Anak tangga itu mengantarkannya pada sebuah kesadaran. Jika Lelaki itu memang belum sepenuhnya sadar.
Dia sempat ikhlas, tapi ternyata itu bukan ikhlas, hanya mencoba untuk ikhlas dan bertengkar dengan isi kepala.
Panas sinar matahari tak lagi dirasakan, puisi-puisi indah Chairil Anwar hanya dapat ia rasa namun tak dapat digapai. Sajak romantis yang tertulis untuk di kabarkan, kini hanya berupa arsip .
Membukanya kembali bagai kembali masuk ke lubang yang sama. Kembali ke ranjang adalah pilihan tepat, berselimut kesendirian.
Baginya tak mengapa, meskipun pijaknya masih tetap sama, juga akan biasa, sudah biasa dan akan terbiasa.
Samar ..
Kata demi kata hanya tinggal coretan. Apa yang telah di semai tak terlihat tumbuh di depan mata. Rasanya hilang begitu saja, tanpa sebuah kepastian.
Di sudut ruangan Lelaki itu bertatap jalan buntu. Tak ada orang lain selain dia. Semua hilang tapi tetap ada.
Sedikit ia lontarkan kalimat penyesalan, lantunan setiap katanya menyayat dirinya sendiri.
Ia sendiri, hanya sendiri, setiap kata yang keluar dari bibirnya ia ucapkan sendiri.