Lihat ke Halaman Asli

Dian Esti

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Dian Esti. Dian berarti lampu dalam bahasa Sansekerta, Esti itu cahaya. Arti dari namanya sunggu indah, lampu yang bercahaya dan menyinari dunia. Rambutnya ikal seperti ular. Turun kebawah. Matanya setengah sipit, bukan berasal dari etnis tionghoa. Menurutku juga bukan milik etnis ini saja. Kulitnya putih ranum, bila dipegang akan sehalus sutera. Bola matanya bulat menutupi sipitnya kelopak matanya yang setengah segaris.

Dian Esti. Dipanggil Esti saja. Selalu mengingatkannya bahwa dia adalah cahaya. Seberkas cahaya yang menyinari hidupnya. Tatapan manjanya tak pernah luput hadir di raut mukanya yang imut. Dia lahir dengan bobot normal 3,8 kg. Tangisnya memecah keheningan dalam rumah ini. Kami berbahagia.

Tak ada yang akan sebahagia ini melihat seorang putri cantik lahir. Dunia siap digenggamnya, dijangkaunya dengan tangisannya. Putingku serasa juga bersiap menyambut bibir mungilnya yang ranum. Wangi tubuhnya menghinggapi setiap relung yang ada dalam tubuh. Kami menikmati bersama melakukan hubungan seksual pada tahap paling dini. Ketika Esti mencari dan mengecup putingku, dan aku menikmati setiap denyutan asi yang kupompa untuknya.

Tangisnya yang meledak mencari putingku membuatku lupa bahwa aku seorang pribadi tanpa dia. Membuatku lupa aku perempuan mandiri yang mendukung aliran ‘pro choice’ bukan ‘pro life’. Kadang aku sangat merindukan bibir mungilnya menghisap putingku, kala 4 jam saja dia tidak menghisapnya. Kami sudah menjadi satu. Aku membutuhkannya, begitu juga dia. Kami benar-benar saling bergantung. Pada bibirnya, wanginya, tangisnya, geraknya, nafasnya, tawanya. Pada putingku, asiku, dekapanku, belaianku, kasih sayangku. Estiku. Cahayaku.

Dia rahimku. Denyut nadi pertama. Cahayaku.

­­­---

Banyak yang bilang aku terlalu memanjakan Esti. Terlalu memperlakukannya istimewa. Umurnya baru 30 hari kala itu, masa nifasku pun belum usai. Tapi aku tak pernah peduli apa yang orang bilang. Aku selalu mendekapnya dan tak ingin berjauhan darinya. Kugendong tubuh rapuhnya kemanapun aku bisa. Kudekatkan dia pada payudaraku hingga dia mencari sosok putingku dan mengenyutnya dengan syahdu.

Esti. Seindah namanya. Seindah wajahnya. Kutau ketika dia ada dalam rahimku. Bukan hanya seberkas cahaya, tapi Estiku adalah sebuah teks yang tak pernah mampu kuungkapkan. Esti suka sekali bercerita padaku mengenai rasanya dalam rahim. Katanya ramim seperti balon, bisa meletus jika ditusuk dengan jarum. Katanya pula, rahim itu kotak aneh, bisa mentrasfer makanan, membersihkan sisa kotoran, jadi loudspeaker, kadang tembus cayaha, bisa berasap, bersuara, tertawa, bersedih. Esti dengan bahasanya yang polos bercerita kepadaku. Kadang ketika aku mengelus perutku, tanganya mengikuti arah tanganku bergerak, dan kakinya pula menendang-nendang rahimku. Katanya, dia mengajakku bermain. Dia suka sekali mengikuti tanganku, katanya seperti bermain bola.

Aku belum pernah menceritakan tentang bola pada waktu itu, tapi dia bercerita bahwa bola itu tanganku. ‘mom, tanganmu seperti bola, bisa digelindingkan kemanapun. Halus juga mom, aku suka mom’. Aku menangis mendengar suaranya kala itu dari rahim, dia tertawa-tawa. Mungkin begini kuistilahkan tawanya ‘haahahahahhaa, mom mom mom mom mom mom mom’

Aku banyak belajar berbagai hal dengannya. Dia mengajariku untuk melihat, mendengar, merasai dengan hati. Bagiku dia seorang guru yang sangat bijak. Dia memberiku kesempatan untuk berbicara sepuas hati dan mengajakku bermain dikala aku sedang sedih. Menghiburku jika ayahnya tak pulang, membelaiku ketika ayahnya tak mampu memberiku rasa.

Kadang dia berteriak memarahi ayahnya karena tak kunjung pulang. Kadang dia memaki ayahnya karena membuat balonnya hampir pecah dan memerah lalu membiru. Kadang dia ingin keluar sesegera mungkin lalu menghempas tangan ayahnya yang selalu berakhir biru. Dan mengajakku untuk berlari saja, menghempaskan diri kelaut. Mengadu. Tapi aku tak begeming. Kubiarkan biru, tapi dia mendiamkanku.

Ketika tangisnya tak kunjung datang pertama kali, aku sudah tau. Tapi dia ada dan bernafas. Ini rahasia kami. Dia tak ingin menangis. Tak ingin kesedihan menjadi kebahagian. Dia tak ingin saja menangis. Itu pilihannya. Dan aku tak marah. Aku merasa berdosa.

---

Pagi itu, kugendong tubuhnya. Seperti biasa, dia tidak merengek menemaniku mengerjakan pekerjaan rumah. Tubuhnya seketika membiru. Aku menyukai biru. Tapi tidak kali ini. Sekujur tubuhnya membiru, memburu nafasku untuk berteriak lantang. Tubuhnya yang terlalu mungil mengejang. Kupegang dia, kubisikkan bahwa kita akan berlari nanti. Berdua saja, jika dia mengerdipkan matanya saja. Tapi dia serasa tak peduli.

Kularikan dia ke lorong putih dan disambut dengan sebuah kamar ICU. Sungguh jangan marah sama mom nak, ungkapku ditelinganya.  Dia hanya bergerak sedikit saja. Sungguh pilu hatiku, aku hanya menangis, kakakku mendekapnya penuh mesra. Merasa pula berdosa. Merasa pula tak punya rasa. Hanya kepanikan di wajah kami. Di raut rasa kami.

Sejak itu, seringkali dia kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa dan kakinya menjadi tak bisa berdiri. Aku pilu. Pilu. Aku benci biru. Tak ada lagi membiru. Yang ada hanyalah aku dan dia.

Estiku. Semua duniaku miliknya sekarang. Termasuk tubuhku.

---

‘Mom, pagi ini aku tak mau diantar ke sekolah. Aku mau jalan bersama teman-temanku’

‘mom yang antar’

‘tapi anak seusiaku selalu berjalan di pagi buta mom’

‘tidak denganmu dan cepat habiskan sarapanmu. Jangan lupa habiskan obatmu’, ungkapku sambil hilir mudik menyelesaikan masakanku.

Kulirik, raut mukanya cemberut saja. Dia tetap saja cantik. Rambut ikalnya selalu menemaninya dan kulitnya yang coklat bangir, selalu saja secerah biasanya. Kadang tak tega juga, aku dapat merasakannya. Sedari putingku dikecupnya, dia adalah perempuan bebas. Tapi sekarang terbelengu.

Kuhabiskan semua waktuku hanya untuknya. Kutinggalkan ayahnya yang memilih perempuan lain, karena melahirkan dia. Tak ada lagi biru sejak kala itu. Aku masuk ke kamar mandi dan sedikti terisak. Ingin sekali mengantarnya ke depan rumah dan menunggunya pulang dirumah saja.

‘sudah minum obatnya’

‘sudah mom. Ayoh kita ke sekolah mom, aku ada kelas piano pagi ini’

‘lets go’

Kusetir mobil dengan pelan hingga sampai di sekolahnya. Kuantar hingga sampai depan kelas dan aku seperti biasa, mengambil buku dan mulai membaca di tempat duduk. Seperti biasa. Kulihat bunyi piano dari tangan mungilnya berdenting. Menyanyikan sebuah lagu, you leave you learn, you laugh you learn, you cry you learn, you lose you learn, you bleed you learn, you sceam you learn....

Aku menyanyikan lagunya dan tersenyum simpul. Pada akhir lirik semua orang terkejut, dan berteriak.

Aku lari dan kulihat tubuhnya sudah mengejang. Kutenangkan dia dan kupeluk tubuh mungilnya. Beratus kali. Berkali kali kulakukan ini. Berkali kali pula aku tak ingin menangis dan semakin membeci biru.

‘pasti kau tak meminum obatmu’

‘owalah mom, aku ini juga manusia, bisa juga letih minum obat. Aku ingin menjadi biasa mom’

Berderai kali itu didepannya aku menangis. Ya, itu tubuhmu utuh. [ge]

Bengkulu, 11 November 2011.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline