Lihat ke Halaman Asli

Kritik Sosial Lewat Pameran Desain

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

* dimuat di Kompas edisi Selasa, 19 Juni 2012

Sampah visual menjadi menarik ketika kita berbicara tentang iklan. Di sepanjang jalan, di sudut-sudut perkotaan, ataupun di pohon yang rindang, kita bisa menemukan iklan luar ruang. Bukannya memperindah pemandangan, reklame sering kali justru memberikan kesan kumuh, kotor.

Banyaknya sampah visual menggerakkan hati dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (DKV ISI), Yogyakarta, bersama mahasiswa untuk menggelar Reresik Sampah Visual, pada Sabtu (19/5) lalu.

“Sampah visual merupakan istilah untuk iklan luar ruang yang ditempatkan tidak sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, iklan luar ruang yang tidak membayar pajak, dipakukan secara ngawur di pohon, ditempelkan serampangan di tembok rumah, ruang publik, bahkan di ruang terbuka hijau dan taman kota,” kata Sumbo Tinarbuko, dosen DKV ISI.

Ketua panitia acara Reresik Sampah Visual, Bagus Wahyu Ramadhan, mengatakan, sampah visual yang dibersihkan difokuskan pada iklan luar ruang yang dipakukan, ditempel, diikatkan di batang pohon, tiang listrik, atau telepon.

Rute kegiatan ini dimulai dari pintu gerbang ISI Yogyakarta, Jalan Parangtritis,ke arah utara sampai perempatan Jalan Ringroad Selatan, lalu menuju Jalan Bantul terus ke selatan, sampai Pasar Niten ke timur, dan berakhir di kampus ISI Yogyakarta.

Kegiatan ini dibuka Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Pengurus Daerah DIY, drg. Eddy Purdjanto.Ia berharap kegiatan ini bisa menjadi self-critic bagi industri periklanan.

“Saya berharap aktivitas ini dapat melecut semangat mahasiswa desain komunikasi visual untuk sejak dini mengkritik masalah sampah visual,” ujar Eddy.

Aksi diikuti 60 mahasiswa DKV menggunakan kaus bertuliskan Reresik Sampah Visual sebagai seragam. Keunikan aksi simpatik ini adalah mereka naik sepeda onthel sambil membersihkan reklame yang mengotori pohon, tembok, dan taman kota.

Mereka membekali diri dengan alat pertukangan, seperti palu, tang, gunting, dan obeng yang dijadikan “senjata mereka” untuk membersihkan sampah visual tersebut.

“Reresik Sampah Visual sebenarnya merupakan bagian dari pameran tugas akhir mata kuliah DKV di lingkungan ISI Yogyakarta,” kata Sumbo. Pameran itu berlangsung pada 25-27 Mei 2012 di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, dengan tema “DKV Bergerak: Menuju Visual Berkeadilan”.

Rasa Keadilan

Tentang tema pameran tersebut, Sumbo mengatakan, ini didasari pemikiran rasa keadilan di antara umat manusia di Tanah Air sudah memudar.

“Kami berharap mahasiswa mampu mengasah kepekaan hatinya pada kondisi tersebut. Mahasiswa diharapkan memiliki kepedulian untuk mengedepankan keseimbangan masalah hak dan keadilan setiap manusia. Kepekaan itu diimoplementasikan antara lain dalam wujud karya desain komunikasi visual dengan mengombinasikan unsur pesan verbal dan pesan visual,” kata Sumbo.

Pameran ini memajang 25 karya audio visual dari 80 mahasiswa DKV ISI Yogyakarta. Selain itu, dibuat juga 100 karya desain komunikasi visual yang disajikan dalam bentuk cetak, di antaranya berupa iklan layanan masyarakat, poster sosial, desain kaus, dan media penuniang lainnya.

Selain pameran, diselenggarakan pula acara berbagi ide kreatif dengan narasumber Iwan Esjepe dan Indah Esjepe, pendiri indonesiabertindak.com.

Indonesia Bertindak menurut Iwan, adalah gerakan yang dalam perjalanannya mengajak manusia Indonesia untuk peduli kepada sesama manusia di lingkungannya.

"Kami berkarya lewat kampanye sosial untuk mengajak manusia peduli terhadap sesamanya, dan mencintai lingkungan tempatnya tinggal antara lain lewat kaus, tas, dan stiker," katanya.

Ada pula sesi berbagi yang dipaparkan mahasiswa peserta pameran #DKVBergerak, dari kelompok Origami. Mereka menjelaskan cara membuat karya audio visual dengan budget terbatas, tetapi berdampak besar.

"Ini kami terapkan saat membuat karya dengan pendekatan stop motion," kata Wana, personel kelompok Origami yang juga terlibat dalam pameran ini.

Bagus menambahkan, pameran ini juga merupakan bentuk demonstrasi kreatif ala mahasiswa desain komunikasi visual yang disajikan secara santun, unik, dan komunikatif, tanpa melibatkan unsur anarkisme.

Ervans, mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, mengatakan, "Acara ini tidak sekedar berkoar-koar saja, tetapi merupakan aksi nyata yang kreatif dan komunikatif."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline