Lihat ke Halaman Asli

Kita Harus Melawan!!!

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengaja saya beri judul ‘Kita Harus Melawan’, dengan tanda kutip tiga kali. Jelas judul ini menunjukkan bahwa saya sedang melakukan perlawanan bagi sistem yang diskriminatif melalui tulisan ini. Akhir-akhir ini diberbagai media marak menampilkan berita kekerasan terhadap perempuan. Kasus penyebaran foto model cantik NA, incest, perkosaan didalam angkot serta yang paling membuat saya greget adalah kebijakan yang akan digelontorkan sebuah institusi pemerintah disebuah kabupaten.

Dalam koran harian Rakyat Bengkulu (24/10) halaman 32 terpampang dengan jelas judul sebuah berita ‘Dispendik Akan Melakukan Tes Keperawanan’. Bukan hanya itu, berbagai berita disalah satu tv lokal juga menyebutkan hal yang sama. Tes tersebut ditenggarai oleh salah satu siswi yang berada disebuah sekolah menengah atas (SMA) mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Pihak sekolah baru mengetahui siswi tersebut mengalami KTD setelah mid semester dan langsung berencana mengeluarkan siswi tersebut dari sekolah (informasi dari Harian RB 24/10).

Sungguh miris kebijakan yang akan digulirkan pemerintah daerah Lebong tersebut. Kebijakanan yang sangat diskriminatif dan tidak berperspektif pada perempuan dan anak. Padahal jelas dalam konstitusi negara kita, bahwa semua orang tanpa terkecuali dapat menikmati hak pendidikan, sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam Uud 1945 dijelaskan bawha setiap warga negara berhak mendapatkan persamaan hak dalam mendapatkan pengajaran yang dijamin berdasarkan pasal 31 ayat (1) dan ayat (2). Pasal tersebut menetapkan bahwa :

(1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu tujuan negara kita sebagaimana yang diungkapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Undang-undang yang mengoperasionalkan UUD 1945 pasal 31 ini adalah undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 27 tentang Pendidikan Prasekolah. Peraturan Pemerintah No 28 tentang Pendidikan Dasar, Peraturan Pemerintah No. 29 tentang Pendidikan Menengah dan Peraturan Pemerintah No. 30 tentang Pendidikan Tinggi.

Berulang Lagi dan Kita Harus Melawan!

Masih jelas diingatan kita, bagaimana wacana tes keperawanan bagi siswa SMP dan SMA yang dilontarkan  anggota DPRD Provinsi Jambi pada 2010 lalu mendapatkan pertentangan dari banyak kalangan. Bukan hanya aktivis perempuan namun sebagaian besar masyarakat melihatnya sebagai tindakan yang diskriminatif.

Mengutip Nauli (2010) dalam pertanyaannya mengenai urgensi dan rasionalitas mengenai tes keperawanan :

pertanyaan serius yang disampaikan, apa urgensi membicarakan pendidikan dengan persoalan “keperawanan” dengan menghubungkan “selaput dara”? Apakah seseorang yang tidak “perawan” akan menimbulkan masalah dipendidikan? “hak mendapat pendidikan – sebuah hak yang diatur dalam konstitusi”. Kemudian berangkat dari salah “tafsir” sempit dari legislasi yang membatasi hak itu. Apakah urgensi dengan keberhasilan pendidikan dengan “keperawanan”?

Pertanyaan Nauli dan kritik-kritik lain pada wacana tes keparawanan yang diwacanakan anggota DPRD Jambi 2010 silam, seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi kebijakan yang akan digulirkan pemerintah Kabupaten Lebong. Mewacanakan tes keperawanan bagi perempuan berarti kita telah mengobrak-abrik urgensi dari pendidikan itu sendiri. Keterkaitan keperawanan dengan pendidikan bukanlah suatu hal yang urgen dari pendidikan sesuai dengan pasal 31 ayat 1.

Dalam kasus ini yang menjadi catatan penting adalah ‘apakah indikator keberhasilan pendidikan saat ini terukur dari perawan tidaknya seorang perempuan?’ ‘apakah perempuan yang tidak perawan tidak diperbolehkan sekolah?’, ‘apakah dengan melakukan tes keperawanan, akan menciptakan generasi yang baik?’

Pertanyaan diatas tentu saja harus segera dijawab oleh pemerintah. Perempuan harus terbebas dari kebijakan yang diskriminatif dan sejajar mendapatkan kesempatan pada dunia pendidikan. Jelas kita harus melawan!

Menguak Persoalan Awal : Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD)

KTD mengandung arti sebagai kehamilan yang terjadi saat salah satu atau kedua belah pihak dari pasangan tidak menginginkan anak sama sekali atau sebenarnya diinginkan tapi tidak pada saat itu, dimana kehamilan terjadi lebih cepat dari yang telah direncanakan (Kisara.or.id). KTD tidak saja terjadi pada remaja, melainkan pula terjadi pada pasangan yang sudah menikah. Misalnya, hamil dengan kondisi ‘kebobolan’ atau kegagalan penggunaan alat kontrasepsi.

Tentu saja tidak bijak jika seorang siswa harus dikeluarkan karena alasan membuat malu institusi sekolah. Sekolah merupakan tempat mendayung ilmu, sarana dimana seorang anak belajar secara formal dan informal. Tempat dimana seorang anak membangun dirinya jika apa yang dilakukannya salah.

KTD pada remaja merupakan dampak dari persoalan pendidikan seks, kesehatan reproduksi yang semakin hari semakin menjadi persoalan serius. KTD pada remaja bukan permasalahan biasa yang hanya dapat diselesaikan dengan mengeluarkan siswi dari sekolah. Dukungan dari semua pihak dibutuhkan untuk penguatan remaja yang mengalami KTD. Karena remaja yang mengalami KTD juga tetap manusia yang mempunyai hak untuk melanjutkan hidupnya dengan penuh semangat dan cita-cita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline