Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 diproyeksikan dengan total pendapatan Rp. 2.165,1 triliun, total belanja Rp.2.461,1 triliun dan defisit sebesar (-Rp.296 triliun). Untuk menutup defisit (-Rp.296 triliun) tersebut akan ditutup dari pembiayaan anggaran yang berasal dari utang sebesar Rp.359,3 triliun, selain itu ada alokasi pembiayaan anggaran untuk kegiatan investasi sebesar (Rp.-75,9 triliun). Dari total pendapatan negara dalam APBN tahun 2019 sebesar Rp.2.165,1 triliun komposisinya bersumber dari Pajak sebesar 1.786,4 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 378,3 triliun dan Hibah sebesar Rp.0,4 triliun.
Sekilas dari membaca APBN tahun 2019 (juga bisa dilihat APBN tahun-tahun sebelumnya) ada empat hal yang perlu kita cermati yaitu : (i) adanya defisit sebesar Rp. 296 triliun, (ii) sumber pembiayaan defisit anggaran ditutup dari utang sebesar Rp.359,3 triliun, (iii) sumber penerimaan negara yang utama dari Pajak yaitu sebesar Rp.1.786,4 triliun dan (iv) langkah pemerintah mengandalkan Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara akan berefek kepada wajib pajak yang beragama islam harus menbayar kewajiban double yaitu "Bayar Pajak" dan "Bayar Zakat".
Sebagai referensi dalam pengelolaan keuangan negara, kita bisa membuka lembaran sejarah yaitu apa yang telah dipraktikan oleh Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Indonesia dan Dinasti Abbasiyah memiliki satu kesamaan yaitu sama-sama negara besar yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Karena salah satu ciri khas kebijakan fiskal Islam adalah adanya instrumen zakat bagi warga negara muslim dan pajak bagi warga negara non muslim sebagai sumber pendapatan negara.
Bani Abbasiyah meraih tempuk kekuasan Islam setelah berhasi menggulingkan pemerintahan dinasti Bani Umayyah pada tahun 750H. Para pendiri dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, sehingga khilafah tersebut dinamakan Khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas (132-136 H).
Puncak kejayaan Khilafah Abbasiyah terjadi ketika tampuk pemerintahan dikuasai oleh Khalifah Harus ar-Rasyid (170-193 H), pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, Khilafah Harun ar-Rasyid melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara (yaitu dari kharaj, jizwah, zakat, fa'i, ghanimah, 'usyr, wakaf, sedekah) dan membangun Baitul Mall.
Pada masa Khilafah Harun ar-Rasyid ada seorang tokoh besar yang berjasa menuliskan seputar keuangan negara sehingga bisa dijadikan referensi keuangan negara di masa sekarang, tokoh tersebut bernama Abu Yusuf.
Abu Yusuf adalah murid Imam Abu Hanifah, sang guru berharap kelak Abu Yusuf dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Madzab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah di Kufah selama 16 tahun dan selama itu pula ia tidak pernah berhubungan dengan jabatan pemerintahan.
Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang kaya sehingga banyak sekali fatwa beliau sangat fleksibel yang menunjukkan beliau sebagai orang yang paham lapangan dan pasar. Setelah sepeninggalan Imam Abu Hanifah, keadaan ekonomi Abu Yusuf semakin lama semakin memburuk dan tidak dapat menunjang karier keilmuannya.
Pada tahun 166 H/782 M Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad untuk menemui khalifah Abbasiyah pada masa itu yaitu Al-Mahdi (159 H/775H -- 169 H/785 H) yang kemudian mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad timur. Pada khalifah berikutnya yaitu Al hadi (169 H/785 M -- 170 H/786 M) jabatan hakim tersebut masih terus dipegangnya.
Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid ada perubahan organisasi kehakiman antara lain dengan dibentuknya jabatan penuntut umum (kejaksaan) dan instansi Diwan Qadi al Qudah. Pada masa transisi perubahan organisasi kehakiman ini jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim (qadi al qudah), jabatan yang belum pernah ada sejak masa Bani Umayah sampai khalifah Bani Abbasiyah sebelum khalifah Harun ar-Rasyid.
Pada masa Abu Yusuf menjabat sebagai qadi al qudahinilah ditulis kitab al-Kharaj sebagai jawaban dari pertanyaan khalifah Harun ar-Rasyid seputar keuangan negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran negara sesuai syariat Islam yang dilakukan untuk mencegah kezaliman pada masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka.