Dua ratus jam lima puluh menit dan tiga puluh detik sudah aku lewatkan untuk menunggunya. Laki-laki gila yang aku tunggu ini bukan hanya seorang laki-laki seperti biasanya. Laki-laki dengan maskulinitasnya, kekuatan tubuhnya, atau rayuannya yang membuat perempuan jatuh hati ke pelukannya tidak lama kemudian.
Laki-laki ini adalah laki-laki biasa saja, yang kutemui tiga ratus enam puluh lima hari silam disebuah desa kecil bernama desa Harapan. Tangannya yang lincah dan geraknya yang luwes membuatku terkesima seperti mendapatkan durian runtuh seketika. Tentu saja aku selalu melihat setiap geraknya dengan penuh seksama, kadang tanpa berkedip sedikitpun. Laki-laki sungguh menggoda hatiku, bukan karena laki-laki seperti biasanya, tapi karena gerak yang luar biasa. Aku kebingungan melihat tingkahku sendiri pada hari itu, seperti aku terkoneksi olehnya, tapi selalu terkoneksi gagal karena tak ada respon sedikitpun kepadaku.
Matanya hanya bulat dan memandang ke banyak peserta pelatihan lainnya. Tentu saja kaum hawa juga kulihat terkesima sama olehnya. Tapi tak ada pandangan sedikitpun kepadaku. Aku sedikit merasa bersyukur karena aku bisa memandangnya dengan puas tanpa sedikitpun diketauinya. Tentu saja karena dia fasilitator dalam sebuah pelatihan dan aku seolah menjadi peserta yang sangat mendengarkannya. Sepertinya ini modus yang aku jalani karena dalam kondisi ini aku dapat menikmati setiap geraknya yang luwes tanpa harus malu jika dia memergokiku tiba-tiba. Hari pertama pelatihan aku sukses memandanginya dengan puas. Aku kembali kerumah dengan perasaan bahagia. Hari itu belum aku tau apakah statusnya, lajang, menikah ataukah duda? Mataku seperti sebuah emotion dengan simbol love dimataku. Tak peduli dulu tentang statusnya.
Waktu terus berjalan, aku terus menunggunya disini. Didalam kamarku sambil membolak-balik buku yang sebenarnya sudah aku baca berulang-ulang kali. Tentu saja sambil mataku melirik ke ponsel dan telingaku awas mendengar suara ponselku. Suara ponsel sudah aku paksakan pala volume suara paling keras, namun tak kunjung jua dia menelponku. Atau sekedar memberi kabar kepadaku.
Sudah hampir sepuluh hari aku bertingkah aneh seperti ini menunggunya. Tak jelas sebenarnya apa mauku kali ini, yang aku tau hanyalah kapan dia menelponku atau sekedar mengirimkan sms memberikan kabarnya. Karena waktuku bukan tidka lama lagi, tapi waktuku sangat terbatas. Aku hanya punya waktu lima bulan lagi sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi.
Akhirnya kuberanikan diri menelponnya. Kurencanakan setelah aku pulang dari mengantar ibu ke pasar, agar dijalan aku tidak merasa panik apapun yang kami bicarakan nanti. Aku bergegas masuk ke kamar dan menutup pintu kamar rapat-rapat dan aku berdoa kepada Tuhan agar dimudahkan percakapanku padanya. Kucari nomor teleponnya dan kupencet tombol menelpon. Suaranya sambungannya nyaring dan terdengar jelas. Setidaknya aku tau dari suara sambungannya dia sedang tidak berada di daerah sulit.
Akhirnya koneksi terputus karena tidak ada yang mengangkat. Kuberanikan diri menelponnya sekali lagi dan masih tersambung seperti panggilan yang pertama. Tanpa bebas gangguan, tapi tetap saja tak diangkatnya. Hatiku gundah gulana dan kebingungan, apakah dia tidak menyimpan nomorku lagi ataukah memang dia tidak ingin diganggu.
Aku pergi ke dapur dan akhirnya membantu ibu masak. Meleburkan hatiku dan membiarkan waktu cepat berlalu. Mungkin saja aku bisa mengobati semuanya ini dengan sendirinya, tanpa harus aku mengatakan sesuatu apapun.
‘tadi ayah bilang, keperluanmu sudah jadi, pasport, visa dan tiket sudah selesai semua’, kata ibu.
‘iya bu’, kataku datar.
‘hei, mengapa tak bersemangat?’, tanya ibu curiga kepadaku.
‘tak ada bu, aku terlalu gugup untuk jauh meninggalkan kalian dan hidup di negeri sebrang’, ujarku menutupi rasa hatiku.
Ibu tersenyum dan memelukku. Suasana jadi galau dan syahdu, kami berpelukan mesra. Seketika hujan turun deras sekali. Mungkin ini tanda-tandanya aku harus melupakannya dan memfokuskan diri pada study lanjutnku.
***
Aku sudah berjanji pada diriku untuk menghapus nomornya. Tak usah aku tunggu lagi ketidakpastian darinya. Sebagai seorang perempuan, aku merasa tak pantas menunggunya terlalu lama lantas menghubunginya terlalu sering. Cukup saja ketika aku harus bertanya sesuatu padanya ketika aku butuh jawaban darinya, dan itu biasanya tak akan keluar dari bahasan mengenai perfilman. Terlebih dia sangat paham akan bahasan mengenai film dokumenter.
Beberapa kali aku mencoba mengirimkan sms salah yang kukirim secara sengaja padanya. Tapi apa responnya? ‘dek kamu salah kirim ya?’, dan selalu berakhir dengan kalimat maaf dan tidak apa-apa. Selalu saja begitu.
‘Rani hujan, tolong ibu mengangkat jemuran’, teriak ibu membuyarkan lamunanku.
‘iya bu’, aku berteriak sambil membuka pintu kamar.
Aku bergegas kebelakang rumah dan membantu ibu mengangkat jemuran pakaian yang setengahnya sudah hampir kering semua. Beberapa detik lamgkahku masuk ke dalam rumah, hujan mengguyur dengan derasnya, tak menyisakan sedikitpun sisa halaman rumahku yang tak terguyur air. Sungguh deras dan seperti badai yang datang tiba-tiba. Aku merasa hujan seperti hatiku yang tiba-tiba basah karena menunggunya yang penuh dengan ketidakpastian.
Tiba-tiba suara ponselku bunyi, seperti suara sms. Kubuka dengan biasa saja. Setelah penantian yang cukup lama, hanya pertanyaan singkat yang dikirimkannya padaku.
‘Kemarin kamu telepon dek.
Maaf abang sedang di desa’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
13.30.31
Hatiku sebenarnya deg-degan dan kebingungan dengan apa yang kurasa saat ini. Bahagia ataukah harus bersedih hati. Aku berfikir sejenak, apakah aku harus membalasnya sekarang atau nanti. Atau aku harus menghubunginya lewat telepon. Aku mulai menuliskan beberapa kalimat untuk membalas smsnya.
‘iya bang, kemarin aku telpon’
Kupandang pandang dan kubaca berkali-kali kalimat singkat diatas. Apakah kalimat tersebut sudah tepat ataukah belum. Kuhapus kalimat diatas dan kuganti dengan jawaban yang lebih tepat.
‘Iya bang, aku ingin bertanya tentang budaya Tionghoa, aku tertarik membuat dokumenternya’.
Kupandang lagi kalimat yang kususun tersebut. Tapi aku masih belum sreg, aku takut seperti biasanya kami akan membahas masalah film dan berkutat seputar film saja. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku merindukannya, aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama dan maukah kamu menungguku. Titik hanya itu saja.
Apakah itu pantas? Aku serasa mati rasa akhir-akhir ini, aku tak bisa menyimpan semua yang aku rasakan kali ini. Setidaknya ketika aku pergi melanjutkan studyku, aku akan meninggalkannya dengan perasaan tenang. Aku tidak hanya terfokus padanya dan membuang waktuku lagi hanya untuk menunggu ketidakpastiannya.
Terakhir sekali dia menawarkan aku tiket gratis Bali Bengkulu untukku pada ulang tahunku yang ke 22 lalu, itu sekitar delapan bulan yang lalu dan aku menolaknya karena aku tak bisa berpergian tanpa tujuan jelas dan sendiri pula. Aku tau ayah akan memarahiku karena tidak fokus akan pendidikanku.
Aku menggaruk-garuk kepala. Aku rasa urusan cinta lebih sulit ketimbang aku harus repot menulis naskah cerita film, membongkar plot dan mengaturnya dalam alur-alur yang rapi. Belum lagi urusan hati ini lebih repot dari pada aku harus bolak-balik kampus bimbingan untuk menyelesaikan skripsi dan studi akhir di kampus.
Ingin rasanya bercerita pada ibu, tapi aku malu. Ingin rasanya mengatakan pada ayah untuk menunda keberangkatanku bila nantinya aku belum mengatakan pada abang semua perasaanku tapi aku tak kuasa. Aku kehabisan cara mengungkapkannya, aku kehabisan akal untuk mencoba merayunya atau apalah.
Aku tak bisa merayunya tentu saja. Aku tak bisa bersikap manis padanya tentu saja itu benar. Sehingga aku selalu kalah menarik dengan beberapa teman perempuannya yang pastinya lebih smart dan lebih punya kelebihan fisik daripada aku.
Hujan semakin deras dan aku semakin menahan hatiku. Sudah hampir setengah jam dari sms abang yang masuk ke ponselku. Akhirnya aku putuskan mengetik kalimat pertama yang kurasa lebih dari cocok.
‘iya bang, kemarin aku telepon’
Recipient : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.08.31
Sent. Message sent.
Akhirnya terkirim juga. Aku mulai was-was lagi menunggu balasannya. Aku yakin perempuan yang sedang jatuh cinta dimanapun akan selalu memikirkan jawaban sms seorang laki-laki yang dicintainya. Suara sms kembali masuk dan aku dengan tergesa meraih ponselku. Kubuka segera, ternyata bukan dari abang melainkan teman kampusku menanyakan apakah aku akan pergi dalam diskusi Jumatan sore nanti.
Aku tak berminat membalasnya, aku lebih berminat menunggu sms balasan dari mas. Kubuka lagi sent items, kubaca lagi kalimat yang kukirimkan padanya agar aku yakin itu kalimat yang sangat pantas untuknya. Ataukah dia akan sedikit malas membaca smsku. Pesan dari abang masuk lagi.
‘ada apa dek? Aku melihat teleponmu dua kali.
Aku sedang dijalan waktu telponmu masuk?’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.10.31
Glek, aku merasa disambar geledek mendapatkan smsnya. Apa yang akan aku balas, aku mondar-mandir di kamarku dan aku kebingungan. Aku menutup mukaku dengan bantal dan aku mulai berkeringat dingin. Rasanya ingin kutelpon ayah dan ingin kukatakan aku ingin dilamar olehnya.
Apa yang harus aku jawab, apa yang harus aku katakan. Hujan semakin deras dan aku ingin berteriak kencang. Aku menghidupkan musik dan kusempal headset ke telingaku. Kuputar lagu-lagu Alanis Morisette dan kukencangkan volume suaranya. Sungguh ingin aku teriakan lantunan lagu-lagu ini.
Aku tersadar, dalam keadaan seperti ini aku harus menyelesaikan masalahku. Aku tak ingin terkurung dikamarku karena cinta yang tak diungkapkan.
‘aku hanya ingin bilang, aku akan sekolah ke Belanda tiga bulan lagi’
Recipient : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.30.31
Sent. Message sent.
Tak lama kemudian sms dari abang kembali masuk.
‘itu meminta pamit kan? Bukan meminta izin.
Toh abang yakin itu tidak merubah keputusanmu.
Selamat’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.32.01
Jantungku berdegup kencang. Ternyata abang punya perhatian yang sangat besar kepadaku. Aku termenung dan membaca sms yang abang kirim terakhir. Kuberanikan diri menulis kembali apa yang sedang aku pikirkan tanpa mengulangnya.
‘sebanrnya dari dulu aku ingin bertanya.
Apakah abang akan membawaku ke tempat yang sama?’
Recipient : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.34.22
Balasan sms dari abang masuk lagi secepat kilat.
‘dari semua smsmu abang yakin kamu menyayangiku dek.
Tapi aku tidak pernah dilibatkan dalam keputusan penting hidupmu’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.35.22
Aku membacanya dengan penuh kegetiran. Sungguh ingin aku berlari mengerumuni hujan dan memeluknya dan kukatakan bahwa pada titik ini aku sangat menyesal. Aku terlalu kaku dan terus berpikir ulang. Aku segera mengetik sms balasan, aku tak berpikir ulang. Aku hanya berjalan mendekati jendela dan ingin merasakan percikan hujan masuk melalu jendela kamarku.
‘aku bingung dengan sikapmu sejak pertama bertemu.
Setidaknya sekarang aku mengatakannya bang’
Recipient : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.37.00
‘aku tidak menyangka
kamu mengambil keputusan secepat itu.
Seharusnya kamu tau dari pertama kita bertemu’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.39.02
‘aku tidak merasa menjadi bagian penting
dalam hidupmu’
Recipient : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.39.59
‘jika kamu tidak penting
tak akan pernah kubalas smsmu dek.
Bahkan sekarang aku sedang mengajar’
Sender : Abang
0812345678910
Sent :
13 Feb 2013
14.39.02
Aku tak membalas lagi sms abang. Aku menangis sejadi-jadinya ditemani hujan yang masih turun mendera. Menemaniku, mungkin Tuhan tau bahwa perasaanku sesedih hatiku. Aku tidak keluar kamar sampai malam. Ayah dan ibu hanya mengetok pintu dan aku tidak berminat keluar. Aku hanya melongokkan kepalaku dan bilang aku ada deadline nulis naskah film, akhirnya ayah dan ibu bisa mengerti.
Kulihat jam didinding kamarku, mereka beradu berdetak-detak dan tau bahwa aku hanya menunggu waktu. Aku memandangi suasana kamar mungilku. Lemari pakaian, cat bewarna ungu, boneka-boneka masa kecil yang tertumpuk rapi tumpukan sepatu koleksiku, tumpukan buku-buku yang separuhnya berantakan dimeja belajar dan semua aksesoris yang tergantung di dinding. Mereka malam ini seakan menertawakan keadaanku. Mereka bersiul dan saling bersautan menyuruhku melakukan sesuatu.
Aku letih, aku tidur dengan hujan deras malam yang mulai mereda. Kudengar sayup-sayup ayah membuka pintu, menarikkan selimut untukku.
***
Aku terbangun pukul tiga dinihari. Sungguh suasana masih terlalu pagi untuk bangun, tapi mataku tidak dapat terpejam lagi. Aku mengambil beberapa novel yang belum kubaca. Namun pikiranku tidak dapat fokus pada satu titik. Pikiranku melayang entah kemana. Sengaja tak kucari ponselku seperti biasanya setiap bangun pagi ketika aku selalu mencarinya.
Aku harus fokus memikirkan studyku tiga bulan kedepan. Sebelum aku sampai disana, aku harus sudah menyelesaikan sebuah karya ilmiah. Tentu saja ini akan menguras banyak waktuku. Setidaknya aku cukup berdoa saja hari ini indah dan cepat melupakan abang.
Abang calling..... abang calling.... abang calling...
Aku kebingungan mengapa tiba-tiba akhirnya dia menelponku. Laki-laki tak biasa yang aku tunggu teleponnya sepuluh hari lalu dan menelponku dipagi buta. Apakah aku pantas mengangkat teleponnya dipagi buta. Apakah dia akan berfikir aku benar-benar menyukainya. Oh Tuhan, dimana harga diriku. Bagaimana ini. Tapi mungkin saja abang dalam keadaan darurat hingga harus menelponku pada jam-jam segini. Kuraih dengan tergesa ponselku, kali ini pikiran terakhirku yang membuatku luluh lantah.
‘ya, assalamualaikum’, ujarku pelan mencoba menahan perasaanku.
‘kamu sudah bangun dek?’, kata abang pelan pula.
‘kebetulan aku tidur cepet mas’, kataku datar.
‘kapan kamu berangkat?’, tanyanya langsung.
‘kemungkinan pertengahan Juni bang’, ujarku.
‘kamu ambil study apa?’, tanyanya lagi.
‘aku mengambil perfilman bang’, jawabku datar.
‘negara mana dek?’, tanyanya.
‘Belanda mas’, jawabku datar.
Kami terdiam, ada kekakuan diantara kami berdua. Walaupun hanya melalui telepon aku merasa sedang berhadapan langsung dengannya. Aku merasa dia sedang berada dekat didepanku.
‘kamu kenapa kok smsmnya gitu tadi?’, tanya abang membuyarkan lamunanku.
‘aku berencana menetap disana mas, bersama ayah dan ibu’, kataku jujur.
‘kenapa kamu baru bilang sakarang? Itu bukan meminta pendapatku kan? Tapi memohon izin untuk pindah’, suara abang melemah disana.
Kurasakan getir yang menyelimuti keadaan kami berdua. Entah, yang kurasa hanyalah aku telah jatuh cinta padanya.
‘aku menunggu itu satu tahun lebih bang’, ujarku peluh.
‘seharusnya sejak dari awal kamu tau dek, mas ingin ke tempat yang sama denganmu’, ujarnya datar.
‘apakah saat ini masih tidak mungkin?’, pertanyaannya menusuk jantungku.
Aku serasa mati, aku dilamar olehnya, seketika dan menjawab semua kegundahanku selama ini.
‘masih aku ingat, tengkukmu yang jenjang ketika kau pertama kali mengikatkan rambutmu tinggi-tinggi, tawamu yang renyah, matamu yang tajam’, ujarnya merayu.
Aku masih saja terdiam ditempatku. Cicak-cicak di dinding tolong tampar aku, apakah aku sedang bermimpi. Tolong berdecak kuat-kuat supaya indra pendengaranku tidak salah mendengar.
‘dek..’, panggilnya.
‘ya bang. Aku bingung memulainya dari mana bang’, ujarku.
Tuhan tolong aku, mengapa harus saat ini.
‘maaf bang, aku dilamar beberapa hari lalu’, akhirnya aku menceritakannya dengan plong.
Kami terdiam. Suasana haru memendam dalam hati kami masing-masing, aku dilamar dan seketika pula aku harus menjatuhnya dengan telak. Skak matt.
‘itu tidak dapat dirubah lagikah?’, tanyanya pilu.
‘aku sudah menunggumu bang beberapa waktu, tapi akhirnya aku mengambil jalan ini untuk kesehatan ibu’, ujarku pilu.
‘mengapa kau tidak mengatakannya sejak awal’, tanyanya mencercaku.
‘aku tidak diberi pilihan olehmu mas, tak sedikitpun’, ujarku.
‘satu langkah aku tertinggal olehmu dan kau sudah memutuskan keputusan penting dalam hidupmu’, katanya sendu.
‘maafkan aku mas’, aku tak bisa berkata-kata.
‘seandainya kamu bisa merubah keputusanmu dek’, katanya datar.
‘ibu sakit mas, ibu ingin kembali ke Belanda dan ingin dikebumikan disana’, ujarku sendu ingat ibu.
‘kenapa kau tidak menceritakan mengenai ibu?’, ujarnya.
‘aku bingung memulainya dari mana bang’, kataku dengan air mata yang tak tertahan ingin tumpah.
‘menangislah selagi kau bisa’, katanya.
‘ibu ingin aku segera menikah bang, setidaknya ada yang menjagaku kelak. Mereka ingin berpergian ketika sampai di Belanda. Mereka ingin mengenang sejarah mereka dulu. Sedangkan kondisi kesehatanku tidak memungkinkan mas. Sedangkan kamu aku tau mas, kariermu sedang bagus dan kamu punya kehidupan yang belum bisa aku ikuti’, ujarku.
‘setidaknya kamu bisa membiarkanku menjagamu, memberiku pilihan pula dek’, katanya pilu.
‘jika aku bisa merubah waktu bang, sepuluh hari kebelakang saja, sebelum keputusan besar ini kuambil. Apa yang akan kamu lakukan?’, tanyaku ingin mengetahui perasaannya.
Abang berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam dari yang kudengar diponsel.
‘dulu aku berfikir, aku harus memboyongmu tinggal denganku bila kita menikah dek. Sedangkan kamu harus menjaga ibumu. Aku berfikir aku juga harus memboyong ibumu, sedangkan pekerjaanku yang seperti ini membuatku tidak percaya diri. Atau pilihannya aku harus bekerja lebih ekstra dan membiarkanmu bisa bolak balik rutin mengunjungi ibumu’, ujar abang panjang lebar.
‘sebegitu jauhnya bang kamu berfikir?’, kataku terkejut dengan semua yang diceritakan oleh abang.
‘aku tidak akan membiarkanmu bekerja keras, aku ingin kamu mengembangkan cita-citamu menjadi sutradara film dan menjaga anak-anakku. Karena aku yakin, dipangkuan seorang perempuan hebat anak-anakku kelak akan menjadi hebat’, ujarnya.
Aku menangis tersedu-sedu, aku tak kuasa menahan perasaanku lagi. Jika dia berada didekatku pasti saja aku sudah sedari tadi memelukknya dengan erat. Tuhan salahkah aku kali ini.
‘keputusan besar itu telah kamu buat dek. Aku sebagai abangmu hanya bisa mendukungmu. Setidaknya aku pernah tau, bahwa ada perempuan hebat yang selalu menantiku dan mencintaiku dengan tulus setahun ini’, ujar abang.
‘maafkan aku bang, aku terlalu ego’, ujarku.
‘maafkan abang juga karena selama ini abang teralu santai dengan hidup ini’, ujarnya.
Hujan seketika luruh lagi. Hatiku berkecamuk. Kami bisu untuk beberapa saat dan tentu saja hatiku hancur Tuhan. Dia laki-laki dalam doaku sepanjang malam, dia laki-laki dalam lamunanku, dia laki-laki yang ingin aku menjadi makmumnya.
‘apakah laki-laki yang akan menjagamu itu baik?’, tanyanya membuyarkan kebisuan kami.
‘setidaknya aku mengenalnya sudah jauh bang, aku mengenalnya dengan baik pula’, ujarku menyakinkannya.
‘aku yakin dia akan menjagamu dan menjaga kalian nantinya. Aku hanya berharap kamu tetap seperti Maharani yang aku kenal dahulu’, ujarnya yakin.
‘setidaknya kamu pula harus memikirkan hidupmu bang, aku tak ingin kita memutuskan silahturahmi antara kita bang’, kataku menutupi perasaanku.
‘tidak, bagaimanapun kamu perempuan yang tak akan pernah kulupa. Tengkuk jenjangmu, rambutmu, matamu, semuanya yang ada padamu tak akan pernah aku lupakan’, ujarnya.
Aku menarik nafas panjang mendnegar setiap kata-katanya. Masih kuseka air mata yang semakin turun. Laki-laki ini memang membuatku luruh lantah ke dasar lautan paling dalam.
‘bisakah kita bertemu untuk terakhir kalinya dek?’, tanyanya kepadaku.
‘aku mengharapkan itu juga mas’, kataku sambil terus menyeka air mataku.
‘aku akan menemui secepatnya, sepulang aku dari Bali. Kamu harus mengatur waktumu’, ujarnya yakin.
‘iya mas’, kataku kebingungan apa yang bisa aku lakukan.
Kami mengakhiri percakapan kami dan aku terlelap tidur di subuh buta. Tentu saja mataku sembab waktu bangun. Ibu dan ayah hanya keheranan melihatku.
***
Hujan deras menghuyur dua minggu terakhir ini. Disertai badai yang terus melanda. Aku masih berkutat dengan karya ilmiahku, masih mencari bahan-bahan di internet saja. membaca beberapa referensi dan sesekali menonton film-film dokumenter. Ibu terlihat mulai membaik dari akhir-akhir ini setelah mengetahui aku akan menikah sebentar lagi, terlebih dia akan kembali ke Belanda tempatnya dibesarkan.
Sedangkan ayah masih tetap setiap pagi mengurus bunga-bunga di halaman rumah dan merawat beberapa ternak di belakang rumah sebelum pergi bekerja. Tiba-tiba suatu telepon dari abang memanggil. Langsung kuraih ponsel dan mengangkat teleponnya.
‘ya assalamualaikum’, ujarku.
‘walaikumsalam. Nak ini nomer Maharani?’, tanyanya.
Aku kebingungan ini ponsel abang, tapi yang menelpon orang lain.
‘iya pak ini Maharani’, kataku.
‘maaf mengganggu, saya ayahnya Agung. Maaf saya baru sempat menelpon. Agung berwasiat untuk mengabari kepergiannya setelah 40 hari kematiannya padamu nak Rani’, ujar ayahnya.
Aku terkejut, abang sudah meninggal 40 hari lamanya. Aku menangis, luruh lantak. Hujan seketika luruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H