Lihat ke Halaman Asli

Seragam dari Ibu

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seragam dari Ibu

Oleh: Syifa Anggia*

Kulihat wajah ibu sendu. Dalam hati, aku bertanya, ada apa dengan Ibu? Berjuta pertanyaan menggelayut di benakku, menari-nari tertahan karena tak kunjung kulontarkan pada Ibu. Bagaimana mau bertanya, kalau Ibu seperti menghindar? Lagi pula, kalau aku bertanya dan akhirnya tahu masalah Ibu, apa aku mampu membantunya?

Ah…Ibuku sayang. Selalu seperti ini, diam, dan diam. Tak pernah sedikitpun untuk berniat membagi bebannya denganku. Apa karena aku ini terlalu kecil? Tapi, bukankah aku sebentar lagi masuk SMP? Itu artinya, aku sudah beranjak remaja, kan?

***

“Bu, seminggu lagi pendaftaran SMP. Kita beli seragam, ya, besok?’ rengekku pada Ibu waktu itu.

Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang agaknya dipaksakan, menurutku. Tapi, aku tidak begitu memperhatikan. Hanya tertawa kegirangan karena pikirku, Ibu akan memenuhi permintaanku. Bayangkan saja, bagaimana suka citanya anak seumuranku yang sebentar lagi memakai seragam putih-biru? Rasanya, waktu berjalan begitu lamban. Malam yang akan menggantikan siang datang dengan begitu perlahan, seolah merangkak. Sang raja siang pun seakan enggan meninggalkan singgasananya, kembali menuju peraduan yang telah lama menanti. Enggan memberi kesempatan pada sang Dewi Malam untuk memamerkan kecantikannya. Tersenyum begitu manis seperti senyumku yang tak sabar menunggu waktu, ketika seragamku berubah menjadi putih-biru. Tak ada lagi seragam merah-putihku yang sudah mulai kekecilan di badanku itu.

Tapi, ada yang aneh dengan sang Dewi Malam belakangan ini. Dia tampak murung, kabut hitam memenuhi wajahnya yang putih. Tak terang lagi seperti malam-malam sebelumnya. Persis seperti wajah Ibu yang agak suram akhir-akhir ini. Tapi, kenapa?

“Ibu, kapan kita ke pasar beli baju?” rengekku lagi siang itu. Entah, suasananya seperti apa, aku tidak begitu ingat. Kembali, ibu hanya mampu terdiam kemudian mengukir sedikit senyum di sudut-sudut bibirnya yang manis. Ah…Ibuku memang manis, cantik sekali. Wajah bulat, putih bersih. Setitik tahi lalat kecil bertengger di bibir bagian bawahnya, semakin menambah manis wajah teduh itu. Deretan mutiara berjejer rata, dan akan terlihat sangat cantik kalau ia tersenyum. Ibuku memang cantik. Sisa-sisa kecantikannya masih terlihat di usianya yang menginjak 40 tahun kala itu. Ibu terbaik di dunia. Tak banyak bicara. Tak pernah Ia marah dengan kasar kepadaku. Kalau marah, beliau hanya diam. Diam tanpa senyum. Itu cukup membuatku tahu bahwa Ibu sedang marah. Tapi, marahnya tak pernah lama. Ah…Ibuku sayang.

“Bu…” Rengekku lagi dengan tangis tertahan. Kalau Ibu diam dengan senyum yang dipaksakan, itu artinya Ibu sedang susah. Dan, ini mungkin pertanda atas tidak kunjung terpenuhinya permintaanku beberapa waktu lalu.

Ibu berdiri, beranjak dari duduknya. Tetap dengan diamnya. Mataku mulai panas, kemudian, perlahan menghangat. Sebutir Kristal bening mulai berjatuhan, membasahi pipiku. Kemudian, Kristal demi kristal bening itu pun luruh, susul-menyusul menggenangi pipiku. Aku tetap tertunduk, tak berani melihat Ibu. Bukan karena takut tapi, karena aku tak ingin melihat Ibu tambah susah karena tahu aku menangis.

Kulihat tangan Ibu menyodorkan sesuatu. Bungkusan Koran sebuah surat kabar yang telah lecek. Seketika, kudongakkan kepalaku. Memandang wajah Ibu, tak percaya. Ibu mengangguk, memintaku membuka bungkusan itu.

“Itu pakaian bekas tapi, masih layak. Ibu belum bisa membelikanmu yang baru. Untuk sementara, kamu pakai yang itu.” Kata ibu dengan perlahan. Sepertinya berat mengatakan semua itu padaku. Tak kupedulikan kata-kata Ibu. Bagiku, baru atau bekas, itu tak jadi soal. Yang terpenting saat itu adalah aku bisa sekolah. Aku tersenyum membuka bungkusan Koran itu. Dengan riang dan muka berbinar ku patut-patutkan diri di depan cermin besar sebuah lemari tua di kamar itu. Aku terlihat lucu dengan seragam baruku itu (meski bekas, tapi baru menurutku). Pakaian itu sedikit kebesaran di badanku. Tapi, tak apa. Yang penting, aku bisa sekolah, pikirku. Butiran Kristal yang masih bersarang di pipiku segera kuusap. Senyumku mengembang, rona wajahku berubah berbinar. Kupandang wajah Ibu dengan bahagia.

“Ini sudah cukup, Bu.” Kataku singkat pada ibu. Kulihat beliau tersenyum. Rona kelegaan memancar di wajahnya yang mulai dipenuhi kerutan-kerutan tipis. Walau, aku tahu, Ibu masih belum puas karena seragam yang diberikannya untukku hanya seragam bekas. Seragam bekas sepupuku yang kebetulan baru saja menyelesaikan SMP-nya.

Hingga waktu pun berjalan. Detik berganti menit. Menit berputar menjadi jam. Aku mulai menikmati rutinitasku sebagai siswa SMP. Siswa dengan seragam putih-biru. Ada binar kebanggaan di wajahku setiap memaki baju itu. Meski bekas, kebesaran pula, aku tetap bangga. Karena seragam itu pemberian Ibuku yang telah dengan susah payah mendapatkannya.

***

“Ini apa, Bu?” tanyaku siang itu, setelah pulang sekolah. Seragamku telah berganti dengan yang baru. Tapi, sekali waktu aku tetap memakai seragam lamaku. Seragam bekas-pemberian Ibu. Seragam kebanggaanku.

“ini bukan seragam lagi, kan?” lanjutku lagi dengan tersenyum. Membayangkan peristiwa beberapa bulan lalu. Waktu dimana Ibu memberiku seragam dalam buntalan Koran bekas yang telah lusuh.

Ibu hanya tersenyum. Tangan kekarnya meraih buntalan Koran yang tergeletak di atas meja di hadapanku itu. Ada yang beda dengan kejadian beberapa bulan lalu. Kali ini, korannya tidak lusuh, wajah ibu pun tampak berbinar membuka buntalan Koran itu.

“Ini baju, baru Ibu beli.” Jawab ibu singkat, masih dengan rona wajah berbinar-binar.

“Untuk siapa? Untukku? Tapi, kan kebesaran?” cecarku tak sabar.

“Bukan. Bukan untuk kamu. Ini untuk sepupumu. Sebagai ganti seragamnya yang Ibu kasih waktu itu sama kamu.” Jelas ibu bersemangat.

Aku terpana mendengar penjelasanIbu. Mataku tak berkedip memperhatikan wajahnya. Perlahan, mataku mulai menghangat. Air mataku luruh, tak mampu lagi kubendung. Ah…Ibu. Dalam kesederhanaanmu, kau tetap inspirasiku.

***

Mataram, 21 Desember 2011

Rabu, 13.30 WITA @ Ruang tunggu stasiun TV9

*Syifa Anggia merupakan nama pena saya. Bernama lengkap Anggriani.

***Selamat Hari Ibu***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline