" Arrhhhhh....... " Laluna membanting pintu kamarnya dan kemudian merebahkan badannya diatas kasur.
Ia menangis sejadi-jadinya.
" Tuhan, kenapa kau tak ajak saja aku pergi?" Teriaknya sembari memandang langit-langit kamarnya.
" Aku lelah Tuhan, aku lelah." Air matanya terus mengucur tanpa henti, lambat waktu matanya kian meredup karena kelelahan menuangkan segala keluh kesahnya dengan air mata yang sangat deras.
Ya, malam itu Laluna merasa dirinya begitu capek dan lelah dengan keadaan, ia merasa semua tak ada yang berpihak kepadanya. Bahkan untuk bercerita saja ia tak tahu harus kemana. Ia merasa bahwa hidup seolah tak adil, ia merasa bahwa dirinyalah yang paling menderita, Ia merasa kenapa ia tak bisa mendapatkan apa yang orang lain punya, seperti keluarga yang indah dan harmonis, orang tua yang lengkap bahkan ia selalu merasa tak punya rumah untuk dia pulang dan ia percaya. Ia selalu merasakan perdebatan dalam hatinya dengan pertanyaan kenapa. Sesekali ia pernah hampir berusaha menyelesaikan hidupnya dengan mencoba menabrak diri dan berharap ia tak bangun lagi untuk selama-lamanya, namun sayangnya takdir belum menginginkan dia untuk pergi.
Pagi telah tiba dan menyapanya, alarm membangunkannya dalam tidur lelapnya. Ia terbangun dengan mata bekas menangis semalam. Ia bergegas membereskan kamarnya dan bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba notif HP-nya berbunyi terpampang jelas dari jendela layarnya. " Kamu ada uang 1 juta, tante pinjem dulu. Sama sekalian beliin MCD untuk Morgan keponakanmu." Pesan seperti itu terkadang membuat Laluna kesal dan terauma. Alih-alih menanyakan kabar tapi malah bertanya seperti itu.
" Huft.... " Laluna menghela nafas, kemudian mentransfer uang sejumlah yang diminta oleh tantenya tersebut tanpa membalas pesannya.
Dibawah terik matahari ia berjalan menuju tempat kerjanya yang tak jauh di kosnya, Laluna mencoba berdamai dengan apa yang sedang ia hadapi sekarang, ia berjalan sambil menikmati musik-musik clasik di Headphonenya.
Ceklek....
Bunyi pintu itu berasal dari depan tempat kerjanya. Laluna memasuki ruang kerja dengan wajah ceria meski sesak ada yang menahan.
Tulisan On-Air sudah terekam jelas di depan ruang kerja Laluna, inilah saatnya Laluna menyapa penggemar di luar sana dengan mempersembahkan suara riangnya di Radio. Ya, Laluna adalah penyiar, pekerjaannya ini harus memaksanya untuk selalu mempersembahkan suara riangnya ke telinga pendengar.