Lihat ke Halaman Asli

Anggit Restuningsih

Kadang menulis.

Bisakah Kita Hidup Tanpa Nasi?

Diperbarui: 9 Agustus 2023   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Makanan sudah jadi bagian yang tak bisa lepas dari kita. Posisinya menempati kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi. Jikalau posisi pangan tidak terpenuhi berakhir sudah kehidupan manusia dan suatu bangsa.

Kita orang Indonesia dikenal sebagai masyarakat negara agraris. Masyarakat negara kita banyak yang jadi petani. Makanan kita beras, nasi itu sumber pangan utama kita. Sawah yang digarap, beras yang kita dapat, sistem pengetahuan kita mengolah sawah itu banyak daari warisan dari leluhur dulu mengolah beras. Namun, memangnya benar semua sejak orang dulu makan beras?

Nasi yang bersumber dari beras tanaman padi itu bukan pangan asli Indonesia. Padi merupakan tanaman yang awalnya berasal dari Cina dan India. Tanaman satu ini mulai dibudidayakan pada era kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, terutama di Pulau Jawa. Lantas hingga sekarang padi jadi komoditas pangan utama negara kita.

Meningkatnya beras sebagai sumber karbohidrat pangan kita meningkat sejak zaman orde baru. Seiring berjalannya waktu beras bahkan mulai semakin masuk hingga ke pedalaman Indonesia bagian timur. Semua orang kini makan nasi. Ini bisa dilihat dari kebutuhan beras yang meningkat dan semakin digiatkannya upaya peningkatan pajale (padi, jagung, kedelai).

Orang bilang tak ada nasi artinya tak makan. Apapun yang kita santap harus ada nasi maka itulah makna makan bagi orang Indonesia. Namun, benarkah demikian? Apakah tanpa nasi artinya kita tak makan? Bisakah kita hidup tanpa nasi?

Pangan lokal merupakan andalan nenek moyang kita untuk makan. Sorgum, jewawut, umbi-umbian, dan bahkan sagu menjadi sumber pangan yang eksistensinya semakin terpinggirkan. Padahal dulu tanaman-tanaman tersebut mudah dijumpai tapi sekarang eksistensinya semakin kalah pamor dengan nasi, nasi, dan nasi.

Sadarkah kita jika sebenarnya kita tergantung pada beras? Padahal produksi beras kita masih begitu-begitu saja. Impor beras dari negara tetangga juga masih banter dilakukan. Namun, kita kadung lengket dengan nasi dan hampa tanpanya.

Lahan sawah kita masih banyak terpusat di Jawa dan Bali. Padahal kebutuhannya sekarang di seluruh Indonesia. Banyak lahan sekarang banyak dialihfungsikan mencetak sawah baru. Namun, memangnya semua lahan cocok ditanami padi? Apakah modal merawat padi itu murah? Apakah dari sawah yang ditanami padi itu cukup untuk kebutuhan pangan rumah tangga petani sehari-hari?

Obsesi kita akan beras sudah keterlaluan. Padahal ada pangan lokal yang sudah ramah dan adaptif lingkungan tapi malah kita lupa. Kita bergelut pada nasi ketika sumber pangan lokal warisan nenek moyang kita memiliki gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Diversifikasi pangan yang digalakkan masih begitu saja hasilnya. Lagi-lagi cuma wacana yang terlihat manis tapi jalan di tempat ujung-ujungnya. Padahal dengan diversifikasi pangan ketahanan pangan lokal mungkin bisa terwujud. Dengan melupakan beras dan mencoba mengkonsumsi sumber pangan lokal, kita mungkin bisa mulai sedikit tak bergantung kudu impor.

Namun, agaknya mungkin bayang kita akan pangan lokal susah untuk terwujud. Selama kita kebijakan pangan masih bersentral pada beras susah kita untuk mengembangkan potensi pangan lokal kita yang patut dilirik. Adanya malah selama padi, beras, dan nasi merupakan primadona, pangan lokal warisan leluhur kita cuma jadi cerita yang semakin terlupa. Sebab kita jadi tak bisa hidup jika tanpa beras dan nasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline