Lihat ke Halaman Asli

Hidup dalam Globalisasi: Mari "Empowering Our Self and Society"!

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Globalisasi dapat dilihat sebagai sebuah proses pertumbuhan yang bersifat multidimensi dan multibentuk melalui keterhubungan antar negara dan antar individu di seluruh dunia. Proses globalisasi terjadi dalam segala aspek kehidupan seperti aspek ekonomi, budaya, dan sosialpolitik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi merupakan bagian dalam proses globalisasi yang memungkinkan terbentuknya jejaringan manusia modern dalam networking. Kemampuan manusia untuk memperoleh informasi dalam waktu yang cepat serta kemampuan informasi tersebut tersebar keberbagai penjuru dunia, ternyata mempengaruhi perkembangan civil society. Isu-isu dalam suatu negara dapat memicu reaksi di negara lain. Reaksi inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penting dalam dinamika konstelasi global. Film dokumenter yang berjudul “The New Rules of The World” karya John Pilger menunjukan bagaimana dampak globalisasi terhadap kehidupan dan kesejahretaan di Indonesia serta menunjukan bahwa dampak globalisasi tersebut ternyata menimbulkan reaksi masyarakat atau kelompok-kelompok diluar batas wilayah kedaulatan Indonesia atau yang kita kenal dengan dunia internasional.

Proses globalisasi dalam sektor ekonomi dapat kita lihat melalui pertumbuhan angka perdagangan, pergerakan mata uang, investasi global dan produksi yang melibatkan regulasi, standarisasi, dan eksistensi kelembagaan. Tenaga kerja murah, kemudahan investasi dan transportasi, liberalisi perdagangan, serta bebasnya aliran modal mampu memobilisir pertumbuhan ekonomi dunia secara global. Apabila negara dunia pertama adalah negara yang memiliki modal dan menguasai teknologi tetapi miskin sumber daya alam, sedangkan negara dunia ketiga adalah negara yang memiliki sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi, maka akan terjadi pengintegrasian dari perekonomian nasional menjadi sebuah sistem ekonomi global yang dilakukan oleh negara dunia pertama. Aliran modal, teknologi, tenaga kerja hingga komoditas akan bebas bergerak melampaui batas negara. Pergerakan itu disebut sebagai sebuah proses dari globalisasi.

Pelaku pasar dunia melakukan kolaborasi aktif dengan pihak-pihak lain dengan tujuan membakukan (fixing) globalisasi secara mondial di mana pemerintah tidak lagi merujuk pada posisi administratif dan supervisi melainkan telah menjadi penjual atau pembeli dalam konstelasi pasar kompetitif. Proses ini memacu individu berinvestasi dalam ragam bisnis, memperoleh tingkat suku bunga yang lebih murah dari sebelumnya, serta berbagi risiko dengan individu atau lembaga lain. Perkembangan dramatis dalam sektor finansial dunia semakin kuat karena keikutsertaan pihak luar, seperti pemerintah dan lembaga internasional. Struktur pasar global yang selama ini menjadi prerogatif individu dan perusahaan multinasional mengalami perubahan signifikan karena selain masuknya pemerintah (nationstate) dan lembaga internasional juga mengakibatkan posisi individu dan perusahaan multinasional menjadi dominan. Kenichi Ohmae berpendapat bahwa memudarnya peran negara-bangsa dalam konstelasi perdagangan dunia tidak sepenuhnya benar benar. Peran negara-bangsa bahkan semakin dominan dari masa sebelumnya karena perkembangan teknologi membuat masyarakat dunia terjaring dalam suatu networking bisnis tanpa batas geografis dan teritorial. Negara-bangsa bekerja sama dengan lembaga internasional, perusahaan multinasional, dan individu saling bahu membahu memfiksasikan wacana globalisasi secara sistematis. George Soros dengan Quantum Fund-nya sanggup merekayasa dan mengguncang pasar dunia melalui spekulasi perdagangan valas. Maka keputusan individu sering memiliki implikasi global berkenaan dengan dinamika dan akselerasi struktur pasar finansial.

Film dokumenter karya John Pilger yang berjudul “The New Rules of The World” memaparkan bagaimana dampak globalisasi terhadap negara dunia ketiga yang bagi para penganutnya diyakini akan menciptakan kesejahteraan yang merata dan mengurangi pengangguran. Akan tetapi, dampak positif tersebut tidak sepenuhnya terjadi di banyak negara dan khususnya Indonesia. Globalisasi malah mempercepat proses pemiskinan dan menciptakan banyak penindasan. Film ini memperlihatkan bagaimana kondisi buruh yang bekerja di pabrik-pabrik perusahaan multinasional seperti Nike dan GAP dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak teratur, dan kondisi tempat kerja yang mengenaskan, dipaksa untuk terus bekerja dan seakan tidak punya pilihan lain selain terus melakukan apa yang diperintahkan oleh atasan mereka di pabrik. Film ini memperlihatkan jelas bagaimana kondisi tempat tinggal para buruh yang kumuh dan bagaimana mereka harus bisa menyiasati upah mereka agar mencukupi kebutuhan keluarganya dengan cara mengurangi porsi makan dan tingkat gizi.

Dalam film ini, John Pilger menemui Nicholas Stern, pimpinan ekonom dari Bank Dunia untuk melakukan wawancara mengenai bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya proses globalisasi. Pada bagian ini bisa dilihat bahwa apa yang diramalkan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan itu salah. Pada kenyataannya, hal tersebut malah menimbulkan kemiskinan melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain itu, John Pilger juga melakukan wawancara kepada Stanley Fischer, wakil direktur IMF. Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh 17 juta orang Indonesia itu dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Dari film ini, terungkaplah bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.

Dari film ini, bukan hanya dampak negatif globalisasi terhadap suatu negara, tetapi kita juga bisa menyaksikan bagaimana globalisasi dapat membentuk suatu jejaring sosial dan solidaritas internasional. Film ini di tutup oleh liputan aksi dari gerakan anti globalisasi di seattle untuk menghambat pertemuan World Trade Organization (WTO), dan aksi mayday di London yang bagi Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang sekaligus pimpinan partai buruh, disebut sebagai aksi turun ke jalan untuk “tujuan Palsu”. Gelombang menentang globalisasi yang tidak pernah diberitakan oleh media massa telah terjadi di banyak negara. Di Seattle banyak aktivis menyaksikan untuk pertama kalinya, kaum buruh tampil sebagai sebuah kekuatan dalam perjuangan sosial. ahkan para aktivis dari Eropa, yang memang pernah menyaksikan kaum buruh ikut aksi protes politik, masih cenderung melihat mereka sebagai sebuah lapisan “aristokratik” (labour aristocracy) yang ikut beruntung dari eksploitasi dunia ketiga. Namun di Seattle para serikat buruh Amerika ikut berdemonstrasi. Tiba-tiba para aktivis mulai sadar bahwa perjuangan melawan PHK dan melawan “efisiensi” kapitalis di barat bisa digabungkan dengan perjuangan melawan kemiskinan di dunia ketiga dan pengrusakan lingkungan alam.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Hal inilah yang membuat perubahan perilaku komunitas-komunitas yang telah ada. Mereka tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat ekslusif, tetapi mereka berusaha menunjukan bahwa komunitas mereka membawa sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Indonesia pada era reformasi, hadir dengan eforia demokrasi yang hanya bersifat instrumental. Negara ini memiliki berbagai instrumen demokrasi seperti pemilihan umum, pembagian kekuasaan, berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat sipil, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dinamika politik yang terjadi menunjukan bahwa substansi demokrasi belum tercipta dengan sempurna. Partai politik yang seharusnya membawa artikulasi masyarakat Indonesia banyak yang hanya sampai pada membawa kepentingan partainya. Berbagai ormas dan LSM yang diharapkan menjadi sarana membangun civil society ternyata banyak digunakan untuk kepentingan politik praktis. Fenomena-fenomena tersebut kemudian membuat masyarakat sipil memilih untuk empowering diri mereka sendiri untuk memperjuangkan hidup mereka.

Anthony Giddens, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984, hlm: 182-183.

Kenichi Ohmae, The End of Nation-State: The Rise of Regional Economies, New York: The Free Press, 1995.

Anthony Giddens. The Third Way: The Renewal of Social Democracy, Cambridge: Polity Press, 1998,

hlm. 35

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline