Berbicara tentang kenakalan remaja, rasanya tidak ada habis-habisnya kita dengar. Berbagai kasus amoral yang mencenangkan pun masih sering kita jumpai di sekitar.
Membuat kita bertanya-tanya, apakah seperti ini kualitas manusia yang akan menjadi tonggak pembangunan bangsa ? Kita bisa melihat data yang dipaparkan oleh UNICEF pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kekerasan pada sesama remaja di indonesia perkiraan mencapai 50%.
Sedangkan data yang dilansir oleh Kementrian Kesehatan RI 2017 terdapat 3,8% pelajar dan mahasiswa menyatakan pernah menyalahgunakan narkotika dan obat berbahaya.[1] Adapun WHO pada 2020, menyebutkan tiap tahun 2020 terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 12 -- 19 tahun.
Sebanyak 84% kasus melibatkan anak laki-laki usia muda. Permasalahan ini sudah menjadi isu kesehatan warga dunia seperti kekerasan fisik, seksual hingga pembunuhan[2]. Belum lagi, kita bisa melihat angka kasus kehamilan di luar nikah pada tahun 2021 -- 2023 di ponorogo ada 464 anak jenjang SMP sampai SMA dan mereka meminta dispensasi menikah ke Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo.
Banyaknya kasus tersebut disebabkan karena penyalahgunaan media sosial dan rendahnya edukasi seksual.[3] Dan masih banyak lagi kasus-kasus amoral di luar sana. Hal seperti itu tentu membuat kita sangat miris melihatnya, tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri namun juga menjadi dosa jariyah kawan sebayanya yang juga berpotensi besar untuk meniru perilaku tersebut.
Dalam tulisan ini, berdasarkan pengamatan penulis, hendak memaparkan beberapa penyebab yang membuat perilaku amoral tersebut terjadi. Bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi ataupun antisipasi untuk mengingatkan orang-orang sekitar kita ataupun anak kita nanti.
1. Rapuhnya Pondasi Spiritual Ketuhanan
Menurut penulis, salah satu penyebab mendasar dari munculnya kenakalan remaja adalah rapuhnya pondasi spiritual ketuhanan. Kerapuhan ini disebabkan dari internal maupun eksternal individu.
Aspek Internal
Aspek internal berasal dari ketidakmampuan memahami keberadaan Allah dan kebesaran Allah. Secara logika, manusia yang mengakui bahwa Allah itu ada, tidak perlu dibuktikan secara empiris dan mengakui segala perintah-Nya, memahami bahwa setiap perilaku dicatat amal baik buruknya dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, akan memunculkan perasaan takut untuk melakukan perbuatan buruk. Dia akan cermat memperhitungkan tindakannya apakah bernilai dosa atau pahala. Apakah nanti akan menghantarkannya ke surga atau neraka.
Demikian pula, pemahaman terhadap kebesaran Allah dengan landasan ilmu pengetahuan, akan mampu melahirkan manusia yang memiliki dasar kuat untuk apa alam semesta dan manusia diciptakan. Menumbuhkan sikap ketundukan dan penghambaan yang total untuk mematuhi segala perintah Allah.