Lihat ke Halaman Asli

Tidak Mudah Menjadi Orangtua

Diperbarui: 21 Oktober 2019   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menjadi orangtua itu tidak mudah. Tidak semudah membaca berbagai teori.  Tidak ada resep mujarab yang bisa diterapkan dalam pola pengasuhan anak. Berbagai buku tentang bagaimana menjadi orangtua dsb tetap tidak operasional ketika kita menghadapi anak yang punya ingin, punya kehendak, dan punya pikirannya sendiri. Maka, membaca berbagai buku-buku parenting saja tidak cukup.

Anak kami berusia 4 tahun. Dia sudah mulai bersekolah. Saya dan istri bekerja. dan kami tak punya asisten rumah tangga. Semua pekerjaan di kerjakan berdua, meski bobot terbesar ada pada istri saya. Saya, yang selalu berantakan, membantu sebisanya soal rumah dia atur semua. Saya nurut saja. Sementara soal pengasuhan anak, kami urus berdua. Dari bangun pagi hingga terlelap, anak kami yang menggemaskan itu kami urus berdua.

Berdarah-darah dan berurai air mata, itu sudah jelas. Berdebat dan berbeda pandangan, sudah pasti berbeda visi seringkali. Berbeda cara, itu tidak bisa dipungkiri. Maka, kami selalu diskusi. 

Ngobrol sana sini untuk mencari solusi semua kami obrolkan. Ngobrol berdua menurut kami sangat ampuh. Rumah tangga adalah ruang dialog jadi semua perlu didialogkan. Tidak bisa ambil keputusan sendiri tanpa diskusi.

Tidak mudah. Sangat tidak mudah. Membesarkan anak, pasti ada saja dramanya. Anak kami di usianya yang sangat dini sudah sekolah. Bukan kami pro sekolah anak di usia dini. Tidak. Kami berpendapat, anak kecil tugasnya bermain. Tapi, kami tak punya pilihan. Kami berdua bekerja. 

Siapa yang akan mengasuh anak kami di rumah? Maka sejak setahun lalu kami bergerilya mencari day care atau taman kanak-kanak yang ramah anak. Yang mau menemani anak kami selama kami berdua bekerja. 

Bukan soal menitip anak, tetapi menemani anak. Berat, tapi itu pilihan terbaik.  Kami mencari tempat yang tidak memaksa anak kami untuk belajar di usianya yang sangat belia. Tempat di mana dia tetap bisa bermain sepuasnya sampai lelah dan bersosialisasi dengan teman-temannya. 

Tempat di mana dia berusaha mengenal berbagai kebiasaan. Itu yang kami inginkan. Kami pun berkeliling. Istri saya yang lebih rajin browsing dan mendatangi berbagai day care dan kemudian melistnya untuk dikunjungi. Di saat libur saya ikut mengunjungi tempat yang menjadi target.

Apakah mudah mendapatkan tempat yang sesuai dengan imajinasi? Sulit sekali ternyata. Banyak tempat di daerah kami berfokus pada kegiatan belajar bagi anak. Anak-anak kecil diajak menghapal, belajar mengenal huruf, dan mengaji juga melalukan berbagai kegiatan yang menurut kami begitu memberatkan anak. 

Duh, bukan itu mau kami. Banyak juga day care -- yang biasanya satu paket dengan TK-- yang kami kunjungi menyatakan bahwa para orangtua justru minta mereka mengajari anak-anaknya membaca, agar mudah ketika masuk di SD. Kasihan sekali beban anak-anak ini. Padahal di usia itu anak, ini menurut kami, harusnya dibebaskan saja mengeksplorasi banyak hal. 

Soal apakah dia sudah mau belajar membaca, serahkan pada anaknya saja, karena banyak juga anak yang sudah semangat mengenal huruf bahkan membaca dan berhitung di usia dini. Tugas orangtua lah yang mengenalkan anak pada ragam aksara. Mengenalkan saja bukan memaksanya belajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline