Lihat ke Halaman Asli

Mereka yang Menangis Karena Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

(Sebuah Kritik dalam Tampilan Foto dan Inisial)

Saya menamakan judul tulisan ini seperti subjudul dalam sebuah rubrik liputan khusus sebuah majalah perempuan ternama di Indonesia. Subjudul aslinya ‘mereka yang menangis dalam diam’. Subjudul ini bagi saya lebih terasa maknanya daripada judul yang dipasang oleh penulisnya. Saya mengganti kata ‘diam’, dengan kata ‘media’. Hal ini dikarenakan saya begitu terkejut ketika membaca tulisan ini, dan seketika lahirlah tulisan ini.

Pertama kali saya tergelitik membaca tulisannya. Saya merasa tulisan tersebut sangat baik dan mudah dicerna oleh banyak kalangan. Apalagi isu yang diangkat adalah isu mengenai kekerasan terhadap perempuan. Dari tulisannya, saya melihat bahwa penulisnya sepertinya banyak membaca referensi dan mengetahui mengenai isu kekerasan terhadap perempuan.

Data yang disajikan, kasus-kasus yang terjadi hingga uraian cerita dan alur yang dibangun oleh penulisnya membuat nurani saya bangkit dan ingin pula melakukan banyak hal untuk perempuan korban kekerasan. Tulisan itu sangat menggugah dan membuat kita terhenyak dari kenyamanan kita sebagai seorang  manusia, bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan akan hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan belumlah usai, walaupun sudah ada regulasi yang mengatur mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Regulasi tersebut diantaranya UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan masih banyak lagi regulasi yang mengatur mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Setelah usai membaca tulisan tersebut, saya bingung apa yang menganjal dalam batin saya. Padahal saya merasa bahwa tulisan yang dibuat oleh penulisnya sangatlah baik. Saya melihat foto-foto yang ditampilkan oleh majalah tersebut dalam tulisan tersebut. Disitulah keterkejutan saya muncul. Saya melihat foto korban kekerasan terhadap perempuan, ditampilkan dengan jelas beserta nama dan kejadian apa yang telah terjadi pada perempuan korban.

Akhirnya saya membaca ulang tulisan tersebut. Keterkejutan saya semakin memuncak, karena banyak sekali nama perempuan korban yang tidak menggunakan inisial. Semua cerita mengenai korban kekerasan terhadap perempuan sedikitpun tidak menggunakan inisial. Hal inilah yang membuat saya menuliskan judul tulisan ini ‘Mereka yang Menangis Karena Media’. Secara kasat mata memang kejadian yang diceritakan oleh majalah ini memang dapat memberikan informasi kepada masyarakat . Tapi bagi saya, masyarakat bukan hanya saja membutuhkan sebuah informasi saja. Masyarakat membutuhkan kepekaan yang sangat dalam untuk perempuan korban kekerasan.

Dalam kacamata saya, penulisan nama perempuan korban kekerasan dalam sebuah media tanpa inisial bukanlah perkara yang bijak. Karena ini tentu saja menyakiti perempuan korban, keluarga perempuan korban dan lingkungan perempuan korban. Media sebagai sarana penyebar informasi, dengan mudah dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas. Sehingga perempuan korban sangat rentan mendapat penyerangan kekerasan kedua kalinya dari media dan masyarakat secara luas.

Bagi saya, perempuan korban kekerasan  juga seorang manusia yang memiliki naluri dan rasa malu yang sangat dalam. Tentu saja, didunia ini tidak ada seorangpun yang ingin aibnya disebarluaskan kepada publik. Lirikan mata terhadap perempuan korban, gunjingan, pembicaraan mengenai kasusnya ke ranah publik merupakan penyebarluasan yang dapat berdampak psikologis kepada perempuan korban kekerasan. Hal-hal yang dianggap kecil tersebut akan berdampak sangat luas kepada kehidupan perempuan korban.

Dalam tulisan ini saya bukan berarti melarang pemberitaan mengenai kekerasan terhadap perempuan. Saya menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah kejahatan hak asasi manusia yang paling dasar. Perempuan korban kekerasan membutuhkan dukungan banyak pihak, termasuk suasana yang kondusif bagi pemenuhan dan pemulihan hak-haknya.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak mendapat dukungan hukum merupakan hal yang banyak terjadi pada perempuan korban. Kasus incest, perkosaan, KdRT yang diketahui setelah perempuannya mendapat kekerasan selama bertahun-tahun bukanlah kasus yang tidak sering kita dengar.

Jika pemberitaan dimedia juga membuat ketidaknyamanan bagi perempuan korban, membuat perempuan korban tidak ingin melaporkan kasusnya ke ranah hukum. Kita akan menyaksikan bahwa akan banyak sekali perempuan-perempuan korban kekerasan terbelenggu dalam lingkaran kekerasan yang menyiksa. Kita akan melihat berapa banyak lagi perempuan korban yang tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya ke ranah hukum formal.

Tentu saja ini berita buruk bagi kita, bahwa tidak ada lagi ruang yang sangat nyaman bagi perempuan untuk berlindung. Bukan saja mereka yang menangis, tapi kita juga kita, yang masih memiliki hati nurani ini. (ge)

Bengkulu Selatan, 2 Februari 2012 (22:31)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline