Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan Terakhir

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

:)

081802404086. Ada tanggal lahirku di nomormu. Sejak itu, aku percaya bahwa kamu takdirku. Hei, di antara berjuta nomor di negeri ini, aku berkenalan dengan seseorang dengan tanggal lahirku pada nomor ponselnya. Wajar kan jika kemudian aku menganggapmu takdirku? Skenario Tuhan bermain sempurna dalam pertemuan kita. Itu lima tahun lalu, dan lima tahun indah itu sudah usai, usang, tak ingin kuulang.. Back to reality then.. Bulan keduaku di kota ini, dan siapa sangka kisah usang itu kembali terulang. Dan oh wow.. Ternyata aku terjebak. Lebih parah, kamu kembali mengadiksiku seperti candu. Lebih parah lagi, wow.. Sekarang posisiku sudah terganti. Dari pacar menjadi mantan, kini aku turun kasta jadi selingkuhan. Ironis kronis, sekronis cinta yang masih kulihat jelas di matamu. Seironis cinta kita yang harus terhalang restu, kasta, dan hal remeh lainnya. Wow.. Kisah kita mewakili semua jenis alasan penyebab asmara kandas, atau memang itu hanya alasan yang dibuat-buat hanya karena kita lelah menapak bersama. Entahlah.. Aku tahu, kita masih saling cinta. Kata orang mata tak pernah berbohong. Well, kecupan hangatmu pun ternyata tak bisa bohong Sayang.. Kamu semakin mengadiksiku.. Di saat yang sama, kau sadar, ada dia di sana, yang percaya setiamu. Aku menggila, menuntut setiamu juga, lupa statusku yang kini turun kasta. Kau memilih dia, menghentikan semua kisah usang berulang kita. Sial! Aku sudah terlanjur teradiksi.. Tak peduli pada dia yang telah menyerahkan hati untukmu. Berakhir, tapi kita tetap bertemu. Dan setiap pertemuan, kau menegaskan itu pertemuan terakhir. Terakhir tapi tak pernah berakhir. Aku menikmatinya.. “Bisakah kita bertemu?” Aku menyerah, kini harga diriku kandas sudah. “Untuk apa? Hubungan kita sudah usai.. Lupakan aku takdirmu, Ney..” Ah, kamu bahkan masih memanggilku dengan nama itu.. “Untuk pertemuan terakhir. Hanya itu,” ucapku, setengah berbohong. “Pertemuan terakhir yang tak pernah berakhir maksudmu? Ney, tolong.. Kita sudah cukup saling menyiksa. Aku sudah punya dia. Tolong pahami aku..” “Bee, kamu yang kembali  mengadiksiku. Aku sudah pernah terbiasa tanpamu. Aku hanya minta pertemuan terakhir. Kupastikan ini yang terakhir..” “Baiklah, di kotamu atau kotaku?” Dia akhirnya menyerah. Ah aku tahu, cinta itu masih ada.. Aku menang.. Hahahaaa.. “Kotamu. Besok aku ke sana.. See you.” Pertemuan terakhir. Ucapku dalam hati. Semoga kali ini benar-benar berakhir. Aku lelah mencanduimu.

***

“Hari ini, kamu milikku. Tolong lupakan dia sejenak.” Ucapku saat dia mengecup keningku. Sial, kecupannya masi sama! “Baiklah Tuan Putri. Kamu mau ngapain aja satu hari ini? Apapun, demi kamu..” “Milk tea, dan pelukan hangatmu sepertinya cukup..” Aku memeluknya. Lebih hangat dari biasanya. “Baiklah, milk tea buatmu..” Dia melajukan motornya kencang. Sore itu hujan. Dan milk tea favoritku mendadak susah dicari. Hujan makin deras. Aku tau dia menggigil kedinginan. Aku memeluknya, memakai jaketnya. Hangat.. “Sudahlah.. Milk tea-nya gak bakal ketemu. Kita uda  jalan ini menyusuri jalan ini berulang-ulang. Kita pulang saja..” “Aku kenal kamu. Kalau milk tea-nya gak dapat, kamu pasti akan gelisah terus. Kita cari sampai ketemu ya..” Dia memegangi pipiku. Tangannya dingin. Aku tersenyum. Aku menang, pikirku.

***

Bipbip.. Aku memegang ponselnya, sebatang Marlboro Menthol yang tinggal setengah kuisap dalam. “Sayang, di sini hujan deras sejak kemaren. Aku kena flu ni gara-gara kena hujan semalam. Kamu baik-baik ya di sana. Aku sayang kamu..” Pesan singkat dari wanitanya. Aku terdiam. Dia bergeming. Segelas panas milk tea tersaji di mejaku. Aku tersenyum puas. Dia tersenyum melihatku, menggenggam erat tanganku. Basah kuyup. Menggigil kedinginan. Ironis.. Satu, dua, tiga pesan singkat dari wanitanya. Read-delete. Aku tersenyum. “Ini bukan kamu Ney,” ucapnya. Nada putus asa terdengar jelas dari suaranya. “Atau ini mungkin memang aku yang sebenarnya?” Ucapku sambil memainkan ponselnya. “Ikhlasin aku. Andai ada jalan supaya kita tetap bisa bersama, aku pasti fight buat kamu. Tapi lima tahun ini kita cuma berputar-putar di hubungan yang melelahkan. Aku lelah. Aku menyerah. Demi apapun Ney, aku sayang kamu. Aku sayang. Tapi kamu tahu kita gak bisa sama-sama. Terlalu banyak yang kita korbankan. Aku punya dia sekarang, dan aku ingin hubungan kami berhasil. Sudah cukup aku menuruti kemauanmu, Ney. Bukankah kamu sendiri yang memintaku mencari penggantimu?” Sial. Pembicaraan ini lagi. Aku sudah bosan membahas hal ini berulang-ulang dengannya. Sayup-sayup mengalun sebuah lagu. …Percayalah kasih.. Cinta tak harus memiliki, walau kau dengannya.. Namun ku yakin hatimu untukku.. “Yaa.. Bahkan Ecoutez pun menyuruhku menyerah.” Tangisku tumpah. Dia menggenggam tanganku erat. Krrriiiinnnggg… Ponselnya berbunyi. Siapa lagi kalau bukan wanitanya. “Boleh kuangkat, Ney?” Dia meminta izinku. “Angkatlah.. ” Aku menyerah.. “…iya, nanti aku telepon kamu lagi. Sinyalnya jelek di sini.. Iya, aku juga sayang kamu..” Kalimat terakhir dia ucapkan pelan. Sambil menggenggam tanganku semakin erat, menatapku dalam. Aku masih melihat cinta itu. Lagi-lagi ironis.. Aku cuma bisa diam. Bingung. “Baiklah. Hari ini sudah berakhir. Aku janji ini yang terakhir, sebelum karma mengejarku,” ucapku dalam hati. “Ney.. Tolong ikhlasin aku ya..” Kali ini suaranya terdengar memohon. “Iya,” ucapku, tentu saja berbohong, sambil tersenyum. Hujan sudah berhenti. Aku memakaikan jaketnya. Dia mengantarku ke stasiun. Udara dingin sisa hujan menusuk kulitku. Sambil menunggu kereta, kami berdua berdiri di sudut stasiun. Stasiun padat malam itu. Bangku di lorong tidak tersisa. Diam. Aku terlalu lelah untuk kembali berargumen. Aku hanya memainkan ponselnya. Melihat foto wanitanya yang dipajang sebagai wallpaper. Dia tiba-tiba memelukku. Erat. Sangat erat. “Pelukan terakhir kan, Ney? Kebetulan, aku sangat kedinginan.” Air mataku kembali tumpah. Aku membalas pelukannya. Aku memeluknya seerat yang aku bisa. Dan kami berdua kemudian hanya diam. Berpelukan. Itu pelukan paling hangat dan nyaman yang pernah aku rasakan. Bipbip.. Ponselnya yang masih kupegang kembali berbunyi. “Sudah biarkan saja.” Ucapnya masih dalam pelukanku. Aku membuka ponselnya. Penasaran.. “Sayang.. Di sini dingin banget.. Semoga Tuhan selalu bersamamu dan memberimu kehangatan di sana. I love you..” ..delete.. Aku mempererat pelukanku. Berjanji, ini pelukan terakhir. “Aku pulang. Terima kasih buat hari ini. Janji, ini pertemuan terakhir dan berakhir di sini. Jaga dia baik-baik ya,” aku melepas pelukanku akhirnya. Berbalik pergi, dan tidak menoleh lagi. Sekuat tenaga kutahan air mata yang mendesak ingin tumpah. “Ini yang terakhir,” sekali lagi kuyakinkan hati.

***

Di dalam kereta. Aku cuma bisa diam. Aku membuka twitter dari ponselku. @littlestar: Let Karma take care of you, bitch! Tweet pertama yang aku baca menyentakku. Aku langsung menutupnya dan mencoba tidur. Hari ini cukup berat, dan aku terlalu lelah untuk berpikir tentang apapun. Aku hanya tahu, ini kesalahan.

***

Lima bulan kemudian. Hari ini ulang tahunnya. Pertemuan terakhir hari itu benar-benar jadi yang terakhir. Hari ini ulang tahunnya. Setelah berpikir berulang kali, aku memutuskan untuk mengirim sebuah pesan singkat. “Hei DJ.. Selamat ulang tahun. Seperempat abad usiamu. Semoga bahagia selalu bersamamu.. Doaku, yang terbaik untukmu  “ Aku tak menanti balasan. Tak mungkin berbalas. Bipbip.. Aku hampir terlelap saat sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari dia. Aku tak menyangka dia akan membalas. “Saat kau khusyuk mengucap doa untuknya di sana, di sini aku sedang memeluknya, mengucap doa tepat di telinganya. Dan dia menatapku, mengamini setiap doaku.. – Diah” Mataku mendadak terasa hangat.

Anggi Zoraya, Agustus 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline