Lihat ke Halaman Asli

Anggit Setya

Ademm Atii

Di Atas Kebenaran

Diperbarui: 31 Maret 2020   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam beberapa berita yang sempat menjadi viral adalah, lebih baik mati saat beribadah kepada Allah daripada mati terjangkit virus corona. Sehingga ajakan untuk terus beribadah di tempat-tempat ibadah terus digencarkan oleh beberapa orang. Ada juga mereka yang mengatasnamakan kebenaran selalu menganggap mereka itu paling benar, lainnya? Kurang benar bahkan tidak benar.

Pernyataan yang benar namun harus dibenarkan, dan memang kebenaran itu terkadang bersifat separuh benar atau sepenuhnya benar belum tentu kebenaran itu diterima oleh banyak orang, ada yang menganggapnya benar dan adapula yang menganggapnya kurang benar bahkan tidak benar, tergantung pembenaran pemikiran setiap orang. Memang, jika kita membicarakan mengenai kebenaran tidak akan ada habisnya, bahkan jika sampai diperdebatkan bisa- bisa akan menimbulkan kekesalan sampai pada permusuhan. Sungguh bagaimana kita dihadapan Tuhan? Sibuk dengan ibadah kita masing-masing hingga saling cakar berebut benar.

Oke sampai disini anda pusing dengan tulisan saya? Saya harap tidak, dan jika anda pusing bahkan kesal saya tidak mau bertanggung jawab. Atau mungkin anda terlalu serius dalam hidup sehingga karena tulisan saya anda bingung? Marilah kita santay sejenak dengan menghirup nafas 3 kali dengan perlahan sambil rasakan kedamaian dalam diri. Dan jangan lupa minum kopi biar adem ati.

Karena manusia dibekali oleh Allah dengan akal, ya jangan segitunya lah. “Ngono yo ngono tapi yo ojo ngunulah” kalau istilah bahasa Jawanya. yang berarti “Begitu namun ya jangan begitulah.” Kita ingin berbuat benar namun malah menyengsarakan orang lain bukankah itu malah mengakibatkan banyak kerugian?

Kembali kemasalah kebenaran. Orang bijak jaman dahulu selalu mengutamakan bertatakrama dalam bertindak, dan tidak asal bicara, melihat ke siapa lawan bicaranya. Dalam Jawa, diatas kebenaran ada sebuah istilah pantas dan tidak pantas. Sehingga ketika akan berbicara sesuatu yang bersifat hikmah, mereka berhati-hati dalam memegangnya. Pantas atau tidak pantasnya ketika berbicara mengenai kebenaran kepada lawan bicara untuk disampaikan, mereka melihat dahulu rasa dalam hati, tidak asal bicara, karena bisa fatal resikonya.

Seperti halnya dengan pernyataan syekh Jalaluddin Rumi dalam bukunya Fihi Ma Fihi, “Jangan kauberikan hikmah kepada orang yang tak layak menerima, kau akan membuat hikmah itu salah makna. Dan jangan kautahan hikmah dari orang-orang yang berhak menerima, kau akan membuat mereka salah arah.”

Berbalik 180 derajat dengan beberapa orang yang pernah saya temui. Ada yang menganggap bahwa mereka itu peling benar sehingga menggangap lainnya itu salah. Pernah suatu hari sepulang kerja saya makan di sebuah kedai mie ayam dekat pasar. Lalu sayapun berbincang-bincang dengannya, sampai-sampai tak terasa 2 jam lamanya. Pelanggan datang dan pergi, saya masih asik berbicara dengan penjualnya.

Hingga dalam dalam suatu hal, dia membicarakan mengenai kebenaran dirinya terhadap golongan lain, hanya golongan dirinyalah jalan dapat ditempuh, lainnya jalan buntu. Sayapun hanya tersenyum menanggapinya sambil minum es teh buatannya. Cuman dalam pikiran saya bertanya, bagaimana mungkin dia bisa menganggap orang-orang ziarah itu adalah kafir, dia beranggapan orang-orang tersebut menyembah roh-roh penghuni kubur. Lalu diapun mau mengajari saya mengenai bagaimana tata cara sholat yang benar, jadi selama ini dia menganggap sholat golongan lain itu kurang benar.

Ibarat ada sebuah kopi dihadapannya, dalam benak yang dipikirannya kopi itu pahit sehingga tak mau meminumnya. Bagaimana mungkin bisa berasumsi terhadap suatu hal tanpa terlebih dahulu merasakannya, dan bagaimana bisa orang menacari sebuah mutiara yang indah dan mahal harganya, baru terjun setengah perjalanan kemudian kembali ketempat semula. Dan tebakan saya pun benar, orang tersebut dengar semua itu hanya dari “katanya.” Kata temannya, ini dan itu tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenarannya.

Bersambung......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline