Lihat ke Halaman Asli

Kapan Punya Anak?

Diperbarui: 19 Januari 2018   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya dan istri menikah hampir 6 tahun. Dan anak kami menjelang 3 tahun. Ya, setelah menikah kami tak langsung memiliki anak. Alhamdulillahnya, orangtua kami tak rewel bertanya dan meminta-minta cucu. Keluarga besar pun tidak bertanya macam-macam. Pertanyaan-pertanyaan kapan punya anak justru datang dari orang lain.

Pertanyaan macam kenapa belum punya anak? Nunda? Udah ke dokter belum? Mau punya anak berapa? Dan seterusnya adalah hal yang biasa kami dengar.

Beruntung juga saya dan istri bekerja di lingkungan yang ga rewel-rewel amat mempertanyakan mengapa kami belum punya anak. Tapi ya pertanyaan macam itu ada saja yang menanyakan.

Pernah, ketika lebaran, ketika bersalaman keliling sekitar rumah, seorang ibu yang tidak saya kenal, temannya ibu istri saya, bilang, si Aana mintul (tidak tajam) mereun. Teu bisaeun. Waduh, dia kira pisau apa. Sayapun hanya bisa senyum-senyum sebal. Itu terjadi di satu tahun awal pernikahan kami.

Padahal, belum hamil, belum punya anak, belum menikah, belum punya anak kedua, belum punya rumah, belum punya lain-lainnya itu bisa terjadi karena banyak hal. Dalam kasus belum punya anak itu pun terjadi karena banyak variabel. Kalau boleh memilih, kebanyakan orang mungkin (untuk kasus Indonesia) setelah menikah inginnya cepat dianugerahi anak. Cespleng. Tapi ya mana bisa begitu. Kalau boleh milih mungkin setiap orangtua mau punya anak yang ganteng-cantik, sehat, sholeh solehan, cerdas, ga nyusahin, bahagia dan doa-doa baik lainnya. Tapi harapan dan kenyataan tak selalu akrab seiring sejalan. 

Untuk kasus punya anak, tiap orang pun punya jalannya masing-masing. Setelah dua tahun kosong, kami akhirnya mendapatkan kepercayaan untuk merawat anak. Dan itupun tak pernah disangka. Karena Kami sudah saling bicara, jika tak kunjung juga mendapat anak, ya harus ikhlas. Kami tak boleh saling menyalahkan. Karena itu kami masih santai, belum cek ini itu. Bisa saya yang kurang sehat, atau istri yang kurang sehat. Tapi komitmennya, apapun itu ya kita hadapi berdua. Kami berdua akhirnya cek ini itu. Yang kadang tidak adil, kadang suami tidak mau ikut dicek ini itu. Karena berpendapat pihak istrilah yang bermasalah. Padahal siapa saja bisa bermasalah.

Hasil tes, istri saya tidak masalah demikian juga saya. Jadi ini variabel takdir. Tapi Kami berusaha terus. Kami coba pola hidup lebih sehat. Olahraga, makan sehat, minum vitamin, tidak stress, dan berdoa. Saya dan istri tak henti merapal doa, rabbi habli minashalihin. Setiap hari setiap saat. Saya dan istri rajin browsing. Di internet melimpah ruah informasi cara cepat punya anak. Saya diam-diam beli buku Buku Cara Cepat Hamil karya dr. Rosdiana Ramli, SpOG, sampe hapal. Haha. Saya minta istri baca. Kami ikuti beberapa tipsnya.

Entah upaya mana yang berhasil. Yang jelas, di suatu sore, istri bilang, bahwa dia hamil. Ya Allah, senang, sedih, dan haru berjumpalitan. Yang kami nanti akhirnya tiba. Kami ke dokter dan iya, dokter bilang kemungkinan hamil. Dia minta dua minggu lagi kembali. Dan setelah dua minggu dengan harap cemas, ternyata ya positif hamil.

Jika Allah Yang Mahabaik belum memberi anugerahnya, mungkin, ada hal terbaik yang disimpannya untuk kita. Dan Ia akan memberikannya pada momen yang amat tepat. Tanpa cacat tanpa kurang. Jadi cuek sajalah (meskipun sulit) dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering merisaukan itu. Terus berusaha dan berdoa. 

Dan saat ini kamipun siap dengan pertanyaan selanjutnya, kapan punya anak kedua? 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline