Lihat ke Halaman Asli

Angger DwiLukito

Mahasiswa Aktif Institut Teknologi PLN

Energi Surya: Tingginya Nilai Investasi Penghambat Transisi Energi

Diperbarui: 20 Februari 2022   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Bahan ajar pengenalan energi surya dan industri PLTS Indonesia oleh Tim Gerilya 

Energi Surya adalah sumber utama energi atmosfer yang penyebarannya di seluruh muka bumi merupakan pengendalian yang besar terhadap cuaca dari iklim, selain berpengaruh terhadap tanaman dan binatang. Energi Surya menjadi salah satu energi yang masuk kedalam kategori Energi Baru Terbarukan (EBT). Mengapa EBT?, karena EBT merupakan energi yang berasal dari sumber daya alam dan tidak akan habis karena terbentuk dari proses alam yang berkelanjutan. Dan jika melihat penjelasan tersebut, energi surya memenuhi syarat untuk masuk ke dalam kategori EBT.

Energi surya juga merupakan energi primer, yaitu energi pokok atau utama semisal di proses maka akan menghasilkan energi final. Energi surya semisal diproses dapat menjadi energi final yaitu berupa listrik. Seperti yang kita ketahui, listrik merupakan salah satu energi final yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak peralatan yang membutuhkan listrik untuk dapat beroperasi atau berfungsi dengan seharusnya. Contoh pemanfaatan listrik dikehidupan sehari-hari bisa digunakan sebagai penggerak, pemanas, pencahayaan, dan lain-lain. Oleh karena itu manusia sangat membutuhkan listrik untuk mempermudah kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Energi listrik berasal dari proses yang disebut pembangkitan, dalam proses pembangkitan energi listrik membutuhkan energi primer. Energi primer yang biasa digunakan pada tahun 2022 ini adalah minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Energi tersebut merupakan energi tidak terbarukan atau energi fosil, yaitu sumber daya yang diambil dari alam dimana proses pembentukannya membutuhkan waktu selama jutaan tahun lamanya dan dapat habis sewaktu-waktu.

Selain proses pembentukanya yang lama dan dapat habis sewaktu-waktu, energi fosil ini semisal digunakan sebagai energi primer untuk pembangkitan listrik memiliki dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Sebagai contoh dampak buruknya, pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil ini menghasilkan emisi yang dapat mencemari udara. Jika udara sudah tidak baik maka akan berdampak bagi kesehatan manusia. Selain emisi, pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil juga menghasilkan limbah, limbah ini dapat mempengaruhi kualitas air dan tanah.

Maka dari itu harus menggunakan energi primer yang tidak terlalu memberikan dampak buruk bagi kita untuk menghasilkan energi listrik. Dari sekian banyak jenis EBT yang ada, energi surya adalah energi yang potensinya besar untuk dimanfaatkan sebagai energi primer untuk menghasilkan listrik . Mengingat penggunaan energi surya tidak menimbulkan dampak buruk berupa emisi dan menghasilkan limbah yang dapat merusak lingkungan. Pembangkit listrik dengan menggunakan energi primer surya dinamakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

PLTS memang tidak banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan, mulai dari tidak menyebabkan emisi dan limbah ketika dalam proses pengkonversian energi, yaitu pengkonversian energi surya menjadi listrik. Namun ada sedikit permasalahan dalam pemanfaatan energi surya ini untuk menghasilkan listrik.

Permasalahan pertama adalah biaya yang diperlukan untuk penggunaan energi surya ini untuk menghasilkan listrik. Jumlah biaya yang diperlukan pada tahun 2022 ini untuk memanfaatkan energi surya ini masih dibilang tinggi, mengingat semua komponen yang diperlukan untuk memanfaatkan energi surya ini mayoritas diimpor.

Karena tidak banyak perusahaan di Indonesia yang dapat membuat komponen tersebut. Karena biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan komponen tersebut tidak hanya menghitung biaya pembelian komponen tapi juga menghitung biaya pengiriman, pajak, dan biaya lainnya. Hal ini yang menyebabkan tingginya nilai investasi.

Permasalahan kedua adalah nilai tarif listrik per kWh yang dihasilkan oleh PLTS masih terlalu tinggi. Pada data 5 tahun terakhir, biaya minimal per kWhnya sebesar Rp855,00 dan biaya maksimal sebesar Rp3.625,00. Jika dibandingkan dengan biaya per kWh pembangkit dengan sumber EBT lain, misalnya panas bumi, angin, dan air. Biaya per kWh dari sumber EBT panas bumi, angin, dan air lebih rendah dibanding energi surya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline