Lihat ke Halaman Asli

Jalan Pulang

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita bertemu lagi. Sudah empat tahun sejak pertemuan kita yang terakhir. Kita bertemu di tempat yang sama, tempat dahulu kita memiliki ritual sakral setiap minggu. Dua orang yang bukan siapa-siapa, berdua, menikmati secangkir kopi panas, dan mendengarkan ceritamu. Kau masi mempesona seperti dulu. Empat tahun berpisah, kau tampak semakin matang sekarang.

Pesananmu masih sama, secangkir caramel latte, dua sendok gula, tidak pernah berubah. Aku sudah siap dengan ritual yang dulu selalu kulakukan, tiap pergi ke manapun denganmu. Aku akan mempersilakanmu memilih tempat duduk terlebih dahulu, karena tempat ini atau di manapun adalah etalase bagimu. Maka tempat duduk menjadi penting buatmu. Letaknya harus strategis, agar kau bisa dengan leluasa menikmati makhluk-makhluk indah yang datang silih berganti. Makhluk indah yang sama-sama kita nikmati. Ya, kita memiliki definisi yang sama tentang makhluk indah. Padahal kita berdua berbeda.

Malam ini ternyata berbeda dari biasanya. Pesananmu masih sama. Namun kali ini kau mempersilakanku duduk terlebih dahulu. Padahal aku sudah siap mencarikan bangku strategis buatmu. Secangkir caramel latte favoritmu, dan vanilla latte kesukaanku sudah tersaji di meja. Kau hanya mengaduk-aduk latte-mu, tidak lagi menikmati etalase di hadapanmu. Padahal ini malam minggu, dan tempat ini lebih ramai dari hari-hari biasanya. Seharusnya kau bisa puas menikmati pemandangan di hadapan kita, seperti yang dulu selalu kita lakukan.

Sepuluh menit. Dead air. Kau masih diam saja. Aku bingung memulai pembicaraan. Dari dulu pun memang tidak pernah aku yang memulai pembicaraan. Aku selalu menunggu sampai kau membuka suara.

“Jadi.. Apa yang terjadi empat tahun ini? How’s life?” Tanyaku akhirnya.

“Aku baik. Kau? Kerjaan lancar? Kudengar kau akhirnya bisa kerja di perusahaan idamanmu dulu.” Dia tersenyum, menatapku. Sepertinya kita siap memulai reuni ini.

“Alhamdulillah. Setelah mencoba bekerja di sana-sini, akhirnya aku dilirik juga oleh perusahaan itu. Hei, kau belum menjawabku!”

“Empat tahun berlalu sangat cepat ya. Apa kau masih ingat pertemuan kita yang terakhir? Pertemuan terakhir kita gak baik, bukan?” Ucapnya sambil menyesap pelan caramel latte yang kuyakin sudah mulai dingin.

“Ternyata kau masih ingat? Apa karena itu sekarang kau mengajakku bertemu? Apa kali ini kau juga datang dengan pembelaan diri yang sama?” Kuatur nada suaraku serendah mungkin.

“Oh, ternyata masih marah? Aku kira kau sudah lupa. Sepertinya aku salah ngajak ketemuan sekarang..” Dia tersenyum, mencubit hidungku.

Sial.. Senyumnya makin manis. Aku urungkan niat untuk marah. Biarlah reuni kali ini berjalan baik, lancar, dan semoga tak berakhir dengan putus silaturahim, seperti empat tahun lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline