Oleh Anggie D. Widowati
Ruangan itu tidak besar, selembar karpet merah usang, digelar membentang dari ujung ke ujung. Di situlah para pelanggan duduk mengantri.
Seorang wanita yang dipanggil Anisa dan berparas manis mencatat semua pasien yang mendaftar. Lengkap dengan keluhannya, biar Untung bisa mengurut dengan benar, tepat di titik sasaran.
Pada ujung ruangan, di situlah tempat pasien dieksekusi. Bukan tempat tertutup. Pasien yang ada di ruangan itu bisa melihat cara Untung mengurut. Laki-laki muda itu mengenakan baju santai dan kepalanya ditutup topi kain batik atau yang biasa disebut blangkon.
Saat seorang pasien tiba pada gilirannya, tangan saktinya mulai mengurut, mencari syaraf-syaraf yang tak berfungsi dengan benar, meluruskan dan memijitnya dengan pasti.
Penderita penyakit berat maupun ringan itu, datang dari kota tempat tinggalnya, maupun dari kota-kota sekelilingnya. Di depan rumahnya dipasang papan nama, Pijat Refleksi Pak Untung, mengobati segala macam penyakit. Di bawah tulisan itu tampak diparkir mobil Avansa seken kesayangan Untung, yang dibelinya beberapa bulan lalu.
Para penderita penyakit dalam yang berat, rutin berobat kepadanya. Sehari bisa 50 pasien laki perempuan, tua dan muda.
Setelah banyak pasien, Untung yang memiliki postur gagah itu, meninggalkan pekerjaannya sebagai penjaga sekolah, sekarang dia lebih dikenal sebagai tukang pijat refleksi.
*
Tiga puluh tahun yang lalu, Untung adalah bocah cilik badung. Bisa dianggap biang kerok. Ayahnya meninggal saat bocah itu masih balita. Maka dia pun tinggal bertiga dengan ibu dan adik perempuannya.
Ayahnya memberinya nama Untung, dengan harapan hidupnya kelak akan penuh dengan kemujuran. Ibunya bukan perempuan pintar dengan gelar akademis di belakang namanya. Hanya wanita biasa.
Dia berjualan di pasar, dan hidupnya habis di keramaian itu. Tiap hari, Untung berangkat sekolah sendiri sementara adiknya ikut ibunya ke pasar. Sekolahnya tidak terlalu jauh. Dia selalu diajari ibunya untuk menjadi pemberani.