Lihat ke Halaman Asli

Manusia Laki-laki

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Saya ingin anak laki-laki, bukan anak perempuan. Titik)

Ramadhan kali ini sepertinya aku mendapatkan berkah yang banyak. Bergelimpangan doa, rahmat dan rejeki dari Tuhan. Aku merasa begitu karena aku habis saja mengambil suatu keputusan yang sangat hebat dalam hidup ini. Diusiaku yang menanjak ke 30 tahun ini, aku memilih menikah dengan menikahi seorang laki-laki. Laki-laki yang menjadi teman hidupku itu seorang pekerja seni.

Tapi sayangnya kami harus berjauhan untuk sementara waktu. Suamiku sedang menyelesaikan sekolahnya di Bandung, sedang aku berdomisili di Bengkulu. Jika menggunakan pesawat jarak tempuh antara Bandung Bengkulu memakan waktu sekitar satu setengah jam. Namun, ya itu karena ongkos dsb, alhasil kami bersepakat untuk bertemu satu bulan sekali. Kemungkinannya fifty fifty, kalau tidak aku yang berkunjung kesana ya dia yang menjengukku kesini.

Kehidupan pernikahan kami bisa dianggap sederhana. Aku seorang pekerja sosial, begitu aku menyebut diriku. Aku sesekali menulis untuk media lokal dan mengajar disebuah Yayasan yang menampung anak-anak berkebutuhan khusus. Awalnya karena aku suka mengajar saja, tidak punya keterampilan untuk mengajar khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Namun karena jam terbangku yang cukup tinggi, akhirnya aku dipercaya memiliki satu kelas penuh untuk anak-anak berkebutuhan khusus di yayasan tersebut.

Sedari dari kuliah aku memang sedikit nyeleneh. Hingga ibu sering kali mengomeli diriku. Kerap kali ibu memintaku untuk mengikuti berbagai tes Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi disaat sekarang ini, ijazahku sedang banyak digemari oleh instansi-instansi baik dipemerintahan maupun swasta. Ibu juga kerap kali selalu menyodorkan berbagai lowongan kerja diperusahaan-perusahaan ternama atau BUMN.Maklum, disini PNS masih menjadi idola pekerjaan dimasyarakat. Tak segan pula ibu ikut-ikutan ingin membayar satu kursi untukku agar dapat bekerja menjadi PNS.

'jadi PNS itu enak, hidup terjamin, pekerjaan santai apalagi kamu perempuan, bisa sambil ngurus anak, suami. Sampe tua ada jaminan, apalagi kebanggaan ibu', celoteh ibu tak henti-henti.

Kadang perkataan itu sembari ibu menangis sesenggukan dihadapanku. Tapi aku tetap tak bergeming. Aku durhaka. Entahlah. Tapi apa yang dikatakan oleh ibu, membuatku risih sekali. Itu menandakan, kematian bagi diriku. Tidak ada pekerjaan yang santai, yang ada kita melakukan korupsi pada negara untuk mendapatkan waktu santai. Lalu, jaminan, ah aku juga bisa membuat jaminan ocehku dalam hati. Toh tiap bulan aku menyisihkan sebagian gajiku untuk membayar uang pensiun yang aku rencanakan sendiri. Lantas apa yang ada dipikiran ibu? Berapa sih gaji PNS? Aku kadang seperti angkuh, bukankah aku bisa mendapatkan gaji yang baik jika aku bekerja baik pula.

Hingga umur 30 tahun menjemputku, dan aku memilih seorang laki-laki, yang notabene temanku kuliah dulu untuk hidup bersama. Awalnya aku memilih tidak menikah saja, toh nantinya statusku menjadi 'istri', yang notabene dikatakan oleh negara sebagai 'anggota rumah tangga'. Sedangkan aku bersepakat dengan suamiku, bahwa akulah yang menjadi Kepala Rumah Tangga.

'tidak lumrah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Dimana harga diri suamimu didepan masyarakat. Perempuan itu ya menjadi istri, anggota rumah tangga. Jikalau suami sudah meninggal barulah kamu layak menjadi kepala rumah tangga', ayah kali ini yang memberi ceramah kepadaku.

Kala itu, aku berdebat dengan Ketua RT waktu aku mengurus kartu keluarga. Aku diam saja dan masuk rumah. Aku mulai tidak bisa diam sepertinya, tapi apa yang harus aku lakukan. Sebelum aku menikah, ibu kerapkali mengenalkan aku dengan beragam laki-laki, yang katanya berada dilevel mapan. Kalau tidak seorang PNS dipemerintahan, Karywan, Guru dan laki-laki sebangsanyalah.

Aku seperti dicucuk kambing saja setiap bulan dikenalkan ibu oleh beragam laki-laki. Kadang aku turuti kemauan ibu, aku menemui laki-laki tersebut. Tapi kadang aku ilfeel dengan calon-calon yang disodorkan ibu. Kira-kira begini pembicaraan kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline