Mayoritas dari kita tumbuh dengan budaya populer. Banyak dari kita telah mengenal budaya pop sejak masa kanak-kanak dan mungkin terus terlibat dengannya hingga saat ini. Mendengarkan musik, membaca dongeng, menonton film dan iklan, serta menghadiri acara semuanya masuk ke dalam budaya populer.
Pop culture atau budaya populer adalah segala sesuatu yang populer atau mendominasi kehidupan sehari-hari orang dalam suatu masyarakat pada waktu tertentu, mencakup cara orang berbicara, berpakaian, menyapa satu sama lain, dan bahkan makanan yang mereka konsumsi. Semua ini dipengaruhi oleh berbagai media massa seperti musik, film, televisi, radio, video game, buku, dan internet. Proses pembentukan budaya populer terjadi karena pertumbuhan kota, industrialisasi, serta perkembangan media massa dan teknologi. Semua ini memungkinkan ide dan tren untuk dengan cepat menyebar ke seluruh masyarakat. Jadi, jika kamu melihat banyak orang melakukan atau mengikuti sesuatu yang sama, kemungkinan itu adalah bagian dari pop culture pada waktu tersebut.
Tidak ada satu produk pun yang memiliki unsur kebenaran yang dapat menjelaskan budaya populer. Produk budaya mungkin terintegrasi ke dalam budaya populer saat ini, namun bergantung pada konteks ruang dan waktu, produk tersebut mungkin tidak menempati status yang sama di masa depan. Secara umum budaya pop mudah diakses, menarik perhatian banyak orang, biaya produksinya relatif murah, tidak memerlukan tingkat kecerdasan yang luar biasa untuk menikmatinya (dengan mudah), serta mudah untuk disebarluaskan, ditiru, dan diinterpretasikan ulang.
Kemajuan teknologi yang pesat, terutama dalam teknologi informasi, telah mengantarkan era keterhubungan global, yang mengarah pada konvergensi nilai dan ideologi lintas negara. Fenomena ini, yang dikenal sebagai globalisasi, ditandai dengan perubahan signifikan dalam cara hidup global karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam teknologi informasi. Hal ini telah memfasilitasi komunikasi tanpa batas di antara orang-orang di seluruh dunia. Salah satu tren budaya yang muncul bersamaan dengan globalisasi adalah budaya populer, yang sering disebut sebagai "budaya pop". Budaya ini berpengaruh dalam berbagai perubahan tren dan moral publik yang memperlihatkan berlangsungnya sebuah evolusi. Evolusi budaya dalam interaksi global mengarah pada lahirnya hubungan internasional baru.
Munculnya globalisasi dan kebangkitan budaya populer tidak dapat dipungkiri telah membentuk kembali lanskap budaya di seluruh dunia. Ketika kita menavigasi dunia yang saling terhubung ini, menjadi sangat penting untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan terhadap nilai-nilai tradisional dan identitas nasional. Namun, alih-alih melihat perubahan ini sebagai ancaman, kita dapat mengeksplorasi solusi yang tidak hanya melestarikan kekayaan warisan budaya tetapi juga memberdayakan individu untuk secara aktif membentuk identitas mereka dalam persimpangan budaya yang dinamis ini. Globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah zaman yang ditandai dengan transformasi tatanan global yang didorong oleh kemajuan pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Hal ini membuat interaksi manusia menjadi semakin sempit dan seolah-olah dunia tanpa batas. Kemudahan komunikasi telah menyebabkan pembauran nilai dan ideologi di berbagai negara, sehingga menghasilkan masyarakat yang mengglobal.
Budaya populer mencakup berbagai macam artefak, termasuk makanan, musik, program televisi, arsitektur, interaksi sosial, iklan, dan banyak lagi. Dalam dimensi konkretnya, budaya populer mewujud dalam produk budaya yang berwujud, sedangkan dalam dimensi abstraknya, budaya populer mencakup nilai, ideologi, norma, dan kepercayaan tradisional. Budaya populer sering dianggap sebagai budaya komersial yang tidak berdaya, sebuah produk mengambang yang dikonsumsi oleh massa. Budaya populer cenderung bersifat formula dan manipulatif, dipengaruhi oleh perspektif politik atau ideologi.
Contoh Kasus Budaya Populer Makanan Korea di Indonesia
Dengan popularitas yang terus meningkat, makanan Korea, seperti ramen, bulgogi, dan kimchi, telah menjadi bagian integral dari budaya kuliner di Indonesia. Namun, di beberapa tempat, tren ini menyebabkan munculnya kebingungan dan penyalahgunaan unsur budaya Korea, seperti penggunaan istilah yang tidak tepat, menyajikan makanan dengan cara yang tidak otentik, dan mengurangi keaslian pengalaman makan Korea.
Penyelesaiannya adalah pertama, pendekatan edukasi perlu diterapkan untuk meningkatkan pemahaman tentang keaslian dan etika dalam mengadopsi budaya makanan Korea. Restoran dan kafe yang menyajikan hidangan Korea dapat menyertakan informasi tentang asal-usul hidangan, cara penyajian yang tepat, dan pentingnya menghormati tradisi kuliner Korea. Kedua, pelibatan masyarakat lokal dan komunitas pecinta kuliner dapat menjadi kunci. Festival makanan Korea atau kelas memasak dapat diadakan untuk mengajarkan cara memasak hidangan Korea dengan benar, memberikan pengalaman langsung kepada masyarakat tentang proses pembuatan dan keunikan rasa hidangan Korea.
Selanjutnya, pemerintah dan lembaga terkait dapat memberikan panduan dan regulasi terkait penggunaan budaya kuliner asing. Ini dapat mencakup pedoman tentang cara menyajikan dan mengemas makanan asing, serta menghormati hak cipta dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan makanan tersebut. Kolaborasi dengan pemangku kepentingan Korea, seperti kedutaan besar atau lembaga kebudayaan, dapat membantu dalam mempromosikan pemahaman dan apresiasi yang lebih baik terhadap budaya kuliner Korea. Ini dapat melibatkan acara budaya, pertukaran kulinernya, atau dukungan langsung untuk restoran-restoran yang berkomitmen pada otentisitas dan kualitas.
Kebiasaan-kebiasaan budaya populer, memiliki potensi untuk membentuk identitas diri seseorang, yang kemudian berdampak pada identitas nasional. Identitas nasional melibatkan pemahaman tentang identitas kolektif suatu masyarakat sebagai sebuah entitas dengan takdir dan tujuan bersama. Hal ini terkait erat dengan nilai-nilai, sejarah, dan aspirasi yang menyatukan sebuah komunitas.