Lihat ke Halaman Asli

Selaksa Asa di Bawah Tudungan Gemintang

Diperbarui: 26 Oktober 2021   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara jangkrik dan burung hantu dengan penerangan seadanya dari dewi malam menemani Langkah amir malam ini. Hari ini sekaligus menjadi hari terakhirnya mendapatkan gaji bulanan dari tempatnya bekerja karena kondisi keuangan tempat amir bekerja yang terus menurun dan berujung pengurangan karyawan.

Amir tak sendiri. Ia Bersama Dayat yang kini juga tengah meratapi nasib. Terbiasa mengais nafkah bersama selama empat tahun terakhir membuat layaknya saudara serahim.

"Kalau saja aku memilih tawaran kawanku ke seberang waktu itu, mungkin hari ini aku masih duduk santai tanpa memikirkan uang beras mamakku besok pagi," gerutu Dayat sambil melemparkan sebuah kerikil.

"Kalau saja kau menerima tawaran kawanmu, entah sampai kapan mamakmu akan menunggumu. Bisa saja kau ditahan aparat di seberang sana karena tidak memiliki paspor. Sudahlah kawan! Jauh jauh hari Tuhan sudah tuliskan takdir untukmu," sahut Amir sembari tangannya sibuk menghitung pesangon dari sang tuan yang membuat raut mukanya semakin layu.

"Lalu, mau apa sekarang ? SPP mu harus dibayar minggu depan kan?" tanya Dayat. Amir pun hanya sanggup bergeming, lidahnya terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan Dayat. Kenyataan bahwa ia hanya membawa uang pesangon sebagai gaji terakhir sangat menyayat baginya.

Rumah gubuk Amiir dan Dayat masik berjarak satu kilo dari warung Bang Bonar di perempatan. Rasa lapar yang cukup menyiksa membelokkan langkah mereka ke warung itu. Di dalam warung tersebut terdapat dua pemuda berkemeja biru dan merah tengah menyeruput kopinya.

"Bang Bonar Kopi satu!" seru Amir. Tangannya menyomot sebungkus nasi uduk di meja. Ia bagi nasi itu menjadi dua bagian beserta lauknya yang juga dibagi dua.

"Separuh separuh ya boy,' kata amir kepada Dayat yang hanya mengangguk tanda mengiyakan.

Gumpalan asap dari kopi yang masih panas terlihat sangat menggoda. Namun, mereka harus benar benar menghemat agar uang pesangon tak berkurang banyak. Terpaksa kopi dan nasi uduk pun mereka harus berbagi satu sama lain.

"Anak anak yang sudah remaja di jalanan itu biar kutampung dulu semasa pandemi. Nanti mereka ku bina biar bisa bantu bantu penyuluhan di beberapa tempat. Pastilah diantara mereka ada bakat bakat tersembunyi. Kalua kita buka pendaftaran online lagi, pengeluaran bakal lebih besar dari modal," tutur pemuda berkemeja biru.

"Atur saja,lah. Pusing aku," jawab pemuda berkemeja merah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline