Mei adalah bulan penuh sejarah. Beberapa peristiwa sejarah terekam di bulan ini, mulai dari May Day, Hari Pendidikan Nasional, sampai Hari Kebangkitan Nasional.
Untuk dunia pendidikan tanggal 2 Mei merupakan momen penting, Hari Pendidikan Nasional. Apalagi tahun 2016 ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bulan Mei dideklarasikan sebagai Bulan Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti yang diungkap oleh Kemdikbud bahwa pendidikan merupakan gerakan semesta, maka menurut penulis, salah satu elemen kunci dari gerakan tersebut adalah para guru. Tulisan ini merupakan refleksi terhadap posisi guru di Indonesia.
Guru memiliki posisi sentral dalam konstruksi pendidikan di Indonesia. Sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Amanat luhur undang-undang tersebut, guru harus cakap di bidang pengetahuan dan pembelajaran, memiliki karakter, cerdas secara interpersonal maupun intrapersonal, serta paham akan tugas dan kewenangannya. Guru-guru dengan kriteria tersebut tentu akan berkontribusi secara optimal bagi pendidikan di Indonesia.
Menghadirkan guru-guru dengan kapasitas mumpuni tersebut adalah tugas berat yang harus ditanggung bersama. Guru yang memiliki passion dan visi besar akan mewarnai dunia pendidikan menjadi lebih semarak. Warna-warni yang diharapkan membangkitkan optimisme. Mereka mewakafkan jiwa dan raganya hanya untuk pendidikan anak bangsa.
Para guru yang tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mencontohkan secara faktual bagaimana nilai-nilai kebaikan hidup dipraktekan dalam laku keseharian. Kata kuncinya adalah keteladanan. Keteladan guru akan terekam dan diingat sampai kapan pun oleh para peserta didik.
Proses pendidikan tidak boleh menjadi ritual mekanis belaka, ketika pendidikan hanya berfokus pada penguatan pengetahuan (cognitive oriented) saja. Peserta didik tidak boleh dijadikan sebagai objek pasif penerima pengetahuan saja, karena sesungguhnya mereka merupakan subjek aktif pencari pengetahuan.
Apalagi seiring kemajuan zaman, dominasi sekolah sebagai otoritas pemberi pengetahuan semakin tergeser. Sekolah bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Peserta didik dapat belajar dari berbagai sumber. Apalagi untuk mereka yang memiliki akses internet yang memadai tak sulit memeroleh informasi mengenai materi-materi pelajaran. Tentu berbeda dengan masyarakat yang jauh dari jangkauan internet.
Di sisi lain, pembelajaran di kelas sejatinya merupakan proses latihan bagi peserta didik untuk menjadi pribadi yang kritis, peduli, toleran, terampil, inovatif, kreatif, produktif dan mampu bekerja sama. Mereka harus dididik menjadi sosok pembelajar sepanjang hayat yang selalu kritis mempertanyakan setiap permasalahan kehidupan. Bukan sosok yang manut-manut saja.
Tindakan kekerasan verbal maupun fisik, sikap intoleransi, maupun perundungan (bullying) akan dapat diminimalisir oleh guru yang memiliki semangat yang kuat serta cinta yang tulus untuk mendidik. Apalagi peserta didik merupakan individu dengan ragam kecerdasan dan kepribadian, sosial ekonomi, budaya, agama, maupun gender yang berbeda. Guru harus mampu mengkondisikan diri untuk memahami keunikan masing-masing peserta didik. Guru-guru otoriter dan pendikte harus dieliminasi. Bukan zamannya lagi mendidik dengan hardikan dan kekerasan.
Untuk pelajaran ilmu-ilmu sosial khususnya, guru harus mampu menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan kehidupan keseharian, sesuai dengan kondisi nyata yang ada pada bangsa ini, pembelajaran yang kontekstual. Pembelajaran berbasis penyelesaian masalah (problem based learning) menjadi penting. Bukan pembelajaran yang justru menjauhkan mereka dari realitas kehidupan.