Ada yang menarik dalam pelatihan yang diadakan BW KEHATI, Jum'at 13 Desember 2024 lalu. Kegiatan bertema "Hidup Mandiri, Pangan Tercukupi, Jiwa Sehat Tak Tersakiti, Alam Lestari" di isi oleh pemateri dari Yoso Farm. Mereka adalah Sri Widodo dan Nurul. Yoso Farm sebelumnya sempat viral dan FYP diberbagai platform media sosial karena gaya hidup dan langkah mereka dalam menyelarskan hidup dan lingkungan sekitar (dapat dicari di Youtube dengan kata kunci 'Yoso Farm').
Dalam pelatihan sore itu, quotes pemateri menyampaikan bahwa 'Hidup bukan hanya mencari uang tapi menjaga sumber daya.' Kehidupan futuristik yang sebenarnya justru adalah hidup yang dianggap kuno dizaman sekarang. Kakek nenek moyang yang menghidupkan alam, menanam pohon dan tanaman sebagai bekal anak cucu nanti. Yoso Farm mengajarkan untuk mandiri pangan dalam keluarga dengan menanam kebutuhan pangan harian dan beternak sehingga dapat swasembada pangan. keniscayaan negara yang swasembada pangan dimulai dari satu keluarga dalam menerapkan suistanable food atau swasembada pangan mandiri. Disinilah urgensi pangan mandiri harus dilakukan. Mengapa demikian?
Manusia dan pangan adalah hubungan tidak terpisahkan. Puluhan abad dan beragam dekade membuktikan bahwa pangan selalu menjadi poin utama dalam kehidupan. Apapun dilakukan untuk memperoleh makan dan pangan. Tidak dipungkiri juga kalau kita dijajah karena perebutan pangan yang berlimpah. Sehingga ada frase di masyarakat 'hidup itu mencari makan"
Saking pentingnya makan dan pangan, founder father bangsa Indonesia, Presiiden Soekarno pernah menyampaikan bahwa soal pangan adalah hidup dan matinya suatu bangsa. Oleh karenanya diperlukan usaha yang terstruktur dan masif yang melibatkan semua elemen bangsa.
Jas Merah Swasembada Pangan
Indonesia pernah menyandang gelar swasembada pangan pada tahun 1984 yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Berdirinya Serikat Petani Indonesia yang juga di pelopori oleh Presiden Soeharto yang mencanangkan revolusi hijau untuk mencapai swasembada pangan khususnya beras. Beras pada era presiden Soeharto pernah mencapai 25,8 juta ton.
Pencapaian tersebut menguatkan pondasi negara terhadap pangan kala itu. Bahkan tercatat Indonesia pernah melakukan ekspor beras di tahun 1985 sebanyak 106.000 ton dan 1986 sebanyak 231.000 ton. Hal ini menjadi suatu kebanggaan karena keberkahan dan kesuburan tanah Indonesia termanfaatkan optimalkan. Seperti lagu grub band Koes Ploes Bersaudara ,'tongkat dan kayu jadi tanaman'.
Jauh ke belakang, ketika masih dijajah Belanda pada tahun 1930an Indonesia juga pernah swasembada gula. Negara kita menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Padahal waktu itu, luasan lahan pertanian dan teknologi belum semaju sekarang.
Pangan Hari Ini
Tidak bisa dipungkiri karena kita menyaksikan bersama bahwa hari ini pangan masih menjadi problematik. Masalah di kehidupan sosial juga politik. Beras dan gula kita masih tersuplai impor karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Artinya, Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan warga negaranya. Atau masih memerlukan impor dari negara lain. Mengapa ini bisa terjadi? Berdasarkan data sensus pertanian, jumlah petani 28,64% dari jumlah penduduk Indonesia artinya sebanyak 142,18 juta orang dari data tersebut jumlah petani muda hanya sekita 6,2 juta orang dan sisanya adalah petani usia tua. Minimnya kalangan muda yang tertarik dengan pertanian salah satunya karena dianggap pertanian tidak menguntungkan, rendahnya minat konsumen dalam membeli hasil pertanian.
Disisi lain, Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang konsumtif. Sayangnya bukan mengonsumsi produk pangan lokal sendiri melaikan produk luar negeri, produk kemasan, produk instan yang justru memiliki nilai gizi yang rendah. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa mengubah pola makan dan gaya hidup yang sehat.