"Masyarakat berada dalam keadaan konflik yang tiada henti karena persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas" -- Karl Marx
Teori konflik Karl Marx berpendapat bahwa tatanan sosial dipertahankan melalui dominasi dan kekuasaan, bukan melalui konsensus dan konformitas. Itulah yang menjadi salah satu penyebab ketegangan di Laut China Selatan masih terus berlanjut hingga saat ini. Laut China Selatan menjadi wilayah strategis dengan kekayaan alam dan jalur perdagangan yang vital ini telah menjadi sumber ketegangan dan konflik antara negara-negara di kawasan tersebut. Persaingan klaim teritorial antara China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei telah menciptakan dinamika konflik yang rumit di Laut China Selatan.
Perselisihan tersebut telah terjadi sejak tahun 1970 an, permasalahannya timbul karena keenam negara tersebut mengklaim kepemilikan atas beberapa fitur pulau-pulau kecil, terumbu karang dan pulau karang, yang seluruhnya tidak berpenghuni, dan hanya dua pulau utama yang menjadi perhatian beberapa negara pantai sekitarnya, yaitu Pulau Spratly dan gugusan Pulau Paracel yang saling tumpang tindih. Permasalahan menjadi lebih rumit karena ada perbedaan dan multitafsir oleh masing-masing negara yang terlibat dan memiliki kepentingan sepihak.
Nine Dash Line dan Dampaknya Bagi Indonesia
Indonesia bukan termasuk negara claimant di wilayah Laut China Selatan, namun memiliki kedaulatan di dekat wilayah tersebut. Tepatnya di Kawasan Laut Natuna Utara dan Kepulauan Natuna. Indonesia pun pada akhirnya terseret dalam lingkaran konflik Laut China Selatan. Klaim China melalui "Sembilan Garis Putus-putus" (Nine Dash Line) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menyebabkan kedaulatan Indonesia di Perairan Natuna terancam.
Nine Dash Line sampai sekarang masih digunakan China sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 2 juta km persegi. Klaim Nine Dash Line ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna.
Klaim ini secara konsisten ditentang oleh Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melanggar prinsip hukum internasional. Perairan Natuna secara hukum internasional merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia dan memiliki hak berdaulat. Hal tersebut telah sesuai dengan putusan konvensi PBB tentang Hukum Laut yang tertuang dalam UNCLOS 1982 dan sudah secara jelas memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Tantangan Ekonomi dan Ancaman Kedaulatan Indonesia
Adanya konflik Laut China Selatan yang menyeret Perairan Natuna tentu menyebabkan stabilitas keamanan Kawasan tersebut jadi terganggu. Jalur perdagangan laut Indonesia yang melalui Laut China Selatan menjadi urat nadi bagi perekonomian negara ini. Gangguan pada jalur perdagangan ini dapat mengancam stabilitas ekonomi Indonesia dengan potensi peningkatan biaya logistik, penundaan pengiriman, dan bahkan blokade yang merugikan sektor perdagangan Indonesia yang sangat bergantung pada arus barang dan jasa melalui jalur tersebut. Selain itu, kontrol sumber daya alam di perairan sekitar Laut China Selatan juga menjadi aspek penting dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian dari Pusat Kajian Anggaran Sekretariat Jenderal DPR RI menjelaskan bahwa, wilayah Laut Natuna Utara menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik. Cadangan gas alam tersebut digadang-gadang menjadi yang terbesar di Asia-Pasifik bahkan dunia. Potensi sumberdaya ikan di Laut Natuna Utara juga mencapai 504.212,85 ton per tahun.