Lihat ke Halaman Asli

Andai Aku itu Dia

Diperbarui: 20 Agustus 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku sudah siap dengan setiap perlengkapan pendakianku. Disini aku berdiri saat ini. Bersama teman-teman seperjuangan, dada ini penuh dengan semangat yang menggelora untuk menaklukkan puncak Mahameru. Ya, tinggal didepan mata. Aku harus mulai melangkah dan mulai mendaki bersama mereka. Namun, entah mengapa tiba-tiba saja aku berlari, menjauh pergi, sendiri. Meninggalkan teman-temanku yang sudah siap melangkahkan kaki. Ya, aku pergi, menghindari puncak gunung tertinggi.

*****

Mimpi semalam meninggalkan rasa bersalah dan kalah. Hanya menyisakan berjuta tanya akan sebuah makna. Gunung tinggi menjulang bak masalah ataupun tantangan, sulit kubedakan.

Tidak, aku tidak sedang memperjuangkan apapun atau siapapun. Karier, posisi dan jabatan tidak lagi menjadi ambisiku seperti dulu. Dibenakku hanya satu yang kuimpikan, suasana dan lingkungan yang bersahabat. Kumpulan kawan yang saling menopang, bukan menjatuhkan. Pasangan hidup, nampaknya juga sudah tidak lagi membuatku bersusah payah mengusahakannya. Satu hal yang kupercaya bahwa pada saatnya nanti, ya, pada saatnya nanti, dua insan yang sepadan akan dipertemukan.

Mungkin, aku sedang terjebak dalam zona nyamanku sendiri. Atau barangkali aku sudah lelah, menyerah dan kalah. Tertunduk lesu tanpa tahu kemana ku kan mengadu.

Bukan pilihan yang bijak kalau harus menceritakan semua ini pada ibu. Hal ini hanya akan membuat insomianya kambuh dan asam lambungnya segera naik. Ujung-ujungnya hanya akan mengantarkan ibu bertemu dengan dokter spesialis penyakit dalam langganannya.

Segera kuraih ponsel yang tergeletak di meja kerjaku. Sudah malam, dan mungkin ibu juga sudah terlelap tidur. Selalu nama itu yang muncul dibenakku. Dikala hati ragu dan perasaan yang mengharu biru. Selalu saja nama itu.

Beberapa nada sambung dan selanjutnya sebuah sapaan hangat yang biasa kudengar. Kali ini sedikit berbeda. Aku mencoba untuk menyapanya dengan riang, tidak merengek seperti yang sudah-sudah. Menanyakan kabarnya, perjalanan-perjalanan yang sudah ditempuhnya dan memintanya menceritakan setiap hal-hal baru yang ditemuinya disaat menempuh perjalanan wisata mengeksplorasi keindahan nusantara.

Tidak begitu lama dia bercerita tentang dirinya, tentang hidupnya, sebelum dia mencium ada sesuatu yang sebenarnya ingin kutumpah ruahkan kepadanya.

"Kenapa lagi, Na? Udah ngomong aja... Pasti kamu lagi pengen meledak kan?"

"Nggak kok... aku cuman kangen pengen denger suaramu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline