KETIKA ada kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada kepala daerah karena korupsi, ingatan saya terlempar empat belas tahun silam.
Saat masih menjadi wartawan bidang hukum di Jakarta, saya kerap diajak berdiskusi penasihat KPK pada masa itu, Abdullah Hehamahua.
Diskusinya tidak khusus dalam rangka menjalankan tugas jurnalistik. Namun, hanya diskusi biasa, untuk menambah wawasan saja. Kadang di teras gedung KPK yang lama. Kadang diskusinya sambil jalan, ketika Pak Abdullah hendak menunaikan salat di Masjid Gedung Jasa Raharja, yang bersebelahan dengan tempat kerjanya.
Tak lama. Mungkin hanya lima sampai sepuluh menit saja. Tapi, setidaknya bisa memberi gambaran soal peta korupsi di daerah."Kalau baru dilantik jadi pemimpin daerah, janganlah berpikir untuk meraih jabatan di periode kedua. Jatuh-jatuhnya pasti korupsi," begitu kata Pak Abdullah Hehamahua.
"Lebih baik berkaryalah sebaik-baiknya. Tiket periode kedua pasti di tangan," lanjut Pak Abdullah lagi.
Demikian juga saat baru dilantik jadi anggota DPR. Jangan cepat-cepat berpikir untuk bisa meraih tiket sebagai bupati, wali kota atau bahkan presiden. Dua atau tiga periode di sana. Pastilah, akan memahami peta politik dan birokrasi dengan baik.
Sudah banyak contoh orang yang tergelincir lalu menyesal. Sudah kerap pula, KPK menyosialisasikan itu ke daerah. Tapi, korupsi di Indonesia tetap saja memiliki keunikan tersendiri, tak pernah berhenti.
Rupanya pernyataan Pak Abdullah itu banyak benarnya. Apalagi bila merunut waktu hingga sekarang. Banyak sekali politisi muda yang dulunya aktivis akhirnya terkena jebakan patologi birokrasi. Bentuknya beragam, mulai penyalahgunaan kewenangan, paksaan kepada bawahan, konspirasi, hingga penurunan mutu. Banyak jenis dan derivasinya.
Ia mungkin tidak sadar, bahwa kekuasaan begitu membuainya dan menuntunnya pada jurang kehancuran itu. Patologi birokrasi seakan gula-gula yang kapan saja enak dinikmati, tapi sejatinya menggerogoti.
Begitu lafaz sumpah sebagai pemimpin muda diucapkan, secara tiba-tiba saja, semua orang patuh dengannya. Tak sedikit orang yang mengeluarkan kata-kata ini ketika ingin bertemu : mohon izin bapak, mohon petunjuk. Dari semula yang mendapatkan pelayanan biasa-biasa saja sebagaimana rakyat, tiba-tiba mendapatkan service very-very important person.
Nah, dari sanalah hubungan menyimpang antara struktur dan birokrasi mulai terbentuk. Jalin menjalin dan berkelindan satu sama lain. Bahkan antara struktur dan birokrasi memunculkan ketergantungan.