” kalau tidak senang pada sesuatu atau pun seseorang. Biar orang lain paham kalau aku juga gak suka. Tapi, lagi-lagi urusannya “gak enak hati”. Apa aku terlalu baik atau justru terlalu lemah? Untuk mengatakan tidak saja, aku tak memiliki keberanian apa-apa.

“Kamu itu sekali-sekali harus tegas. Jangan bisanya cuma gak enakan terus.” Seto menasihatiku waktu itu.

Seperti biasa, aku hanya manggut-manggut mengiyakan perkataannya. Meresapi setiap kata yang meluncur deras dari kedua bibirnya. Kadang, aku berfikir, alangkah enaknya menjadi Seto. Tak perlu susah-susah untuk memikirkan perasaan orang lain. Tinggal ngomong ceplas-ceplos apa yang mau diomongin, urusan selesai. Tidak ada beban yang mengganjal di hati. Ah…Kalau semua orang seperti Seto, bisa-bisa semua orang akan sakit hati.

“Kamu itu jangan jadi orang munafik!” lanjutnya lagi. Menohok ulu hatiku. Ingin rasanya aku protes, tapi, selalu saja, aku tak mampu bicara. Hanya raut wajahku saja yang menunjukkan ketidaksetujuanku terhadap vonis yang ia tuduhkan.

“Gak enak itu, hakikatnya menyembunyikan kebenaran. Alasan pembenarnya hanya karena takut orang lain tersinggung. Itu sama saja dengan kamu berlaku munafik. Pembohong pula.” Tambahnya sengit semakin menyudutkanku. Enteng sekali ia mengucapkan kata-kata menyakitkan itu. Tak dipedulikannya wajahku yang semakin gusar. Ingin kusumpal mulutnya seketika itu. Namun, jangankan menyumpal, menghentikannya dengan kata-kata pun aku tak berdaya. Aku hanya bisa menahan nafas sambil menahan rasa nyeri di ulu hatiku yang semakin menyakitkan akibat ucapan Seto.

“Ah…percuma aku bicara panjang lebar sama kamu. Sampai berbusa pun mulutku, kamu gak akan pernah mau dengar. Kamu gak akan pernah berubah.” Sungutnya kesal melihat reaksiku yang hanya diam mendengarkan. Dihempaskannya dengan kasar punting rokok yang masih tersisa di tangan kirinya. Sambil berlalu, disempatkannya kaki kanannya menginjak-injak puntung rokok itu. Tak dibiarkannya setitik pun nyala api tersisa. Dengan kesal, ditinggalkannya aku yang masih bergeming di tempatku.

Aku merutuki sifatku yang membawa petaka itu. Kenapa aku harus terlahir dengan sifat “gak enakan” seperti ini? Bisanya Cuma menahan kesal dan sakit hati sendiri. Kadang, air mata yang menjadi pelampiasan kalau sedang kesal. Tak pernah ada niat sedikitpun untuk menyampaikan rasa tidak sukaku pada orang yang kumaksud. Hanya diam, diam, dan diam. Beberapa kali, Seto, sahabat baikku itu mengingatkanku bahkan tak segan-segan memrotesku. Namun, tak berpengaruh sedikitpun. Aku tetap pada pendirianku (sikap lemahku, kukira).

(Tulisan ini iseng-iseng. Tadinya mencoba membuat Flash fiction, tapi belum sempurna^^)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline