Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana ambisius untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan. Keputusan ini memicu gelombang diskusi dan perdebatan yang luas di berbagai kalangan masyarakat, termasuk warga Jakarta dan pemerintah daerah setempat. Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama adalah dampak yang akan ditimbulkan terhadap otonomi daerah Daerah Khusus Jakarta. Namun, sejarah gagasan pemindahan ibu kota Indonesia bukanlah hal yang baru. Ide ini pertama kali diajukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957.
Soekarno melihat Palangkaraya, sebuah kota di Kalimantan Tengah, sebagai kandidat ideal untuk menjadi ibu kota negara baru. Alasannya adalah karena letaknya yang strategis di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan luas wilayahnya yang mencakup potensi pembangunan yang besar. Soekarno juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu membangun ibu kota yang modern dan representative.
Meskipun gagasan Soekarno tidak pernah terealisasi, Jakarta kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1964 pada tanggal 22 Juni 1964. Seiring berjalannya waktu, wacana pemindahan ibu kota muncul kembali, terutama pada era Orde Baru di tahun 1990-an. Pada saat itu, terdapat beberapa opsi yang diajukan, mulai dari tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota namun melakukan pembenahan, hingga memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain, bahkan hingga opsi membangun ibu kota baru.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pemindahan ibu kota juga mencuat kembali sebagai respons terhadap masalah kemacetan dan banjir yang melanda Jakarta. Tiga opsi yang diusulkan pada saat itu mencerminkan berbagai pertimbangan strategis, namun tidak ada tindakan konkret yang diambil.
Baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana pemindahan ibu kota diambil dengan serius. Pada tanggal 29 April 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan untuk memindahkan ibu kota negara ke luar pulau Jawa, dengan pencantuman dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Langkah ini dianggap sebagai tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia dalam merespons tantangan perkembangan wilayah dan keberlanjutan pembangunan. Pada tanggal 18 Januari 2022, momentum sejarah tercapai dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah. Maka dari itu, Indonesia secara resmi akan memiliki ibu kota negara yang baru, yang akan menggantikan Jakarta dalam fungsi-fungsi kenegaraan.
Selama masa pemerintahan Hindia-Belanda, Jakarta tidak hanya menjadi pusat administrasi kolonial, tetapi juga menjadi pusat perdagangan yang penting. Kondisi ini tidak hanya memberikan manfaat dalam hal pembangunan infrastruktur untuk kebutuhan administratif, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas perdagangan. Gabungan ini menciptakan hubungan yang erat antara administrasi pemerintahan dan kegiatan perdagangan, yang memberikan manfaat tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pola pembangunan yang mengintegrasikan fungsi administrasi dan perdagangan di Jakarta tetap dipertahankan. Jakarta, yang dikenal sebagai Batavia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, telah menjadi pusat administrasi dan perdagangan yang penting, dengan berbagai infrastruktur kota yang telah dibangun dengan baik untuk mendukung aktivitas pemerintahan dan perdagangan. Seiring berjalannya waktu, Jakarta dijadikan ibu kota negara sebagai hasil dari sejarah panjang dan peran pentingnya dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Meskipun pada awal kemerdekaan sempat terjadi pengalihan ibu kota ke Yogyakarta atas pertimbangan politik dan keamanan, namun Jakarta tetap menjadi ibu kota negara hingga saat ini. Namun, Jakarta sebagai ibu kota negara juga menyisakan tantangan tersendiri. Sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda hingga saat ini, telah muncul pandangan akan keterbatasan Jakarta sebagai ibu kota. Pemikiran untuk memindahkan ibu kota telah muncul sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda dan terus berlanjut hingga saat ini.
Berbagai alasan menjadi dasar dari keinginan untuk memindahkan ibu kota, yang telah mencakup pertimbangan politik, sosial, dan ekonomi. Pada era reformasi, pemikiran untuk memindahkan ibu kota mencuat kembali dengan alasan-alasan yang berbeda. Salah satunya adalah untuk menciptakan pemerataan ekonomi dan pembangunan dengan mengembangkan daerah di luar pulau Jawa. Selain itu, terdapat keinginan untuk menciptakan ibu kota yang lebih kondusif dan akomodatif untuk penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada prinsip tata kelola yang baik, bersih, dan professional.
Dalam mengamati rencana yang mendalam dan tindakan cepat Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan, penting untuk memahami urgensi di balik keputusan tersebut. Pertama, urgensi ini muncul dari kebutuhan untuk menghadapi tantangan masa depan. Sesuai dengan Visi Indonesia 2045, yang bertujuan mencapai status Indonesia sebagai negara maju, diproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia akan menjadi salah satu dari lima terbesar di dunia pada tahun 2045, dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar US$ 23.119. Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan transformasi ekonomi yang mendalam, didukung oleh hilirisasi industri, penguatan sumber daya manusia, infrastruktur yang memadai, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi. Transformasi ini dimulai dari periode 2020 hingga 2024. Maka, diperlukan IKN yang dapat menjadi katalisator bagi transformasi ekonomi tersebut.