Lihat ke Halaman Asli

Anggit Setya

Ademm Atii

Lockdown Pribadi

Diperbarui: 25 Maret 2020   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali saya lihat berita di televisi tidak jauh dari tema virus corona, internet juga tak lepas dari tema virus corona, apalagi setiap kali kubuka social media, corona juga. Nampaknya virus corona atau yang nama lainnya covid 19 ini telah menjadi tranding topik dalam beberapa waktu ini. Andaikan korban yang terus bertambah tentu akan mengakibatkan dampak ketakutan dan was-was bagi beberapa orang yang pernah berinteraksi dengan pasien yang telah positif terinfeksi virus tersebut.

Namun bagi saya virus sejenis ini telah menjangkit saya secara dohir beberapa tahun ini, jauh sebelum kemunculan virus corona yang berasal dari daerah Wuhan - Cina. Dan Alhamdulillah saya tidak sampai dikarantian ataupun dibawa kerumah sakit. Karena virus yang mirip dengan covid 19 itu adalah, Korona= Kondisi ORa Ono daNA.

Untuk itulah pemerintahpun mengeluarkan peraturan sebisa mungkin masyarakat untuk tidak berkumpul dalam keramaian dan tinggal dirumah masing-masing, tidak ke mana-mana, yang dikenal istilah (lockdown). Lockdown yang bermakna penutupan akses dari luar maupun dalam. Dengan tujuan mengurangi penyebaran wabah virus covid 19 yang lebih masif.

Mungkin lockdown masih terasa asing bagi kita, kita yang  terbiasa keluar dan beraktifitas di masayarakat dalam kesehariannya tidak akan tahan jika harus dirumah terus dan bagaimana dan apa. Namun hal ini sepertinya sudah biasa dilakukan oleh orang-orang bijak jaman dahulu, mereka melakukan lockdown pribadi. Melakukan social distance dengan masyarakat sekitar dan keramaian pada umumnya.

Mereka menyepi dari segala hiruk pikuk dunia, melakukan pertapaan (orang jawa menamakan pada umumnya) di sebuah tempat yang sepi dari keramaian, melakukan uzlah bi kholwat (orang islam menamakan pada umumnya) dalam rangka untuk mensucikan diri. Seperti halnya nabi Muhammad kholwat di gua hira, syekh Abdul Qadir Al Jelani di hutan selama 25 tahun, Sunan Kalijaga di tepi sungai selama 8 tahun, dan orang-orang bijak jaman dahulu yang menyepi di alam-alam yang tempatnya jauh dari banyak orang. 

 Mereka menyepi dalam rangka membersihkan hatinya. Karena manusia itu tidak luput dari dosa, dan upaya untuk mensucikan mereka itulah laku uzlah bi kholwat dilakukan. Dengan bimbingan seorang mursid / guru pembimbing, seorang santri melakukan prihatin, mengurangi makan dengan jalan puasa, menahan hasrat dan keinginan yang dikendalikan oleh nafsu dengan cara memperbanyak ibadah dan menyendiri untuk memperdalam rasa kita kepada Allah, sehingga dzikir tidak hanya dalam ucap kalimat, namun sudah masuk ke ranah rasa dalam hati.      


Seorang bijak pernah berkata kepada saya, "Lihatlah air yang bersih dan jernih itu, jika hati kita bisa sebening dan jernih maka keilmuan akan dapat turun ke dalam diri kita, karena tidak ada hijab yang menutupi hati kita kepada Allah".  Makanya orang bijak jaman dahulu menamakan tambahan kata Gusti pada nama Tuhannya (Gusti Allah), yang berarti bagus e ati. Siapa yang hatinya bersih maka  akan bagus dan tahu siapa Tuhannya yakni Allah.

Seperti yang dicontohkan oleh para nabi dan rosul dahulu, ketika akan mendapat keilmuan, mereka melakukan pembersihan dalam diri terlebih dahulu, ibarat cangkir yang akan diisi minuman tentu akan dibersihkan dahulu. Sehingga akhlak dan perilaku mereka pun serasi dan selaras dengan keilmuan yang mereka dapat, lembah manah andap ashor. Tidak seperti segelintir orang jaman sekarang ini, yang asal comot dan merasa mengerti soal agama atau sesuatu hal, lantas mereka pun merasa sombong dan merasa dirinya lah yang memiliki paham paling benar.

Wassalam, semoga bermanfaat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline