KELUH KESAH itu terus berhamburan ketika bermobil di Jalan Lingkar di sebuah daerah di Jawa Timur, awal pekan lalu.
Di jalan itu, pengendara seperti saya seperti sedang melakukan uji kemahiran mengemudi. Sebab, harus pintar zig-zag kiri kanan untuk menghindari jalan berlubang.
Lubangnya pun beraneka ragam jenis. Kecil, setengah besar, sampai buesaar. Semuanya ada. Pantaslah bila disebut Jeglongan Sewu.
"Bayangkan kalau ini malam hari naik motor saat hujan hujan. Bisa selamat sampai rumah ini sudah bagus," gerutu seorang teman di samping saya.
Keluh kesah soal jalan rusak memang seperti tak ada habisnya.
Pemerintah daerah setempat sudah melakukan perbaikan.
Namun, titik jalan rusak seperti muncul lagi dan muncul lagi.
Jangan heran kalau sering muncul pertanyaan, jalan rusak itu muncul karena memang tidak ada perawatan ataukah jalan-jalan tersebut dirawat tapi sebenarnya ala kadarnya saja. Yang penting ditembel dan publik tidak terus-terusan ngroweng dalam bentuk apapun. Yang di radio, di medsos, di mana pun.
Tak sedikit pula gerutuan seperti ini : jalan rusak hanya diperbaiki jelang pilkada. Setelah itu, jalan rusak dilupakan lagi.
Lalu bisakah pemerintah daerah dimintai tanggung jawab hukum soal jalan rusak itu? Adakah perlindungan hukum bagi mereka yang melintas?
Maklum saja, biasanya yang terjadi adalah saling lempar soal tanggung jawab perbaikan jalan. Ada yang bilang, jalan A tanggung jawab pemerintah pusat, jalan B tanggung jawab pemerintah provinsi, lalu jalan di kecamatan baru jadi tanggung jawab Pemda.
Meskipun pada akhirnya perdebatan semacam itu hanya merugikan saja. Toh, publik seperti kita ini yang pada akhirnya menanggungnya.