Lihat ke Halaman Asli

Anggie D. Widowati

Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Jatuhnya Sevel dan Sifat Aji Mumpung

Diperbarui: 6 Juli 2017   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa tahun belakangan ini, saya adalah salah satu pelanggan Sevel. Kenapa? Sambil menunggu anak sekolah (masuk siang) saya menyempatkan waktu untuk menulis. Dan tempat yang bisa menampung saya 3-4 jam menunggu anak sekolah, adalah Sevel.

Karena hampir setiap hari nongkrong di situ, saya bukan hanya kenal dengan manager toko setempat (tempat saya nongkrong) yang kebetulan dekat dengan lokasi sekolah, tetapi juga pihak parkir yg biasanya merangkap tukang bersih-bersih. Meskipun konsep resto itu, habis makan masukin sendiri sampah ke tong sampah.

Setiap masuk ke arena resto, ada sekelompok orang yg duduk bergerombol. Konon mereka para pedagang properti via online. Karena mereka sepanjang hari pakai fasilitas wifi, tidak membeli makanan, sering membuat keributan, kemudian mereka pun diusir.

Namun ketika saya mengunjungi Sevel lain, kelompok itu sudah di situ. Mereka ternyata pengguna wifi gratis dengan cara pindah2 Sevel. Dengan perilaku sama.

Suatu hari saya akan bertemu seseorang dan  menunggu di Sevel Bintaro. Seorang wanita muda mendekati bangku kosong di meja saya dan menawarkan bentuk donasi, katanya untuk anak-anak  autis. Saya menolak tegas. Ternyata orang itu bersama kelompoknya mengambil posisi di sudut dan kelompok itu bercanda bebas, tertawa-tawa mengganggu pengunjung yang lain. Pokoknya bikin ribut. Mereka ini juga fakir quota yg menggunakan wifi gratis Sevel itu. Alias aji mumpung.

Bahkan di Sevel yang sama, di sudut lain (Sevel Bintaro luas dan salah satu yangterbesar) ada gerombolan ibu-ibu bisnis online yang juga menggunakan bangku di Sevel dengan durasi seharian, seakan-akan kantor mereka sendiri.

Jujur saya lebih banyak ngopi daripada mengemil makanan di Sevel, karena melakukan aktifitas menulis. Tetapi sejauh ini selama nongkrong di resto itu, selalu membeli makanan atau minuman di lokasi tersebut. Karena bagi saya itu sebuah keharusan. Malu dong nongkrong doang.

Tetapi sebagian saya lihat mereka membeli maknanan dari luar, bubur ayam, somay, gorengan, bahkan kopi seduh pun ada yang beli dari luar. Karena memang kopi seduh di Sevel (14.000) lumayan mahal dibandingkan kopi seduh keliling yg cuma 3000 pergelas plastik. Anehnya pedagang-pedagang kecil itu bebas berjualan di sekitar Sevel, dan dibiarkan.

Keleluasaan pengunjung menggunakan wifi, sementara tak ada kewajiban membeli makanan seperti cafe lain: Kopitiam, Starbuck, dll, membuat mereka mendapatkan out put yang minim dari penjualan maknan dan minuman. Sementara biaya pengeluaran untuk wifi tetap jalan. 

Kalau menghubung-hubungkan rontoknya bisnis Sevel (Seven Eleven) ada kaitannya dengan politik dan "dosa"-nya pada umat Islam saya kira terlalu berlebihan. Kesalahan managemen ini, dengan banyaknya orang yg cuma sok gaya nyevel tapi enggak jajan membuat resto itu bangkrut. Jadi menurut saya, mereka bangkrut bukan karena pemiliknya Charles Honoris, seorang politisi PDIP, yang konon bendahara tim sukses Ahok, mantan gubernur DKI yang dicap oleh kelompok tertentu sebagai penista agama. Tetapi karena pengunjungnya banyak yang aji mumpung menggunakan wifi gratisan.

Jakarta, 4 Juli 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline