Lihat ke Halaman Asli

Ibu Keren

Diperbarui: 18 Oktober 2019   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibu adalah kata keren. Juga dengan beragam sifat yang melekatinya. Mereka, ibu-ibu itu, adalah pejuang tangguh kehidupan. Mereka punya ketangguhan yang luar biasa menghadapi hidup ini. Tubuhnya diwakafkan demi hidup orang-orang yang mereka cintai. Cinta mereka begitu teguh, tanpa syarat.

Ibu, seorang perempuan dengan peran multi. Ia bisa tinggal di rumah memeriksa semua kelengkapan rumah tangga. Bisa juga pekerja yang bahu membahu bersama suaminya untuk membahagiakan anak-anak mereka. Bisa juga seorang pejuang sendiri, yang membesarkan anaknya sendiri. Atau seorang yng teguh hidup sendiri karena harus membiayai orangtua, kakak atau adik, juga keluarga lainnya. Mereka bisa dan selalu bisa. Teguh dan selalu tangguh. Di mana pun posisinya.

Ibu, ibu, ibu, sabda Rasul yang kita cintai. Berat tugasnya, mulia perjuangannya.

Mereka tak perlu dibandingkan. Di media sosial, beberapa kali upaya membandingkan mereka yang memilih menjadi ibu rumah tangga dengan mereka yang bekerja. Tak perlu, sungguh upaya membandingkan tersebut adalah kesia-siaan. Mereka mulia. Di mana pun mereka berada. Mereka keren di mana pun mereka berjuang.

Pekerjaan yang tanpa henti dilakukan. Doa-doa mengalir dalam segenap langkah untuk yang dicintai. Dalam kecerewetan, dalam omelan, dalam isak tangis. Doa teguh dikukuhkan.

Bagi ibu pekerja. Pagi mereka bangun. Memastikan logistik anak dan suaminya siap. Sejak dini hari mereka sibuk. Lelah adalah kata yang hilang dari kamus mereka. Senyumnya merekah jika anak-suami makan dengan lahap bekal yang disiapkan. Siang, meskipun kerja, anak-suami tetap diperhatikan. Senja, waktu yang harusnya dipakai minum teh sambil memandang senja digunakan untuk mencuci pakaian, menyapu, mengepel dan membereskan berbagai hal.

Malam, menemani anak mengaji dan belajar. Menemani anak tidur. Dan menyiapkan pekerjaan untuk besok. Dipungkas dengan menyiapkan pakaian untuk besok. Baru ia tidur. Sebentar sekali. Dan bangun dengan rutinitas yang sama. Berpuluh-puluh tahun.

Mereka yang memilih tinggal di rumah melakukan kerja yang tak kalah keras. Menyiapkan berbagai keperluan. Memanajeri rumah agar senantiasa resik. Tak ada beda, sama mulia. Sama kerennya.

Mereka bisa melesat atau memilih untuk bekerja di belakang layar. Semua perlu didukung, disokong, disemangati. Ibu adalah madrasah pertama. Ia adalah anugerah terbesar. Ia tak boleh dihinakan, disia-siakan. Ia adalah penjaga kehidupan. 

Tak boleh dibedakan. Mereka keren dengan caranya masing-masing. Mereka mulia dengan jalannya masing-masing. Anak-anak hebat, lahir dari ibu-ibu yang tangguh. Yang mewakafkan dirinya untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Ibu-ibu keren ini perlu diskokong oleh lingkungan yang suportif. Yang tidak merendahkan. 

Kita, memang hidup di dunia yang tidak ideal. Dunia yang penuh panggung sandiwara, penuh drama. Dan drama terbesar biasanya mendera para ibu. Mereka memiliki tingkat stress yang sangat tinggi. Apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak suportif. Mereka tidak diapresiasi secara layak oleh keluarga dekatnya, lingkungan kerja, ataupun rumah tinggalnya. Kondisi tersebut sangat berakibat buruk pada mental seorang ibu. Sudah bekerja keras, tidak diapresiasi. Tentu sangat menyakitkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline